Share

Penjahat Sesungguhnya

"Aku pulang!" Vanilla berjalan tertatih sambil menyeret tas jingjingnya.

Seharian memakai high heels membuat kakinya sangat perih. Tapi semua pasti terbayarkan setelah melihat Kak Senja.

"Heh! Anak ini. Kamu dari mana saja?!" Namun, bukan sambutan baik yang didapat. Senja malah menunggunya di depan sambil bawa tutup panci seperti mau perang.

"Kamu sudah gak peduli sama Kakak, ya? Mau kabur kalau Kakak ke rumah kamu, kan? Jawab, Dek?!" Dengan bantuan sodet, ia memukul tutup panci. Menghasilkan suara nyaring yang memekakan telinga siapapun. Mungkin rungu-nya Vanilla sudah berdarah saking kerasnya.

"Kak, please, deh!" Tidak tahu saja kakaknya bahwa untuk sampai di sini, Vanilla butuh effort yang besar. Termasuk, mempertaruhkan kariernya.

"Ayok bilang! Kamu pasti habis jalan sama pacar kamu, 'kan? Siapa dia? Gimana orangnya? Apa dia sudah tahu tentang kamu?!" Senja semakin merancau. Akhirnya, Vanilla masuk seraya tersungkur di lantai.

"Aku gini karena bos kejam itu. Aku diminta lembur terus, Kak. Dia lebih milih melihat anak buahnya mati ketimbang menunda pekerjaan!" adunya betul-betul memelas. Senja jadi mendekatinya.

"Eeh, masa? Tapi ganteng gak?!" Dia malah nanya fisik dong.

Vanilla menerawang. Bibirnya tersenyum layaknya orang gila. "Hehehe ... Hehehe... Dia ganteng. Ganteng banget malah!"

"Ganteng gimana?" lanjut Senja seraya mendekat. Rasanya, tak sulit mengenang Kala karena dia punya wajah bersinar yang sulit dilupakan.

"Mata jernih, tapi juga tegas. Di atasnya ada alis menggunung dengan ujung sedikit lancip," beber Vanilla. Seperti sedang menggambar di atas kanvas. Senja mencoba mengumpulkan informasi dari Vanilla dan melukis dalam benaknya.

"Hidungnya mancung dan bibir sedikit pecah delima," tambahnya. Kala memiliki bibir bawah yang terbelah, setiap orang pertama melihat akan selalu tertuju kesana. Itu bisa disebut daya tariknya. Dari anak muda sampai ibu-ibu tidak ada yang tidak suka dengan birainya itu.

Senja ikut menerawang matanya menerjap perlahan. Kenapa ciri-cirinya hampir mirip dengan pemuda yang menolong Vanilla waktu itu. Senja jadi makin penasaran.

"Kakinya pincang, bukan?" tebaknya. Vanilla menyeritkan kening. Mana ada Pak Kala pincang? Selain tampan, dia dianugerahi tubuh kokoh dengan tinggi di atas 180 cm terselimuti kulitnya yang halus. Sebuah ciri-ciri anak orang kaya gak pernah hidup susah. Cuma senangnya bikin orang susah. Ck!

Senja menapik pikiran tersebut. Sudahlah, di dunia ini juga, 'kan banyak orang yang punya kemiripan? Lagipula, dia gak mau membahasnya takut Vanilla jadi terkenang kembali. Senja memeluk Vanilla dari arah samping.

"Syukurlah kalau ternyata kamu gak punya pacar. Aku sempet takut tau!" Rangkulannya semakin erat. Namun, Vanilla memberontak.

"Emangnya kenapa kalau aku punya pacar?" Vanilla protes. Seingatnya, dia tidak pernah berencana jomblo seumur hidup.

Senja mengulum senyumnya. "Ya, karena aku belum punya pacar. Masa kamu duluan!" sungutnya mengalihkan kenyataan. Senja hanya ingin menutupi rahasia itu selama mungkin.

****

"Ahk, Pak!" Seorang wanita mendesah ragu. Dia mengigit bibir bawah mencoba menahan gempuran sentuhan nakal dari pria di belakangnya. Pria itu terlihat senang mempermainkan Melinda.

Melinda menatap ke arah mata Justin, bosnya di perusahaan juga pemilik tubuhnya yang sintal.

Melinda harus rela diperlakukan seperti itu. Semula, sebagai syarat agar dia diterima menjadi karyawan tetap. Melinda sangat menginginkan posisi karyawan pabrik. Jadi, mendengar bahwa dia tidak perlu bersusah-payah menunggu pihak atasan mengevaluasi hasil kerjanya, dia menerima tawaran jadi pemuas Justin.

Baginya, melewati proses alami, hanya memakan waktu.

Miris, sayangnya dia gak punya hal lain yang bisa ditawarkan kepada Justin selain dirinya sendiri.

Obsesi membawanya ikhlas menggadaikan harga diri sebagai wanita bebas.

Justin tidak kuasa menatap bibir Melinda lama-lama. Justin langsung meraih dan melumatnya secara beringas.

Melinda menjerit dalam hati, dia tidak sanggup lagi. Justin selalu meminta jatah padanya hampir setiap hari. Dan, biasanya, mereka melakukan hal tersebut di ruangan pria itu atau di ruang rapat sekalipun.

Untungnya, Justin masih mendengar permintaannya untuk tidak melakukan itu di tempat umum, di mana bisa siapapun masuk dan memakai ruangan.

Tidak! Dia gak mau terpergok oleh Kala atau rekan lain. Melinda masih wanita timur yang punya malu!

"Katakan! Apa kau masih menolakku karena bocah tengik itu?" Justin mengapit rahang Melinda diantara kedua jarinya. Dia sangat marah ketika Melinda menolak dengan alasan tidak enak sama Pak Kala. Hal lumrah yang gadis itu katakan ternyata menjadi sumbu api yang cepat membakar batin Justin.

Melinda tidak tahu jika kehadiran Kala menjadi momok menakutkan untuk Justin. Sedikit saja orang lain membahas pria ingusan itu, Justin akan sangat murka bagai monster.

Melinda berusaha menggeleng kuat.

Air matanya jatuh. Dia sangat takut dengan Justin. Keputusannya menjadi pemuas nafsu mungkin hal paling bodoh yang pernah dia ambil.

Tatapan Justin bagaikan iblis, pria itu menyeringai puas. Kemudian melemparkan pipi Melinda yang dikaitkan. Tangannya mendorong bahu Melinda supaya bersimpuh di depannya.

Gegas, Justin meminta Melinda memohon ampun padanya. Melinda melakukannya. Apa yang dikatakan Justin seperti sebuah perintah suci yang mengharuskan dia untuk menyetujui tanpa berfikir bisa menolak.

Ketika Melinda telah memohon ampun sembari menangkup tangan, Justin mengambil botol bertuliskan Vodka dengan kadar alkohol yang tinggi.

Pria itu sudah gila meminta Melinda menenggak cairan haram itu di saat jam kerja!

Jika ada yang mencium aroma itu, apa yang akan mereka katakan tentang Melinda?

Apa nantinya justru Melinda dipecat karena ketahuan bersikap tak baik di tempat kerja? Namun, semua penyangkalan tak bisa Melinda ungkapkan karena lagi-lagi, Justin punya kuasa terhadap dirinya.

Justin tetap memaksa Melinda meminum dari botol di tangannya. Posisi Melinda yang bersimpuh memudahkan Justin memasukkan ujung botol ke mulutnya.

"Minum!" Dia memerintah dengan bentakkan. Melinda gelagapan. Dia berusaha menahan bibirnya tapi Justin terus mendorong botol.

Di luar, Kala kebetulan lewat. Dia memandangi ruangan Justin sesaat. Bibirnya mendesah.

"Kurasa aku harus cepat melenyapkan parasit itu. Tentunya, dengan alasan yang logis." Kala menggeleng mencoba memikirkan rencananya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status