Share

BAB 7

Author: Ziajung
last update Last Updated: 2025-07-09 10:16:17

 

[Hah?? Beda cowok lagi?? Bukannya kemarin katanya jalan sama Adrian gitaris Xepile itu?]

[Rumah sakit... hm... jangan-jangan....]

[Hamil udah hamil]

[Wkwkwk lagi zaman ya hamil duluan baru diumumin ckck sekelas aktris loh]

[Katanya itu cowok kerja di rumah sakit, bener gak sih?]

[Ini bukan sih?]

Semakin ke bawah, komentar-komentar itu terasa semakin liar. Bahkan ada yang berasumsi kalau Irene sedang konsultasi tentang aborsi di sana, ada juga yang mengatakan Irene sedang memasang alat kontrasepsi. Namun, di antara semua komentar itu, Irene cukup lama terpaku pada satu komentar.

Dante Januar, 33 tahun, Legal Director of Dashar Group.

Gila, dunia memang gila. Hanya dengan sepotong gambar, identitas pria itu sudah diketahui. Walaupun masih banyak kabar simpang-siur, hanya Irene yang mengetahui fakta itu benar adanya.

“Bener, Ren?” bisik Maudy super pelan, mungkin khawatir Ester dan yang lain mendengarnya.

“Nanti gue jelasin.” Irene menyerahkan kembali tablet itu kepada Maudy. “Gue mau fokus syuting dulu.”

Irene tahu kalau Maudy mempunyai seribu kata makian dan omelan, tapi terpaksa harus ditahannya karena situasi tidak memungkinkan. Di sisi lain, Irene merasakan emosi mulai bergejolak di dadanya. Apa semua perasaan tenang itu hanya sia-sia? Untuk hal sepele ini saja ia dikhianati oleh orang-orang itu.

Mukanya doang pura-pura polos dan menyakinkan, tapi sama aja... punya maksud di baliknya! Irene memaki pria itu di dalam hati.

Mana yang namanya privasi, kalau orang bisa dengan mudahnya memotret Irene dan menyebarkannya di internet. Bahkan, sampai membuat gosip seperti itu.

“Ren,” Maudy memanggil lagi, membuat Irene yang sedang dipakaikan eye shadow pun terpaksa membuka mata perlahan.

“Kenapa lagi?”

“Bu Kristin telepon.”

***

Dokter Cabul is calling...

Sejak mengganti nama kontak Regan dengan “Dokter Cabul”, Dante merasa dua kali lebih kesal ketika melihat nama itu muncul di ponselnya. Ia pun hanya melirik sejenak, sebelum menolak panggilan itu lagi. Sudah tiga kali Regan menelepon dalam sepuluh menit ini, dan Dante sama sekali tidak punya niatan untuk menjawabnya.

Bukan apa-apa, terkadang Regan itu hanya pamer soal hubungannya dengan Poppy. Poppy membawakannya makan siang-lah, Poppy membuatkan sarapan inilah, Poppy mengirimakn foto beginilah, seolah menunjukkan bahwa dirinya adalah pria terbahagia di dunia setelah menikah. Asal tahu saja, sebelum ada Regan, Dante yang selalu menjadi nomor satu untuk Poppy.

Rupanya, Regan belum menyerah juga. Ia menelepon untuk yang keempat kalinya. Menghela napas panjang, Dante pun menghela napas panjang dan bersandar di punggung kursi, lalu mengangkat panggilan itu.

“Kenapa? Gue lagi sibuk. Siang ini gue harus ke rumah sakit buat lapor—“

“Jangan ke sini!” potong Regan langsung.

Dahi Dante berkerut. “Hah?”

“Pokoknya jangan datang. Udah laporan lo di-hold aja.”

Dante tahu kalau Regan akan menjadi pewaris rumah sakit itu entah dua atau tiga tahun mendatang, tapi bukan berarti dia bisa memerintah Dante seenaknya begini. Lagi pula, urusan Dante adalah dengan Pak Haris—kepala rumah sakit saat ini, bukan dengan Regan.

“Eh, kadal tiga warna, gue bilangin ya.” Dante menegakkan punggungnya lagi karena emosinya mulai tinggi. “Lo emang notabenenya atasan gue, tapi bukan atasan langsung gue, jadi lo gak bisa semena-mena! Gue ke RS buat kerja, bukan buat godain adek temen gue!”

Tut!

Dante langsung memutuskan sambungan sebelum Regan menjawab apa pun.

Kalau boleh jujur, Dante masih dendam soal fakta Regan menikahi Poppy—adiknya. Adiknya yang polos itu sampai harus “menabung” duluan gara-gara pengaruh dokter cabul itu. Belum lagi, Poppy juga mulai mengabaikannya dan hanya fokus pada Regan.

Dante meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. Ia menghela napas panjang sekali lagi begitu melihat tumpukan dokumen di sana. Selain tugasnya sebagai legal director, Dante juga sering mendapat tugas tambahan langsung dari Pak Kristo Dashar—papinya Regan sekaligus pimpinan Dashar Group saat ini.

“Kalau sampai tahun depan gue gak kebeli mobil baru, gue harus tuntut perusahaan ini,” gumamnya sebelum kembali mengambil salah satu dokumen dari tumpukan.

Menit berjalan, jarum jam bergerak. Jam sudah hampir menunjukkan waktu makan siang, itu artinya Dante harus segera ke rumah sakit untuk memberikan laporan. Ia juga sudah terbiasa makan siang di kantin rumah sakit—sejak Poppy tidak lagi membuatkannya bekal. Jadi, lebih baik sekalian saja daripada membuang-buang waktu.

Sebagai salah satu rumah sakit swasta besar, Dante memang tidak asing dengan suasana ramai Rumah Sakit Dashar. Namun, ada yang berbeda ketika Dante menghentikkan motornya di parkiran. Orang-orang berkumpul di halaman depan dan tampak beberapa petugas keamanan berjajar menghalangi. Belum lagi, Dante juga melihat beberapa dari mereka membawa kamera besar.

Ada apa? Apa ada orang terkenal yang dirawat di sini?

Dengan masih memakai jaket kulitnya, Dante memasuki pintu samping rumah sakit dengan santai. Lagi pula, ia akan langsung ke kantin dulu, jadi lebih cepat kalau lewat pintu samping ini. Dante berjalan masuk sambil masih memakai masker hitam dan menenteng helm full face-nya.

Namun, keadaan menjadi lebih aneh begitu Dante memasuki koridor. Beberapa staf rumah sakit yang melewatinya, jelas-jelas melirik sambil berbisik. Apa ini? Apa karena Dante tidak melepas masker, dia jadi dicurigai? Bukankah sosoknya ini sudah sangat familier untuk mereka?

Semakin lama, Dante semakin merasa tak nyaman. Ia pun menarik sebelah tali maskernya untuk dilepas. Namun, sebelum masker itu terbuka sepenuhnya, seseorang menarik lengannya dari samping.

“Ikut gue.”

“W-woi, woi, ada apaan, sih?!” protes Dante sambil berkali-kali memberontak.

Regan seolah tidak mendengar ocehan Dante. Ia terus berjalan dengan langkah lebar sambil menarik lengan pria itu. Sampai akhirnya, mereka sampai di pintu tangga darurat dan Regan mendorong Dante masuk ke sana.

Mas, aku lanang loh!” Dante memekik sambil menyilangkan tangan di dada.

Plak!

Lantas saja Regan memukul kepala pria itu. “Serius dikit dong, goblok!”

“Apaan, sih?! Emang siapa yang tarik gue duluan tanpa penjelasan, hah?! Mana nyuruh gue gak usah dateng lagi. Apa kuasa lo?!”

“Gue bisa kasih lo pesangon.”

Dante mengatupkan bibirnya. Sial, Regan benar. Bagaimanapun, dia tetap pewaris sah rumah sakit ini—plus Dashar Group.

“Udah baca berita?” tanya Regan kemudian.

Dahi Dante berkerut. “Pagi ini? Berita apa? Soal curanmor daerah—“

“Bukan!” Regan berdecak. “Soal lo.”

“HAH?! Gue?!”

Kali ini, Regan yang menghela napas panjang. Dari tingkahnya yang sampai memijat dahi itu, seolah mengatakan kalau dia sudah menduga jawaban Dante barusan. Lagi pula, kenapa dirinya bisa masuk berita? Seingat Dante, tadi pagi ia berangkat kerja dengan aman damai saja.

Regan pun mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu. Tak lama kemudian, ia menyodorkan ponsel itu kepada Dante.

“Lo terkenal, Sat!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 14

    “And, cut! Nice!”Teriakan Koko, sutradara muda yang mengokestra film ‘Target’, mengakhiri tendangan Arunika—tokoh yang diperankan Irene—kepada salah satu pemeran figuran. Suara tepuk tangan dan pujian pun mengiringin, membuat Irene mau tidak mau membalasnya dengan senyuman. Irene juga mengucapkan terima kasih pada beberapa pemeran figuran yang ada di sana.“Seperti biasa, keren banget, Ren! Fix tahun ini bopong piala Citra lagi, dah!” Koko memujinya sambil memberi tepukan di bahu.“Di-aminin aja dulu,” jawab Irene santai. Siapa yang tidak mau mendapat penghargaan besar itu? Hanya saja, ia tidak mau memperlihatkan sisi ambisiusnya yang berlebihan.“Eh, tapi badan lu aman, kan? Katanya kemarin sempat demam sampai kram perut gitu.”“Biasa, Mas, lagi hari pertama,” Irene menjawab dengan agak berbisik di akhir

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 13

    Irene keluar satu jam kemudian dengan mata yang merah dan sembab. Untung saja dia membawa topi dan kacamata, sehingga dia bisa menghindari tatapan warga yang berlalu lalang ingin ke ladang. Irene masuk ke mobil dengan tenang untuk mengantisipasi kecurigaan.Irene tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perlahan, tangannya mengusap perut, berharap ia bisa merasakan detak jantung kecil itu lagi.Maaf, ya. Saya belum bisa jadi ibu yang layak buat kamu....***Irene memastikan sekali lagi kalau penampilannya sudah jauh lebih baik sekarang melalui kamera depan ponselnya. Setelah melap wajahnya dengan tisu basah, Irene memakai sedikit consealer untuk menutupi sembab dan kemerahan pada kulitnya. Ia juga sudah mengganti kacamatanya dengan lensa kontak agar tidak menimbulkan kecurigaan lain. Setelah menarik napas

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 12

    Di dalam ruang periksa yang sederhana itu, mata Irene bergerak gelisah menatap layar di sampingnya. Gambar hitam-putih itu sekilas hanya berbentuk abstrak yang bergerak pelan seraya tarikan napasnya. Ada setitik kecil di antara ruang hitam layar itu, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Irene sekarang.“Bu Arini bisa lihat, kan?” Bu Kemala bertanya lembut sembari menggerakkan transduser ke perut Irene yang belum terlihat tonjolan berarti. “Dia sudah sebesar kacang polong sekarang.”Mata Irene berkedip. “Berapa... usianya sekarang?”Masih dengan tangan yang menggerakkan transduser dan mengamati janin Irene gambar dua dimensi itu di layar, Bu Kemala menjawab, “Kalau dari hasil data Bu Arini dan berkembangan janin, kira-kira sudah berusia enam atau tujuh minggu.”Ini adalah kali pertama Irene mengetahui usia janin yang dikandungnya—sama seperti kali pertama Irene

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 11

    Bola mata hitam pekat itu bergulir ke kiri.Keadaan gak aman.Sekarang, dia bergerak ke sisi yang lain.Ah... di sini juga gak aman.Akhirnya, dia menatap ke depan.Sialan! Makin gak aman!“Aduh... kalian kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu?!” Dante melenguh sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. Padahal, dia hanya ingin menikmati pagi harinya yang damai ini tanpa kehadiran adik ipar menyebalkan itu—dibaca, Regan.Pria itu ada seminar di Singapura selama tiga hari, jadi Dante diminta untuk menjaga Poppy. Keadaan adiknya masih sangat payah di trimester awal ini, jadi Regan dengan berat hati tidak bisa mengajaknya. Oleh sebab itu Dante, Mami, dan Papi menginap di rumah mereka sejak kemarin.“Tuh kan, Pi. Kayaknya emang mustahil,” celetuk Mami tiba-tiba sambil masih menatap Dante dengan dahi berkerut.

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 10

    Irene membuka matanya yang terasa sangat berat hari ini. Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan pria bernama Dante itu, tapi rumor itu masih belum mereda. Maudy dan agensinya sudah menangani bagian yang harus mereka tangani, dan pihak Rumah Sakit Dashar pun membuat pernyataan sikap untuk orang-orang penyebar rumor tak berdasar. Walaupun begitu, netizen seolah tidak punya telinga atau mata untuk semuanya.Itulah kenapa kadar stres Irene agak menumpuk belakangan ini. Terlebih, dua hari ini, ia harus melakukan adegan cukup ekstrem untuk film terbarunya yang memang bergenre aksi. Irene harus menahan segala kram perut dan rasa lelahnya agar tidak dicurigai siapa pun—termasuk Maudy. Hasilnya, tubuh Irene seperti habis ditindih sepuluh gajah dan hampir tak bisa digerakan.“Sialan....,” Irene mengumpat saat mencoba bangun dari kasur. Bagian terparah dari rasa nyeri itu ada di perut bagian bawahnya. Ini seperti sakit saat hari

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 9

    Dante menghela napas, tahu persis apa yang dimaksud Irene. “Ayo, kita ngobrol di ruangan saya saja.”Irene datang ke tempat ini sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Ia memanfaatkan waktu jeda syuting beberapa jam untuk kembali ke Jakarta dan menemui seorang Dante Januar di gedung Dashar Group. Padahal, dirinya sendiri tidak yakin apakah Dante benar-benar karyawan di sini atau tidak, tapi nekat menemuinya bahkan sampai memakai nama asli dan alasan “urusan pribadi” ketika resepsionis bertanya.Irene mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang ada di ujung lorong. Tulisan “Legal Director” terpatri di depan pintunya. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tidak bisa juga dibilang sempit. Hanya saja, tumpukkan dokumen di meja kerja membuat suasananya agak sumpek. Terlebih, sepertinya pria itu memang sengaja tidak merapikan kertas-kertas itu.“Silakan duduk di sofa. Maaf b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status