Untungnya, Nabila berhasil memenuhi ekspetasi keduanya.
Hari ini, Veronica dan Zack hendak merayakan kehamilan yang sudah satu dekade sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga mereka. Orang tua Veronica dari Indonesia pun datang. Mereka semua merasa bahagia, setelah sepuluh tahun sang putri menikah, akhirnya kabar gembira itu pun datang.
Veronica pernah hamil, walau hanya sekali. Namun, di usia kandungan baru menginjak dua setengah bulan, ia mengalami keguguran.
Setelah itu, kehamilan tidak pernah lagi menyapanya.
"Selamat ya, Sayang ...," ucap Jennifer Robinson, ibu mertua Veronica yang baru saja sampai. Ia seorang diri. Kebetulan, suaminya yang juga ayah Zack sudah meninggal dunia karena terserang stroke.
"Terima kasih, Mom," jawab Veronica dengan senyuman merekah.
Dari arah dapur, Nabila hanya tersenyum miris ketika melihat Jennifer dan Yasmin—ibu dari Veronica—mengelus perut Veronica. Ya, mereka semua tidak tahu kalau yang sebenarnya hamil adalah dirinya. Zack dan Veronica tidak menceritakan bahwa mereka menggunakan jasa surrogate mother untuk mengandung benih mereka kali ini.
"Itu siapa, Nak?" tanya Yasmin kepada sang putri. Wanita paruh baya itu menatap ke arah Nabila. Dua hari ini ia dan suami tidak langsung ke rumah sang putri, tetapi memilih menginap di hotel.
"Oh iya ... itu temanku, Nabila. Dia sedang liburan kemari." Veronica mengajak sang ibu mendekati Nabila.
"Tunggu, kamu nggak pernah cerita kalau kamu punya teman bernama Nabila?"
Yasmin tampak heran sambil ikut berjalan ke arah sana.
Nabila yang sedang duduk sendiri di meja makan pun bangkit karena melihat Veronica bersama ibunya melangkah makin mendekat ke arahnya.
"Iya, sebenarnya Nabila temannya Hana, Ma .... Teman Hana, temanku juga, 'kan?" kilah Veronica."Oooh, Hana," sahut Yasmin sambil mengangguk-anggukkan kepala.Nabila mengulurkan lengannya, meraih, dan mencium punggung tangan wanita paruh baya di hadapannya. "Saya Nabila, Tante. Apa kabar?""Temannya Hana?" Yasmin tersenyum ramah."Iya, Tante. Kak Hana sudah aku anggap seperti kakakku sendiri." Nabila teringat pesan Veronica tadi malam. Jangan sampai rahasia mereka terbongkar.Yasmin pun mengangguk dengan senyuman yang lebar.Kedua orang tua Veronica—Yasmin dan Surya Cahyana— dianggap berpikiran kuno olehnya. Mereka juga tadinya tidak menyetujui kalau anak gadisnya menikah dengan orang asing, bahkan harus sampai tinggal jauh di Negeri Paman Sam. Akan tetapi, Veronica akhirnya dapat meyakinkan kedua orangtuanya kalau Zack Robinson adalah pria yang tepat untuknya.Dari dulu cita-cita Veronica memang ingin tinggal di Amerika atau Eropa. Ia ingin menjadi fashion designer terkenal. Namun, karena Yasmin dan Surya begitu protektif, anak tunggal mereka itu dilarang untuk kuliah di luar negeri seperti yang Veronica inginkan. Semua berubah semenjak berkenalan dengan Zack di sebuah acara peragaan busana, Veronica akhirnya mendapat angin segar.Zack yang memang usianya sudah dewasa, sudah mualaf, sangat mudah menarik hati dan perhatian Yasmin serta sang suami. Akhirnya mereka menikah, Veronica pun bisa melanjutkan sekolahnya di bidang fashion. Saat ini wanita itu terus mengembangkan karirnya sebagai designer. Wanita itu masih punya cita-cita ingin ke Paris untuk mengejar karir yang ia impikan.Akan tetapi, seperti biasa ... lagi-lagi kedua orang tua Veronica menjadi penghambatnya.Kedua orang tuanya menginginkan mereka fokus dulu agar bisa mempunyai anak. Barulah setelah itu lanjut mengejar cita-cita. Karena itu semua Veronica akhirnya memutuskan untuk menggunakan jasa surrogate mother, karena masih belum berhasil hamil kembali.Bukan tanpa alasan. Kedua orang tua Veronica hanya memiliki satu anak. Oleh karena itulah, mereka tentu sangat mengharapkan keturunan keluarga mereka tidak berhenti begitu saja.***Semenjak Zack mencium pipi dan memeluknya, Nabila menjadi sering merasa salah tingkah di hadapan pria tiga puluh tujuh tahun tersebut. Ia tidak tahu, mengapa perasaannya menjadi sangat aneh. Ada rasa seakan cemburu ketika melihat keakraban dan kemesraan Zack dengan Veronica.Ya, Zack memang seorang pria yang romantis. Ia suami yang penuh perhatian. Walau hanya sekadar menyelipkan helaian rambut Veronica ke balik telinga, hal itu tampak begitu manis di mata Nabila yang tidak pernah mempunyai hubungan khusus dengan seorang lelaki mana pun.Meski dulu banyak pria yang datang untuk mendekati, sejak ia dilecehkan oleh adik angkatnya, hal itu menjadikan trauma tersendiri bagi dirinya. Namun, entah mengapa semenjak kecupan singkat dan pelukan tulus dari Zack, seolah memercik rasa berbeda di lubuk hatinya yang paling dalam."Astaghfirullah!" lirih Nabila terkejut ketika tanpa sengaja dari arah dapur netranya melihat Zack mencium sang istri di atas balkon kamar mereka di sana.Wajah Nabila terasa memanas. Ia menjadi malu sendiri. Namun, karena tak sanggup menahan rasa penasaran, dengan jantung yang berdebar kencang ia kembali lagi melihat kegiatan mesra sepasang kekasih yang tengah menikmati pertukaran saliva yang lamat dan intens itu.Tanpa sadar Nabila menggigit bibirnya sendiri. Di dalam hati, ia juga menginginkan lelaki dewasa itu memperlakukan dirinya dengan kemesraan serupa. 'Bukankah Zack juga suamiku? Ah, bukan seperti itu niat awalku di sini.' Pikirannya berseteru satu sama lain."Huuuuft ... jangan bodoh, Nabila!" rutuk gadis itu pada diri sendiri.Akan tetapi, ia tidak dapat memungkiri. Ia merasa haus akan perhatian dan kasih sayang yang seakan tidak pernah ia dapati. Bahkan sejak ia mengenal dunia ini.***Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Kandungan Nabila semakin besar. Usianya kini menginjak empat bulan. Janin itu tumbuh sehat di dalam rahimnya.Semenjak hari itu, Nabila semakin sering melihat kemesraan Zack dengan Veronica. Culture di negeri Paman Sam memang berbeda. Sepasang kekasih tersebut tidak merasa risih jika berpelukan atau berciuman di hadapan wanita muda itu. Wajar saja Nabila terkadang merasa tidak nyaman dengan hal itu."Tubuhnya sudah semakin sempurna, ya, lihat jari-jemarinya. Laki-laki ya ...." Dokter Steve memainkan alat USG 4D di perut Nabila sambil terus menjelaskan di hadapan Veronica juga Zack.Sepasang kekasih itu tersenyum semringah seraya sesekali saling menatap penuh cinta. Zack mengecup dahi Veronica dengan penuh kasih sayang.Nabila tersenyum tipis melihat kemesraan kedua orang yang saling mencintai itu. Terkadang entah mengapa, ia pun merasa iri.Setelah pemeriksaan, mereka lalu pulang ke rumah dengan sebelumnya membelikan makanan yang diinginkan oleh Nabila.Ketika sampai di rumah, Veronica mengetuk pintu kamar wanita muda tersebut."Lagi sibuk?" Veronica membuka sedikit pintu itu dan bertanya dengan suara lirih kepada Nabila yang tengah duduk di sofa di sana sambil memegang sebuah buku."Ah, nggak sibuk, kok. Masuk, Kak," suruh Nabila sambil mengangkat kedua ujung bibirnya, "cuma baca novel." Wanita muda itu menunjukkan buku yang ia pegang."Oh ...." Veronica pun masuk dan menutup pintu. Ia berjalan mendekati, lantas mendaratkan bokongnya di sebelah Nabila.Nabila yang sejak tadi mengangkat kakinya di sofa itu sedikit beringsut."Besok aku mesti berangkat ke Paris," ujar Veronica kepada wanita muda di sebelahnya.Nabila sedikit terkejut. Veronica memang sering ke luar kota dua atau tiga hari. Akan tetapi, belum pernah ke luar negeri. Selama ini Nabila membantu Veronica di butiknya setiap pagi hingga siang hari. Itu juga atas permintaannya sendiri agar ada sedikit kegiatan. Baru kali ini semenjak ia tinggal di sana, Veronica akan pergi ke luar negeri. "Ooh ... berapa lama, Kak?" tanya Nabila.Beberapa hari ini memang Veronica tampak sibuk, ada seorang teman laki-lakinya yang seorang investor sering datang wira-wiri ke tempat kerjanya."Empat belas hari," jawab Veronica singkat."Dengan Zack?" Entah mengapa Nabila merasa penasaran, apakah pria tampan itu akan ikut berangkat bersama sang istri kesayangan?"Tidak ... tidak. Zack tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di sini."Nabila tertunduk, ada rasa lega yang menyusup di dalam hatinya. Walau biasanya jika Veronica berangkat ke luar kota untuk beberapa hari, ia pun jarang bertemu dengan Zack. Sebab biasanya pada hari kerja, di mana lelaki itu juga pergi pagi dan pulang di malam hari. Mereka paling hanya bertemu pada pagi hari saja. Kalau malam, biasanya Zack pulang ketika dia sudah tidur. Setidaknya ia tidak sendiri di rumah tersebut."Kamu nggak perlu ke butik lagi."Nabila tersentak mendengar ucapan Veronica. "Kenapa?" tanyanya heran. 'Apa aku melakukan kesalahan?' Hatinya bertanya-tanya.Dua hari yang lalu memang tanpa sengaja ia memergoki Veronica berada begitu dekat dengan Andrew, sang investor. Akan tetapi, ia tidak mau berpikir yang macam-macam. Bukan ... bukan tidak mau, tetapi lebih tepatnya lebih memilih untuk berdamai dengan prasangkanya sendiri.Bukankah Veronica dan Zack merupakan pasangan yang bahagia? Tidak mungkin ada sesuatu di antara Veronica dengan Andrew. Mungkin kedekatan seperti itu biasa dalam pergaulan di Amerika ini. Ia berusaha berbaik sangka."Sudah saatnya kamu fokus dengan kandunganmu, Nabila. Dari awal kamu yang memaksakan diri untuk berkegiatan. Aku harap, saat ini kamu mendengar perkataanku.""A–aku tidak bicara kepada Zack soal Kakak dengan Tuan Andrew–" Nabila masih menyangka hal itulah yang menjadi penyebab ia dilarang untuk kembali bekerja di butik."Sshhhh ...!" Veronica menahan omongan Nabila, "aku tahu. Kamu nggak perlu membahasnya. Aku tidak ada hubungan apa-apa selain soal bisnis dengan Andrew, oke?" ujarnya tegas sembari menatap tajam ke arah Nabila.Nabila mengangguk pelan."Kamu jangan khawatir. Zack akan menjaga kamu selama aku nggak ada. Kamu jangan sungkan minta apa aja padanya, oke?" Veronica berusaha menenangkan Nabila.Nabila hanya tersenyum tipis sambil kembali mengangguk, "Oke, Kak," lirihnya.Namun, di dalam hati Nabila berpikir. Dua atau tiga hari saja, ketika ia hanya berdua dengan Zack, hal itu membuatnya begitu canggung. Bagaimana jika dua pekan mereka berdua saja di rumah ini? Degup jantung Nabila seketika saja berdebar kencang.NextIa menyukai Zack! Ya, selama ini ia sering memimpikan pria dewasa nan rupawan itu. Walaupun usia mereka terpaut cukup jauh. Entah mengapa diam-diam perasaan itu semakin besar dan seakan menenggelamkan Nabila semakin dalam di lubang tanpa dasar berupa rasa yang ya ... itulah yang bernama cinta.Terkadang Nabila merasa bersalah, mengapa harus memiliki rasa itu kepada Zack. Sedangkan ia menyadari bahwa keberadaannya di sana mungkin sebenarnya tidak diharapkan. Jika tidak karena keduanya membutuhkan keturunan, maka ia tidak mungkin berada di sana. Ia hanya sekadar dianggap sebagai pabrik anak.Walaupun memang tidak ada perjanjian apa pun itu, dirinya sempat berpikir, bisa jadi ia akan dijadikan seperti baby sitter saja setelah ini. Karena tidak ada perjanjian yang mengharuskan ia pergi setelah anak itu lahir. Dan ... itu bukan menjadi masalah baginya. Ia sudah merasa betah bersama keluarga itu dan yang paling penting, ia tidak merasa kekurangan lagi seperti dulu di Indonesia. Dan ia tidak
"Kamu pernah punya kekasih? Atau saat ini ada hubungan dengan seorang lelaki?" ulang Zack bertanya kembali.Dengan kecanggihan teknologi, walaupun Nabila tidak pernah terlihat bertemu dengan seorang pria, tentu bisa saja ia mempunyai hubungan secara online—mungkin—pikir Zack."Oh ... nggak. Aku nggak punya," jawab Nabila dengan wajah terasa menghangat. Ia mengalihkan pandangan, takut pria tampan itu menyadari rona di wajahnya. Bagaimana tidak, ia baru saja membayangkan tubuh pria di hadapannya itu tadi.Zack mencebik. "Gadis secantik kamu nggak punya kekasih?"Oh, astaga ... Nabila semakin salah tingkah mendengar pujian Zack tentang wajahnya. "Aku ... aku nggak cantik," bantahnya sambil bangkit dan berjalan menuju ke ruang tengah. Zack mengekorinya. "Siapa bilang kamu nggak cantik? Kamu cantik, Nabila," puji Zack tanpa beban.Nabila mendaratkan bokongnya ke atas sofa di depan televisi. "Menurut kamu aku cantik?" tanyanya memastikan ketika Zack ikut duduk di sebelahnya dan mengambil r
"Kamu mau buat apa?" tanya Zack seakan tidak terjadi apa-apa. Ia melongok ke arah perlengkapan masak Nabila."Ah ... ini, aku ... mau buat sandwich," jawab Nabila semakin gugup.Zack mencebik. "Oke! Aku mau mandi dulu!" Lelaki itu pun berlalu meninggalkan ruang dapur tersebut dengan santai.Ketika bayangan pria itu sudah tidak tampak lagi, Nabila sontak menyandarkan pinggangnya ke meja dapur. Kakinya tiba-tiba saja terasa lemas bagai jelly. Ia menarik napas panjang-panjang, lantas mengembuskannya perlahan. "Ya Allah ... mengapa begini?" bisiknya pada diri sendiri.***Hari ini hari senin. Tampak Zack merapikan diri di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah. Rutinitas bekerja di kantor kembali menghampiri.Nabila berada di meja dapur. Ia tengah sibuk berkutat dengan tepung dan telur. Ia berniat membuat roti panggang untuk camilan. Beberapa hari ini dirinya sering merasa lapar. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, justru makanan banyak ditolaknya karena tidak berselera, hanya me
"Lu mau pinjam berapa?" tanya Nabila setelah beberapa detik terdiam. Sudah ia duga, Metta sedang ada masalah."Mmm ... dua puluh juta, Nab," jawab Metta terdengar ragu-ragu."Ehmm." Nabila berdeham. Uang dua puluh juta bukan sedikit, pikirnya. "Lu ada masalah apa?" tanyanya hati-hati."Nyo–nyokap gue sakit, gula darahnya tinggi banget," ungkap sang sahabat.Nabil menyimak."Udah sepekan nyokap gue di rumah sakit, Nab. Waktu itu operasi, ada gumpalan darah kotor di pahanya. Ini alhamdulilah, kata dokter sudah baikan. Mungkin satu atau dua hari lagi udah boleh pulang. Tapi gue mesti bayar biaya rumah sakit dan obatnya, Nab," jelas Metta dengan suara bergetar seperti hendak menangis.Metta jarang meminta tolong. Justru wanita itu yang sering menolong Nabila. Selama tiga bulan lebih Nabila tinggal bersamanya di satu ruangan, ia hanya sering memikirkan uang patungan untuk membayar kamar saja. Sementara Metta, hampir setiap hari membagi makanan kepadanya. Bahkan Metta-lah yang menolongnya k
Beberapa detik kemudian–"Lu gila!" Metta terdengar kesal di sana."Gue ... gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue, Met," lirih Nabila. Wajahnya tertunduk lesu."Lu di situ cuma nolongin dan sekaligus ngambil keuntungan dari mereka! Lu sendiri yang bilang ini cuma demi uang! Lagi pula udah gue bilang, pernikahan kalian juga itu ... aaah! Dari awal gue bilang semua udah nggak benar. Tapi lu nekat!" omel Metta. Sejak awal Metta tidak pernah setuju dengan keputusan yang diambil Nabila untuk menjadi seorang ibu pengganti. Karena jelas melanggar ketentuan agama. Kemudian walaupun mendengar Nabila menikah, ia sama sekali tidak mendukung hal itu. Namun, Nabila tetap tidak mau mendengarkan. Ia bersikukuh ingin mengubah nasib, katanya."Lu kok, malah marah-marah gini sih, Mett, sama gue?" Nabila menyatukan alisnya, entah mengapa ia menjadi kesal sebab diomeli oleh Metta. Apa gadis itu lupa, dengan uang itu juga ia bisa membayar biaya rumah sakit ibunya."Gue ngekhawatirin lu, Nab. Elu di neger
"Tuan Andrew ...?" lirih Nabila pada diri sendiri. Ia terdiam, napasnya seakan tersekat melihat keakraban ... oh, tidak! Itu bukan keakraban biasa, melainkan suatu kemesraan!Veronica tampak refleks mendorong tubuh Andrew. Ia lalu berlari menuju ponsel yang mana panggilan video masih terhubung dengan Nabila. "Nanti lagi, Nabila!" Veronica memutus sambungan video call-nya.Nabila masih tergamang dengan apa yang ia saksikan barusan. 'Kak Ve .... Apa mungkin dia ...?' Wanita muda itu mengernyitkan dahi. Netranya masih menatap lekat ke arah layar ponsel di hadapannya yang lamban menggelap. Pikirannya menerka kalau ada hubungan terlarang antara Veronica dengan Andrew. Ya, tidak salah lagi. Ketika di butik beberapa waktu lalu, ia juga pernah memergoki Veronica dengan pria itu dalam posisi yang sangat dekat.Waktu itu Andrew merangkul pinggang Veronica hingga tubuh mereka kian rapat tanpa jarak. Kakak madunya tersebut juga terlihat kaget, ketika tiba-tiba Nabila masuk ke dalam ruangannya sa
Selama ini Nabila tidak pernah menyentuhnya secara langsung seperti ini, sebab biasanya dirinyalah yang duluan memulai. Namun, ia berusaha bersikap normal dan hanya bisa terdiam tanpa menolak apa yang dilakukan Nabila terhadapnya."Kamu kelihatan capek banget hari ini," ujar Nabila sambil terus memijat pria itu."Ah, iya. Beberapa hari ini di perusahaan sedang banyak proyek yang mesti aku kerjakan." Zack tersenyum kaku. Beberapa hari ini Zack memang berusaha menghindar dari Nabila sejak sikap aneh wanita muda itu muncul ketika ia membantu membersihkan matanya dari tumpahan tepung di dapur hari itu.Nabila mengitari sofa, kemudian mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Zack. Namun, tiba-tiba pria itu bangkit. "Aku mau mandi dulu. Setelah itu mau tidur," ucapnya seraya hendak melangkah pergi menuju ke kamarnya. Zack sengaja ingin menghindar dari Nabila."Tunggu!" Nabila meraih pergelangan tangan pria di hadapannya.Zack menoleh ke arah wanita manis yang mengenakan piyama satin berwarna
"Apa kita akan menyiapkan makan malam di sini?" tanya Nabila basa-basi meskipun yang sebenarnya ia sama sekali tidak mengharapkan Veronica kembali. Ia menjadi membenci wanita itu sejak melihat kejadian di kamar hotel tersebut waktu itu."Aaah ... kamu benar!" seru Zack, "kita siapkan makan malam spesial buat Veronica!" Pria tampan itu tampak sangat antusias.Nabila kembali tersenyum palsu di hadapan Zack. "Oke," sahutnya singkat."Kita belanja habis ini!" ajak Zack dengan penuh semangat."Kamu nggak ke kantor?" tanya Nabila heran. Ini hari Jum'at, mestinya Zack harus ke kantor."Pekerjaan sudah banyak yang beres. Aku nanti bilang ke Suzan kalau tidak pergi ke kantor hari ini.""Oke. Terserah kamu," sahut Nabila dengan bibir yang setia tersenyum.Usai sarapan, keduanya pun pergi ke sebuah supermarket. Mereka memilah dan memilih bahan-bahan makanan yang akan mereka masak untuk menyambut kedatangan Veronica.***"Sorry, Babe, tadi batre hapeku kehabisan daya. Pesawatnya juga delay dua ja