Share

Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh
Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh
Author: Lavinka

Bab 1. Kesalahan Semalam

Author: Lavinka
last update Huling Na-update: 2024-06-06 16:02:50

Amalthena berjalan sempoyongan di sebuah lorong hotel. Dia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya setelah minum segelas wine yang ditawarkan Karina—kakak tirinya.

Dia mengumpat saat rasa sakit menyerang kepalanya, ditambah tubuhnya juga menggigil. Padahal dia hanya minum sedikit tadi, dan toleransinya terhadap alkohol lebih kuat dari beberapa orang.

Gaunnya yang tanpa lengan semakin membuat dia menggigil hingga ke sekujur tubuhnya. Ia harus cepat pulang, sebelum ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini.

Ketika dia hampir mencapai lift, dia merasakan dahinya menabrak sebuah dada bidang seorang pria.

“Ah, maaf!” ujar Ama dengan kepala tertunduk.

“Ama?”

Ama tertegun mendengar suara familiar itu. Ia pun mendongak.

“Kamu gak apa-apa?” tanya pria itu lagi.

Walaupun pandangannya sedikit mengabur, Ama tetap yakin jika pria itu adalah Orion Setiawan. Pria yang selama ini menjabat sebagai CEO Angkasa Group. Hubungan mereka pun tidak berjalan baik, alias musuh bebuyutan.

Jika biasanya, dia akan marah dan pergi begitu saja ketika bertemu dengan Orion. Kali ini, dia justru merasa aneh dengan reaksi tubuhnya. Apalagi, saat tangan pria itu memegang lengannya.

“Ahhh….” tanpa sadar Ama mendesah, kala merasakan tangan dingin pria itu menyentuh lengannya yang tak tertutup kain.

Ama semakin ingin merasakan sentuhan itu, merasakan Orion untuk mengatasi panas yang aneh ini. Ia pun menuntun tangan Orion untuk terus menyentuhnya, sementara tangannya sudah menggerayang di balik jas Orion, menyentuh dada pria itu.

Samar-samar, Ama melihat pria itu menggertakkan rahang. “Amal! Ada apa dengan dirimu!”

Bibir Ama seketika merengut lucu. “Tubuh kamu hangat, On,” bisiknya.

Dia seolah tak menanggapi larangan Orion, dan tangannya tetap berusaha mencuri-curi kesempatan untuk menyentuh tubuh kekar di balik jas itu.

“Hentikan, Amal! Atau, kau akan menyesal!

Ama tidak dungu untuk mendengar degupan dari jantung pria itu saat dia bersandar di tubuhnya, apalagi saat jarak wajah mereka yang cukup dekat.

Ama berusaha mencium hingga memberikan sentuhan-sentuhan yang tentu saja tidak bisa ditolak oleh siapa pun, termasuk Orion.

Ciuman itu tak terelakan lagi. Bibirnya gemetar karena hawa panas yang terus mendesaknya untuk berbuat lebih. Dia mengerang ketika Orion sama sekali tak mau membuka mulutnya.

“Sial!”

Ama menyeringai senang ketika tubuh pria itu mulai memberikan reaksi. Dia merasakan tubuhnya melayang, lalu dibawa entah ke mana. Dia hanya tersenyum manis ketika merasakan empuknya kasur.

“Kau salah memilih lawan, Amal!” gertak Orion terdengar samar di telinga Ama.

Setelah itu, pria itu mulai menguasai tubuhnya. Dia bahkan tak diberikan waktu barang sedikit pun untuk memekik. Orion benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu, sama seperti dirinya.

***

Keesokan paginya, Ama terbangun dalam keadaan linglung. Dia ingin menggeliat, tetapi dia merasa ada yang aneh.

Ketika akhirnya dia membuka mata, sebuah pemandangan kulit putih dengan dada bidang, justru terpampang nyata.

‘Apa ini?’ batinnya bertanya-tanya.

Dia menelan ludah kasar, lalu meneliti tubuhnya sendiri yang tertutupi selimut.

“Hahhh!” Dia memekik tertahan, dengan satu tangan membekap mulut.

Panik, tetapi sebisa mungkin Ama mencoba untuk menguasai dirinya sendiri. Dia berusaha membuat gerakan sepelan mungkin ketika menengadahkan kepalanya, dan matanya semakin melotot shock saat pria yang ada di sampingnya adalah Orion.

“Arghh!” Amalthena tanpa aba-aba segera menendang tubuh pria itu hingga terdengar bunyi gedebam setelahnya.

Bugh!

“Apa yang sudah kamu lakukan padaku, Bajingan?!” teriaknya.

pria itu mendesis sambil bangun dari lantai. Ama memalingkan wajah ketika Orion berdiri hanya menggunakan celana boxer.

“K-kau, apa yang sudah kau lakukan padaku, Brengsek!” pekik Ama lagi.

“Oh, kamu sudah bangun?” Orion mengusap rambutnya sendiri sambil menguap lebar.

“What?” Ama berteriak kesal. “Reaksi macam apa itu?”

“Mau aku jelasin pun kamu pasti gak mau dengar, kan?” Setelah itu, Orion hanya memunguti pakaiannya dengan santai, sangat berbeda dengan Ama yang sudah meledak.

“Orion!” Ama buru-buru bangun dari ranjang sambil memeluk selimut yang menutupi tubuh polosnya.

Orion hanya menoleh, tanpa mengucapkan apapun. Dari tatapannya, Ama seolah bisa mendengar pria itu bilang, ‘Apa lagi, sih, Mal? Sebenarnya mau kamu itu apa, sih?’

“Kamu–” Ama hendak bicara, tetapi bibirnya tak menemukan kata apa pun.

Akhirnya, dia pun berteriak kesal dan mengambil pakaiannya, kemudian memakainya cepat. Perasaannya yang masih kesal hingga tak memedulikan keberadaan Orion di belakangnya. Dia tak peduli pria itu melihatnya berpakaian atau tidak.

Kini, yang terpenting dirinya harus segera pergi dari ruangan ini, sebelum ada yang memergoki mereka. Jetika mencapai pintu dia berbalik. Menatap Orion dari balik bahunya.

“Masalah ini belum selesai, Orion. Aku pasti akan menagih penjelasan padamu!” Setelah itu, dia pergi.

Di lorong, Ama terlihat berhenti sebentar. Punggungnya disandarkan pada dinding dengan kepala mendongak ke atas.

“Gila! Bagaimana bisa aku ada di sini dan terjebak dengan manusia seperti dia?”

Namun, ada satu hal yang lebih penting….

“Bagaimana ini? Kalau Mas Edrick tahu… aku harus bagaimana?” Wanita itu menggigiti kuku jarinya.

Edrick adalah tunangannya, dan beberapa bulan lagi mereka akan menikah. Namun, tentu pernikahan ini akan batal jika malam sialan tadi terbongkar. Itu gara-gara minuman yang diberikan Karina.

Ama yakin, pasti ada sesuatu kemarin.

“Arghh! Kenapa hari ini aku sial banget, sih?” Dia ingin menangis, tetapi dering ponselnya kembali berdering, ini dari ibu tirinya–Ameera.

“Mau ngapain lagi, sih, ini nenek lampir? Gak ngerti banget apa, kalau aku sekarang lagi banyak masalah?”

Wanita itu berdecak. Tak kuasa menolak panggilan itu, Ama pun mengangkatnya.

“Pulang sekarang juga! Atau, kau akan melihat rumah peninggalan ibumu ini menjadi abu!” ancam Ameera, ibu tirinya, langsung di seberang telepon.

Ama mengacak-acak rambutnya kesal. Dia bahkan mengumpat, memaki kesialan yang tengah menimpanya hari ini.

“Aku harap nanti gak bakalan ada drama menjijikan yang aku lihat di sana!”

Ama pun segera pergi ke lobi dan memanggil taksi untuk pulang ke rumah.

Namun, harapan Ama sepertinya tidak terwujud. Ketika dirinya baru saja menginjak lantai marmer rumahnya, mukanya sudah ditampar dengan keras beberapa foto oleh ayahnya.

“Jelaskan apa maksud dari semua foto ini, huh!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 116

    Deru mesin itu makin jelas, bercampur dengan suara hujan yang menampar atap seng tetangga. Lampu depan mobil menerobos gelapnya jalan, menyapu genangan air yang berkilat diterpa petir. Ama menggenggam lengan Mama makin erat, tubuhnya sedikit gemetar. “Mas Rion… itu Mas, kan, Ma?” suaranya lirih, penuh harap bercampur rasa sakit. Mama menoleh cepat. “Iya, itu mobil Orion!” katanya lega, meski wajahnya tetap tegang. Mobil berhenti mendadak di depan rumah, ban menyibak air hingga memercik ke sisi jalan. Orion berlari keluar, jas kerjanya basah diguyur hujan, napasnya memburu. “Sayang!” panggilnya panik, setengah berteriak. Ama menoleh, wajahnya pucat, keringat dan sisa air mata bercampur di pipinya. Begitu Orion sampai, ia langsung meraih tubuh istrinya, menopangnya dengan kedua tangan. “Aku di sini, Sayang. Aku di sini.” “Mas, ini sakitnya makin sering.” Ama berbisik, suaranya pecah. Orion menatapnya lekat, lalu beralih pada Mama. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Mam

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 115. Palsu atau Asli?

    Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Mama Ama muncul dengan wajah panik, masih memegang lap piring di tangannya.“Ada apa, Nak?”Ama mencoba bicara, tetapi napasnya masih berat. “Perut kayak ditarik, Mah. Dua kali, makin kencang.”Mama langsung mendekat, membimbing Ama duduk kembali di sofa. “Coba tarik napas pelan, buang perlahan gitu. Kita tenang dulu, ya. Air putihnya mana?”Ama menggeleng, matanya masih menyipit menahan sensasi itu. “Masih di dapur.”Mama bangkit, mengambil segelas air lalu kembali dengan langkah tergesa. “Minum dulu. Ini bisa saja kontraksi palsu, dokter kan bilang begitu. Tapi, kita pantau. Kalau makin sering, kita langsung ke rumah sakit.”Ama mencoba meneguk sedikit air. Rasa tegang mulai bercampur dengan gelombang cemas yang merayap di dadanya. Tangannya mencari-cari ponsel di meja. “Aku, telepon Mas Orion aja.”Mama menatapnya ragu. “Masih kerja, kan?”“Aku nggak peduli.” Jemari Ama bergerak cepat menekan tombol panggil.Di sisi lain, Orion baru saja kel

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 114. Kontraksi

    Amalthea menghentikan gerakan sendoknya. Tatapannya berpindah ke wajah Orion yang terlihat serius, berbeda dari senyum santainya beberapa menit lalu. “Iri? Maksud kamu apa?”Orion menghela napas, lalu meraih jemari istrinya di atas meja. “Aku cuma, takut kamu membandingkan. Pernikahan kita dulu kan jauh dari kata megah. Apalagi, waktu itu, keadaan kita, ya, kamu tahu sendiri.”Waktu itu memang bukan pernikahan impian. Segala sesuatunya terjadi tiba-tiba, di tengah hiruk-pikuk kabar miring yang memaksa mereka menikah untuk meredam gosip. Bukan tanpa cinta, melainkan jelas bukan awal yang mulus.Amalthea tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Mas, aku nggak pernah iri. Aku malah kasihan sama mereka kalau harus mikirin ribetnya pesta segede ini. Lagian,” ia menatap Orion lekat-lekat, “yang aku mau dari awal cuma kamu. Bukan pelaminan, bukan pesta, bukan gaun putih panjang.”Orion terdiam. Rasanya hatinya mencair mendengar ucapan itu. “Kamu serius?”“Serius banget.” Amalthea menyuap sisa cake

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 113. Iri?

    Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 112. Pilih Kamu, iya kamu

    “Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 111. Dua Sekaligus

    “Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status