Mayra seketika menggigil mengetahui bahwa Jaya Mahendra menginginkannya kembali. Namun, tujuan Mayra dan rencana jangka panjangnya berkelebat. Membuat Mayra menyingkirkan semua perasaan takutnya.
"Harga diri? Rasa sakit? Tidak, May! Kamu bisa menanggung itu semua!" ucap Mayra di depan cermin.Entah kenapa Jaya menginginkannya lagi? Ataukah memang Mayra memberikan kepuasan tersendiri untuk Jaya?"Sudahlah, Mayra Anjani! Kapan lagi kau akan mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam?" Kembali Mayra bergumam.Mayra menghembuskan nafas panjang. Sebenarnya apa yang dia cari? Uang tentu saja! Tabungannya dirasa masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga besarnya. Jadi, Mayra akan mengerahkan keringat sampai tetes terakhir untuk mengumpulkan uang. Keringat yang bercampur dengan darah rasanya sangat tepat untuk menyatakan kondisinya saat ini.Taxi online membawa Mayra ke sebuah rumah di pinggiran kota, berbeda dengan pertemuan yang lalu, kali ini Jaya meminta untuk bertemu di salah satu rumahnya.Mayra memandang rumah megah di hadapannya dengan pandangan kelu. Tiba-tiba pintu gerbang terbuka sendiri dengan suara otomatis dari interkom yang terletak di samping pagar."Mayra, silahkan masuk!" Mayra terpaku mendengar suara berat itu. Suara yang membuatnya teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu. Dengan segera Mayra menyingkirkan semua kenangan itu dan melangkah masuk ke halaman. Tidak diperlukan waktu lama untuk mencapai pintu utama.Mayra memandang sekeliling halaman. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Rumah besar itu terlihat lengang. Namun, meskipun terlihat seperti tidak berpenghuni, rumah yang dia kunjungi terlihat rapi dan bersih. Dengan perlahan, Mayra menaiki tangga menuju pintu utama. Tangannya hendak terulur ketika pintu itu sudah terbuka dengan Jaya Mahendra di baliknya tersenyum dingin.Senyum yang aneh! Tampan tetapi misterius! batin Mayra. Berbagai macam kalimat untuk Jaya sudah berkecamuk di dalam benak Mayra tanpa Mayra berani untuk mengutarakannya."Selamat sore menjelang malam, Tuan Jaya Mahendra!""Jangan bersikap formal, santai saja!" Jaya mengulurkan tangan kepada Mayra, yang dipandang Mayra sejenak dan ragu-ragu. Hanya sesaat, karena setelah itu Mayra menyambut tangan Jaya."Kau mau minum apa?" tanya Jaya ketika mereka sudah sampai di ruang besar yang indah, penuh dengan bantal-bantal yang terlihat empuk. Melihat bantal-bantal itu, rasanya Mayra ingin segera bergelung dengan selimut dan kepalanya bersandar di sana. Pasti dia bisa mimpi indah."May, mau minum apa?" tanya Jaya untuk kedua kali.Mayra tersentak dari lamunannya. Ternyata pikirannya sudah melayang jauh tadi, bisa-bisanya dia membayangkan bisa tidur pulas di bantal-bantal itu."Apa saja, Tuan Jaya. Saya bukan pemilih," jawab Mayra."Kalau begitu kita sekalian makan malam. Aku akan memasak untuk kita," ucap Jaya memamerkan senyumnya yang lain.Sungguh memikat! Bukan senyuman yang terbalut dengan kesan dingin yang terpancarkan, tetapi benar-benar senyuman ramah yang akan memabukkan siapapun yang melihatnya."Tuan Jaya tidak perlu repot. Lagipula saya tidak lapar," tolak Mayra halus."Tidak, May. Kita harus menyiapkan tenaga kita. Benar begitu bukan?"Jaya beranjak dari tempat duduknya dan tanpa sadar Mayra mengikuti Jaya ke bagian belakang rumah dimana terdapat dapur yang sama bersihnya dengan bagian rumah yang lain."Aduh!"Mayra mengaduh perlahan, tangannya mengusap hidungnya yang terantuk pungung Jaya yang tiba-tiba berhenti."Kenapa kau mengikutiku?""Sa—saya hanya ingin membantu Tuan Jaya!" jawab Mayra terbata. Alasan yang dikemukakannya tanpa pikir panjang. Mayra memaki dirinya sendiri, bisa-bisanya dia mengikuti Jaya ke arah Dapur."Tunggulah saja, kau hanya perlu mempersiapkan dirimu. Atau kau bisa jalan-jalan melihat rumah ini? Sampai makanannya siap?""Apa boleh?""Tentu saja! Anggap saja ini rumahmu sendiri. Lagipula, aku lebih nyaman memasak sendiri."Apa arti dari ucapannya itu? Seperti ada maksud tersembunyi! Jangan terlalu percaya diri, Mayra! Siapkan saja dirimu. Setelah ini penderitaan akan dimulai! tegur suara hatinya ketika Mayra berpaling meninggalkan Jaya.Mayra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman yang terdapat tidak jauh dari kolam renang. Meskipun gaun yang dikenakannya tidak cocok untuk berjalan-jalan di luar, tetapi paling tidak hembusan angin bisa menyegarkan pikirannya.Sehelai jaket tebal tiba-tiba tersampir di bahu Mayra. Membuat Mayra menoleh dan terkejut melihat Jaya sudah di belakangnya."Cuacanya sedikit dingin. Dengan pakaian seperti itu kamu bisa masuk angin," kata Jaya lembut. Sedikit berbisik di telinga Mayra, membuat Mayra merinding sekaligus merasakan sensasi yang berbeda."Tuan Jaya? Kenapa tuan Jaya di sini?""Aku mengkhawatirkan keadaanmu. Ada banyak pakaian wanita di sini. Jangan sampai kau sakit!" kata Jaya tersenyum, mengacak lembut rambut Mayra sebelum melangkah lagi ke Dapur.Pakaian wanita? Tentu saja banyak sekali di sini, Mayra! Apalagi itu berhubungan dengan orang seperti Jaya Mahendra. Namun, kenapa jaket yang dikenakan Mayra begitu pas membungkus tubuhnya. Seolah-olah jaket itu memang khusus dibuat untuk dirinya. Mayra melihat sekilas merk jaket yang melekat. Jaket dari brand ternama dengan harga yang fantastis. Mayra menghela nafas panjang lagi. Kebiasaan orang kaya memang berbeda.Mayra kembali fokus memandang sekitarnya. Air kolam yang sedikit beriak terkena angin, ditambah dengan hembusan angin yang mengirimkan aroma bunga yang mekar. Sungguh suasana yang cukup memabukkan. Membuat kelopak mata Mayra sedikit berat dan dia mulai terpejam."Sudah bangun?" tanya suara berat yang sudah familier di telinga Mayra.Mayra membuka matanya dengan cepat. Mendapati bahwa dia sudah ada di ruang tengah dengan beralaskan bantal-bantal yang menjadi khayalannya tadi."Maaf, Tuan Jaya. Saya tertidur. Sudah jam sembilan!" teriak Mayra spontan.Kenapa dia bisa tertidur begitu lama? Dan yang pasti sudah lewat jam makan malam."Makanannya sudah siap, tinggal dipanaskan lagi saja!""Tidak perlu, Tuan Jaya. Saya bisa makan langsung. Kalau tuan Jaya tidak keberatan tentunya!""Kalau kau tidak masalah dengan masakan dingin, aku juga tidak!"Mayra menggeleng. Dia sudah tidak nyaman dan merasa tidak enak karena tertidur tadi. Jadi, jangan menambah rasa tidak nyamannya.Mereka berdua makan dalam diam. Mayra menelan masakan Jaya dengan susah payah. Melihat dari sudut matanya ekspresi Jaya yang datar sekaligus dingin."Apa rasanya tidak enak?""Tidak, Tuan Jaya. Masakan tuan Jaya sungguh enak. Sampai saya tidak bisa berkata-kata!""Tapi kenapa kamu makannya sedikit? Kalau begitu makan yang banyak!" Tanpa bisa Mayra cegah, Jaya langsung mengambil berbagai macam lauk untuk diletakkan di piring Mayra."Terima kasih, Tuan."Baiklah, sebaiknya memang Mayra memakan semuanya. Jangan sampai dia kelaparan nanti. Bukankah untuk melakukan hal itu juga perlu amunisi? Dan amunisinya berupa makanan. Dengan pikiran seperti itu, Mayra menikmati makanannya dengan lebih semangat lagi."Sudah selesai?""Sudah, Tuan Jaya.""Kalau sudah, di ruangan yang tadi ada kotak. Kamu harus menggunakan apa yang ada di dalam kotak tersebut. Kita akan melakukannya di kolam!"Perkataan Jaya membuat hati Mayra berdegup kencang. Di kolam? Apa yang akan mereka lakukan di sana? Semoga tidak berbahaya!Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te