Home / Romansa / Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh / Bab 2. Dicoret dari Hak Waris

Share

Bab 2. Dicoret dari Hak Waris

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2024-06-06 16:04:19

Ama menunduk menatap foto-foto yang dilempar ayahnya. Foto-foto tersebut diambil dengan sudut yang pas. Tentu akan membuat orang yang melihat menjadi salah paham.

Itu adalah foto dirinya dan Orion yang tengah ada di lorong hotel semalam, bahkan ada beberapa foto Orion ketika menggendongnya masuk ke kamar hotel.

Deg!

Keringat dingin membanjiri dahi Ama. “B-bagaimana bisa ada f-foto itu…”

Tubuhnya gemetar ketakutan, apalagi saat matanya menangkap jelas keberadaan Edrick yang duduk di single sofa, di rumahnya.

Tungkainya yang lemas dipaksa untuk berjalan mendekati sang tunangan. “M-mas, A-ama bisa jelasin!”

Pria itu langsung menepis tangan Ama saat ingin digenggam. Sakit, tapi tak berdarah. Hatinya begitu diliputi rasa takut dan juga frustasi.

“M-mas….” panggilnya dengan mata basah.

“Bukankah pria itu adalah Orion?” tanya Edrick.

Ama menegang kaku, apalagi saat Edrick membawa-bawa nama pria itu. Dia bingung harus menjawab apa dan hanya menunduk.

“I-tu–”

“Tega kamu, Ma!” kata itu begitu pendek, tapi cukup membuat hati Ama semakin porak-poranda.

Ama menggeleng. Dia berusaha keras untuk menjelaskan pada Edrick. Namun, lidahnya begitu kelu, apalagi saat melihat tatapan kecewa yang tergambar jelas di sorot mata sang tunangan.

“A-ma bersumpah, Mas. Hanya Mas Edrick yang Ama cinta, bukan pria mana pun,” ujarnya, jujur.

“Lalu, bagaimana bisa kamu tidur sama Orion, Ma?” Suara Karina menginterupsi Ama yang sedang mencoba menjelaskan pada Edrick. “P-padahal… padahal semalam ulang tahunku, tapi kamu malah membuat Mas Edrick marah gara-gara kejadian ini…”

Ama masih tidak paham dengan korelasi ulang tahun Karina dan keadaan Edrick. Namun, melihat bagaimana wanita itu meneteskan air mata, dan bersandar di bahu Edrick, ia sudah bisa menduganya.

“Kau yang sudah membuatku mabuk semalam!” Ama berkata dengan suara bergemeletuk menahan geram. Dia bahkan langsung mendorong dada kakak tirinya itu dengan penuh benci.

“K-kok kamu malah nyalahin Kakak, sih?” Karina masih menangis. “I-itu ulang tahunku… a-aku tidak mungkin melakukan hal buruk kepada adikku sendiri…”

“Cukup, Ama!” bentak Edrick. “Kamu padahal tau, kalau aku tuh gak suka kamu deketan sama pria bajingan itu! Kalau kamu mabuk, harusnya mencariku atau pulang saja, bukannya tidur dengan Orion!”

Ama menggeleng prihatin. “Sumpah demi apa pun, Mas! Aku juga gak tau bagaimana bisa ada di kamar itu dengan Orion!”

Plak!

Bukan Edrick atau Karina, tapi Akbarthea atau ayahnya sendiri yang menampar keras pipi Ama. Wanita itu terdiam. Bahkan semua orang yang ada di sana pun ikut terkejut.

“Kamu masih berani menuduh kakakmu yang melakukan itu? Apa kamu tidak tahu jika semalaman kakakmu sudah mencarimu ke mana-mana?!” bentak Akbar.

Ini adalah kali pertama Akbar meninggikan suara untuk Ama.

“A-ayah….”

Ayahnya yang sedari tadi duduk dan menonton kini terlihat begitu kecewa. Wajah ramah dan tatapan teduh yang biasa pria tua itu berikan kepada Ama, kini jelas tidak tersirat di sana. Hanya tatapan marah dan juga kecewa.

“Cukup, Ama! Ayah sudah melihat semuanya. Ayah nggak nyangka jika kamu akan berbuat seperti—ugh….”

Brug!

“AYAH!”

Tubuh Akbar mendadak limbung, dan terjatuh di lantai.

“Ayah!” Ama yang panik pun langsung menghampiri pria tua itu, memeluknya dengan derai air mata yang membasahi wajahnya.

“Ayah… maafin Ama… maaf…”

“A-ayah kece-wa padamu, A-ama. J-jika kamu tak menyelesaikan masalah ini, A-ayah akan mencoret namamu dari hak w-waris!”

***

"Gimana keadaan ayah saya, Dok?”

Ama bergegas menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. Serangan jantung ayahnya tiba-tiba kambuh, sehingga membuat Ama kalap sendiri. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit ia terus berdoa. Hanya ayahnya satu-satunya keluarga yang ia punya.

“Kondisi Tuan Akbar sudah stabil. Namun, beliau masih tidak sadarkan diri. Saya akan memindahkan beliau di kamar inap saja untuk memantau keadaan beliau hingga sadar,” ucap sang Dokter.

Ama bisa bernapas sedikit lega setelah mendengar penjelasan dokter. Lalu, ayahnya pun dipindahkan ke kamar rawat inap VVIP, Ama terus menemaninya di sana. Dirinya tidak mengharapkan kedatangan ibu dan kakak tirinya.

Wanita itu memegang telapak tangan Akbar dan menempelkannya ke pipi.

“Ayah, maafin Ama...,” ujar Ama sambil terisak.

Kalau saja dia tidak datang ke pesta Karina, kalau saja dia masa bodoh dengan tatapan orang-orang ketika dia menolak minuman Karina, kalau saja dia tidak mementingkan citra perusahaan daripada citranya sendiri, semua ini tidak akan terjadi. Ayahnya pasti masih sehat dan menyambutnya dengan senyuman di rumah.

Suara pintu didorong dari luar segera membuat Ama menoleh. Bibirnya tak bisa untuk tak berdecih, apalagi dengan tak berperasaan dua manusia palsu itu masuk dan duduk di sofa.

Karena malas berbicara dengan mereka, Ama hanya membuang muka dan kembali fokus pada ayahnya

“Cecunguk kayak kamu sudah terlalu lama dimanja. Sekarang, aku sebagai ibu barumu harus memberimu sedikit pelajaran hidup.” Ameera mengangkat dagunya tinggi.

“Tahu apa Anda tentang hidupku? Kalian masuk ke dalam keluarga kami karena harta yang telah dikumpulkan oleh kedua orang tuaku.” Ama berbicara penuh penekanan, masih duduk di sebelah brankar ayahnya.

“Kalian sudah merusak hidup kami. Dan kamu!” Ama menunjuk Karina dengan mata tajam. “Aku pastikan kamu dapat balasan yang lebih buruk dari bayanganmu.” Lanjut Ama.

Bukannya takut, Karina malah tertawa sinis. "Coba saja. Memangnya siapa lagi yang percaya padamu sekarang? Mas Edrick bahkan tidak sudi melihat wajahmu lagi."

Ama masih menatap tajam Karina. Tangannya mengepal kuat.

'Bolehkah aku melempar tabung oksigen ini ke wajah penuh suntik botox itu?' batin Ama menggeram.

"Ah, satu lagi," sekarang, Ameera yang berbicara. "Sepertinya, pengacara ayahmu akan menghubungimu segera. Untuk membicarakan perpindahan hak waris."

Kedua ibu dan anak itu pun tertawa lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 116

    Deru mesin itu makin jelas, bercampur dengan suara hujan yang menampar atap seng tetangga. Lampu depan mobil menerobos gelapnya jalan, menyapu genangan air yang berkilat diterpa petir. Ama menggenggam lengan Mama makin erat, tubuhnya sedikit gemetar. “Mas Rion… itu Mas, kan, Ma?” suaranya lirih, penuh harap bercampur rasa sakit. Mama menoleh cepat. “Iya, itu mobil Orion!” katanya lega, meski wajahnya tetap tegang. Mobil berhenti mendadak di depan rumah, ban menyibak air hingga memercik ke sisi jalan. Orion berlari keluar, jas kerjanya basah diguyur hujan, napasnya memburu. “Sayang!” panggilnya panik, setengah berteriak. Ama menoleh, wajahnya pucat, keringat dan sisa air mata bercampur di pipinya. Begitu Orion sampai, ia langsung meraih tubuh istrinya, menopangnya dengan kedua tangan. “Aku di sini, Sayang. Aku di sini.” “Mas, ini sakitnya makin sering.” Ama berbisik, suaranya pecah. Orion menatapnya lekat, lalu beralih pada Mama. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Mam

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 115. Palsu atau Asli?

    Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Mama Ama muncul dengan wajah panik, masih memegang lap piring di tangannya.“Ada apa, Nak?”Ama mencoba bicara, tetapi napasnya masih berat. “Perut kayak ditarik, Mah. Dua kali, makin kencang.”Mama langsung mendekat, membimbing Ama duduk kembali di sofa. “Coba tarik napas pelan, buang perlahan gitu. Kita tenang dulu, ya. Air putihnya mana?”Ama menggeleng, matanya masih menyipit menahan sensasi itu. “Masih di dapur.”Mama bangkit, mengambil segelas air lalu kembali dengan langkah tergesa. “Minum dulu. Ini bisa saja kontraksi palsu, dokter kan bilang begitu. Tapi, kita pantau. Kalau makin sering, kita langsung ke rumah sakit.”Ama mencoba meneguk sedikit air. Rasa tegang mulai bercampur dengan gelombang cemas yang merayap di dadanya. Tangannya mencari-cari ponsel di meja. “Aku, telepon Mas Orion aja.”Mama menatapnya ragu. “Masih kerja, kan?”“Aku nggak peduli.” Jemari Ama bergerak cepat menekan tombol panggil.Di sisi lain, Orion baru saja kel

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 114. Kontraksi

    Amalthea menghentikan gerakan sendoknya. Tatapannya berpindah ke wajah Orion yang terlihat serius, berbeda dari senyum santainya beberapa menit lalu. “Iri? Maksud kamu apa?”Orion menghela napas, lalu meraih jemari istrinya di atas meja. “Aku cuma, takut kamu membandingkan. Pernikahan kita dulu kan jauh dari kata megah. Apalagi, waktu itu, keadaan kita, ya, kamu tahu sendiri.”Waktu itu memang bukan pernikahan impian. Segala sesuatunya terjadi tiba-tiba, di tengah hiruk-pikuk kabar miring yang memaksa mereka menikah untuk meredam gosip. Bukan tanpa cinta, melainkan jelas bukan awal yang mulus.Amalthea tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Mas, aku nggak pernah iri. Aku malah kasihan sama mereka kalau harus mikirin ribetnya pesta segede ini. Lagian,” ia menatap Orion lekat-lekat, “yang aku mau dari awal cuma kamu. Bukan pelaminan, bukan pesta, bukan gaun putih panjang.”Orion terdiam. Rasanya hatinya mencair mendengar ucapan itu. “Kamu serius?”“Serius banget.” Amalthea menyuap sisa cake

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 113. Iri?

    Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 112. Pilih Kamu, iya kamu

    “Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 111. Dua Sekaligus

    “Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status