Share

BAB 6

Penulis: Ziajung
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-25 22:43:34

 

Seminggu berlalu dengan damai, yang justru itu membuat Irene merasa sangat kosong. Ini terlalu normal dengan segala huru-hara yang terjadi hari itu. Keenan tidak menghubunginya sama sekali dan media juga tidak ada yang berisik. Sekarang, Irene seperti sedang diabaikan.

Bukannya Irene berharap ada kejadian yang luar biasa, yang bisa membuat setidaknya Bu Kristin melempar asbak ke arahnya. Setidaknya, ia ingin mendengar satu penjelasan dari Keenan. Mual yang dirasakannya setiap pagi masih terjadi, seolah terus mengingatkan Irene bahwa janin ini masih hidup. Hubungan mereka masih terjalin, tetapi kenapa hanya dirinya yang menanggung?

“Apa digugurin aja?”

“Hah?”

Irene mengerjap. Dia baru sadar kalau dirinya masih berada di dalam mobil bersama Maudy. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan menuju lokasi syuting film terbarunya di daerah Bandung. Karena terlalu tenggelam dalam lamunannya, Irene tidak sengaja mengucapkan apa yang pikirannya.

“Gak,” kilah Irene, sebelum menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan ke jendela. “Masih jauh?”

“Kalau dari maps, sekitar satu jam-an lagi. Weekend sih, jadi banyak jalanan yang macet,” jawab Maudy dari balik kemudi. “Tidur aja dulu. Belakangan ini, muka lo pucet banget.”

Semua gara-gara hormon kehamilan muda ini. Irene terpaksa membaca artikel di internet soal kehamilan di trimester pertama karena badannya terasa tak karuan. Insomnia, mual, tidak nafsu makan, sampai emosinya yang tidak stabil. Sebentar, ia merasa sangat membenci janin ini, tapi kemudian menangis sendiri ketika mengingat dia mungkin satu-satunya yang akan menjadi keluarga Irene.

Seharusnya ada Keenan....

“Lo masih kepikiran soal Pak Keenan?” tanya Maudy sesaat sebelum Irene memejamkan mata.

“Bohong kalau gue jawab gak.”

Walaupun tidak semuanya, Irene menceritakan sebagian besar soal kecelakaan waktu itu. Ia sedikit berbohong, mengatakan kalau dia putus dengan Keenan gara-gara keluarganya tidak suka. Irene yang terpukul pun mendapat serangan panik ketika pulang dan berakhir kecelakaan.

Irene melirik Maudy, dan melihat wanita itu tengah menatap iba dari spion tengah. “I can handle it. Gak usah khawatir....”

“Gimana gak khawatir kalau lo pucet begitu?!” omel Maudy. “Film lo ini film aksi loh, Ren. Kalau lo gak fit, gimana jadinya?”

Irene terkekeh pelan. “Oh, jadi lo khawatir gue ngerusak syuting. Gitu?”

“G-gak gitu....”

“Oke, oke....” Irene mengibaskan tangannya. “Gue tidur dulu. Bangunin aja kalo udah di lokasi.”

Setelahnya, Maudy tidak mengucapkan apa pun. Irene tahu, bukan maksud Maudy begitu. Ia paham betul posisi Maudy—yang selain temannya, juga manajernya. Wanita itu memang agak sulit memisahkan urusan pekerjaan dengan pribadi. Begitu juga dengan Irene.

“Duh, ini wartawan Kiss Gossip kenapa teleponin gue mulu, deh?!”

Dengan mata terpejam, Irene masih mendengar gerutuan Maudy. Ponsel Maudy yang terhubung dengan audio mobil pun mengeluarkan suara panggilan masuk. Namun sepertinya, wanita itu langsung menolak panggilan itu.

Ah... Irene jadi ingat sesuatu. Semalam, ia iseng memeriksa request DM I*******m-nya, berharap ada satu pesan dari Keenan yang memakai akun palsu. Namun, tidak ada satu pun. Di antara ribuan pesan dari penggemar, permintaan endors, dan akun-akun tak jelas, Irene juga mendapat pesan permintaan wawancara dari berbagai akun gosip.

Agensinya sudah menangani soal kecelakaan kemarin dengan bersih, seharusnya tidak akan terjadi apa pun. Irene hanya berharap, mereka hanya meminta wawancara biasa saja.

Mereka akhirnya tiba sepuluh menit lebih lama dari yang diperkirakan. Untung saja syuting masih belum dimulai. Kepala Irene terasa pening begitu terbangung. Perutnya juga kembali mual. Ia menegakkan punggung perlahan sambil masih memejamkan matanya.

“Lo gak apa-apa?” tanya Maudy khawatir sambil menoleh ke belakang.

Irene mengangkat sebelah tangannya. “Gak apa-apa, sebentar....”

“Kalau gak kuat, biar gue aja yang wakilin lo nyapa Pak Rady dan yang lain. Lo istirahat—“

Huweek!

Maudy bahkan belum menyelesaikan ocehannya kala Irene tidak bisa menahan mualnya lagi. Untungnya hanya air liur yang keluar dan mengotori tangan serta celana jeans-nya. Maudy bertambah panik. Sambil mengoceh, wanita itu membantu Irene membersihkan tangan dan pakaiannya.

“Aduuuh... lo perlu ke dokter gak, nih? Bisa gawat kalau pingsan pas syuting. Inget, Ren, kali ini ada adegan berat. Lo harus—“

“Dy,” potong Irene. “Gue gak apa-apa.”

Kalau sudah melibatkan dokter, Irene yakin keadaannya akan menjadi semakin rumit. Ia cukup beruntuk karena Rumah Sakit Dashar sudah terkenal dengan integritasnya. Ia tidak mau mempertaruhkan reputasi dengan rumah sakit daerah di sini yang belum tahu akan bagaimana.

Maudy menatap Irene cukup lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang. Sepertinya, akhirnya ia paham kalau Irene memang tidak bisa diperdebatkan. Apa pun keputusannya, itu sudah sepenuhnya bulat.

“Seenggaknya minum obat masuk angin dulu, deh.” Maudy mengambil kotak obat dan menyerahkan satu obat cair kepada Irene. “Pokoknya, kalau gak kuat nanti pas syuting, lo harus stop.”

Siapa pun tahu, Irene selalu totalitas ketika berakting. Mau separah apa pun keadaannya, ia tidak akan menunjukkan itu di depan kamera. Namun, karena tidak ingin berdebat saat ini, Irene hanya memberi anggukan kecil dan meminum obat itu.

Lima menit kemudian, Irene keluar dari mobil dengan senyum seperti biasa. Ia menyapa para kru dan sutradara, lalu masuk ke ruang ganti untuk make-up dan berganti kostum. Irene hanya berharap hari ini berjalan dengan cepat agar ia bisa kembali ke rumah. Namun ternyata, Semesta tidak mendukung hal itu.

Salah satu alasannya adalah karena dia harus berbagi ruang tunggu bersama Ester Kalula—pemain pendukung di film ini.

“Beda ya kalau pemeran utama. Telat aja gak ada yang ngomelin,” komentar Ester begitu Irene duduk di kursi make-up.

Para tukang rias yang ada di sana hanya melempar lirikan, tidak berani berkomentar apa pun. Sudah menjadi rahasia umum kalau hubungan Irene dan Ester memang dingin di balik layar. Lebih tepatnya, Ester yang sering memancing keributan, tetapi selalu dibalas Irene dengan dingin.

“Manusia diciptakan untuk tahu value. Dan mereka paham itu,” jawab Irene sambil memejamkan mata ketika wajahnya mulai dibersihkan.

“Ya... untuk seorang suka lempar badannya ke kasur cowok, gue akuin, value yang lo tawarkan cukup tinggi.”

Irene sudah terbiasa mendengar panggilan itu dari Ester, hanya saja kali ini ia merasa tak suka. Mungkin efek kehamilan ini membuatnya jauh lebih sensitif. Ia tidak suka jika janinnya mendengar kata-kata yang tak pantas.

Jadi, Irene pun membuka matanya dan menatap balik Ester dari cermin. “Semakin hari, narsistik lo semakin parah, ya.” Irene kembali memejamkan mata. “Bahkan sekarang, dengan pedenya bisa bicara gitu sambil tatap diri lo sendiri di cermin.”

“Lo—“

Stop, Ester. Sebelum lo mempermalukan diri lo sendiri lebih jauh,” tutup Irene tanpa mau repot-repot melirik Ester.

Irene mendengar kursi di sebelahnya berderit, yang diikuti dengan geraman tertahan. Setelahnya, terdengar teriakan menggelegar Ester.  Seberapa pun sengitnya pertengkaran mereka, tidak pernah ada yang berani memisahkan, termasuk manajernya Ester. Hanya Maudy yang terkadang ikut meredam celetukan pedas Irene, atau malah balik membalas Ester. Namun kali ini, ntung saja wanita itu sedang mengobrol di luar, kalau tidak, mungkin teriakan Ester sudah dua kali lebih keras.

Brak!

“REN!”

Suara pintu yang dibuka keras bersamaan dengan seruan Maudy. Irene tidak bergerak, hanya membuka matanya dan menatap Maudy yang tengah berjalan ke arahnya dengan terburu-buru. Wajah wanita itu terlihat sangat panik.

“Kena—“

“Baca ini.”

[Hot! Irene Gabriella Tertangkap Bersama Pria di Rumah Sakit. Ada Apa?]

Selasa 12/4. Berdasarkan unggahan seseorang netizen di media sosial, dia melihat seorang wanita di UGD rumah sakit A yang diduga adalah aktris Irene Gabriella. Bukan hanya sosok yang diduga Irene saja yang tertangkap kamera, melainkan seorang pria muda yang tampak mengenakan jas rapi......

........”mereka kayaknya ngomong akrab banget. Masnya juga senyum-senyum gitu. Pacarnya gak sih?....” ungkap akun tersebut.........

......Apakah ini akan menjadi awal sebuah “kabar baik” dari Irene Gabriella? Saat ini, Bewhy Entertainment masih belum memberikan tanggapan......

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 6

    Seminggu berlalu dengan damai, yang justru itu membuat Irene merasa sangat kosong. Ini terlalu normal dengan segala huru-hara yang terjadi hari itu. Keenan tidak menghubunginya sama sekali dan media juga tidak ada yang berisik. Sekarang, Irene seperti sedang diabaikan.Bukannya Irene berharap ada kejadian yang luar biasa, yang bisa membuat setidaknya Bu Kristin melempar asbak ke arahnya. Setidaknya, ia ingin mendengar satu penjelasan dari Keenan. Mual yang dirasakannya setiap pagi masih terjadi, seolah terus mengingatkan Irene bahwa janin ini masih hidup. Hubungan mereka masih terjalin, tetapi kenapa hanya dirinya yang menanggung?“Apa digugurin aja?”“Hah?”Irene mengerjap. Dia baru sadar kalau dirinya masih berada di dalam mobil bersama Maudy. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan menuju lokasi syuting film terbarunya di daerah Bandung. Karena terlalu tenggelam dalam lamunannya, Irene tidak sengaja mengucapkan apa yang pikirannya.“Gak,” kilah Irene, sebelum menghela napas panjang da

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 5

    Setelah mendapatkan persetujuan dari Maudy, Irene pun kembali ke brankarnya. Tidak lupa dia menutup rapat setiap sisi tirai. Beruntungnya dia sudah meminta Maudy mengosongkan satu hari dari jadwal apa pun. Dia sudah berpikir ingin menghabiskan waktunya dengan Keenan.Ah, pria itu. Untuk sesaat, Irene sempat melupakannya karena serangan panik dan rasa kekhawatirannya akan janin itu. Bukan diselingkuhi, tapi menjadi selingkuhan. Bukan sekadar berpacaran, tapi mereka sudah menikah. Tidak ada pembelaan, Keenan malah menciut di depan istrinya.Irene kehilangan harapan lagi.Namun entah kenapa, ia tidak bisa menangis. Apakah ini berarti perasaan yang sempat hidup karena Keenan, sudah mati seketika kembali?Irene menunduk dan meletakkan tangannya di perut. Tidak ada harapan lagi untuk janin ini. Dia harus—Srak!“Eh? Sudah siuman?”Irene menoleh dengan cepat ke arah pria yang tiba-tiba menyibai tirai brankarnya. Pria itu memakai kemeja berwarna hitam yang digulung sampai siku yang sisi bawah

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 4

    Bau antiseptik yang tercampur dengan bau pahit obat mengusik ujung hidung Irene. Kepalanya masih terasa nyeri, tetapi pernapasannya sudah lebih ringan. Irene juga merasa seperti ada aliran udara masuk melalui lubang hidungnya.Matanya bergerak perlahan dan akhirnya terbuka. Cahaya yang menyorot membuatnya sejenak berpikir, apakah aku sudah mati?. Namun, langit-langit tinggi berwarna kebiruan dan suara riuh-rendah di sekitar meyakinkan Irene kalau ini bukan surga, melainkan hanya Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit.Irene menoleh. Di sekeliling ranjangnya ditutupi oleh tirai berwarna putih. Entah ini memang prosedur dari rumah sakit atau memang mereka menyadari siapa Irene. Oh, iya, omong-omong kenapa dia bisa berada di sini?Irene baru ingin mengangkat tangannya ketika tirai itu terbuka. Seorang dokter wanita terlihat sedikit terkejut ketika melihat Irene sudah sadar. Ia pun mendekati brankarnya.“Anda sudah sadar? Bagaimana keadaan Anda? Apa ada yang tidak nyaman?” tanya dokter itu

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 3

    Irene membanting pintu mobilnya sebelum menarik napas panjang. Namun anehnya, sebanyak apa pun udara yang ia hirup, itu tidak membuat rasa sesak di dadanya berkurang. Justru rasanya semakin menghimpit, sampai Irene tidak menyadari bahwa telapak tangannya tergores oleh kukunya sendiri yang tergenggam erat.Biasanya Irene adalah tipe yang sangat bisa mengendalikan diri. Mau sebesar apa gejolak emosinya, ia selalu bisa mempertahankan wajah tegas yang dihiasi senyum anggun. Namun tidak kali ini. Aura Ayudira mendominasi, ditambah Keenan yang sama sekali tak berkutik. Irene merasa dipojokkan walaupun faktanya bukan hanya dirinya yang salah di sana.“Gila....” Irene menjedotkan dahinya ke setir berkali-kali, berharap itu bisa menghilangkan rasa sakitnya. “Kenapa....”Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa Keenan begitu jahat? Kenapa Tuhan tidak adil? Dan begitu banyak kenapa yang berputar di otaknya.Irene pikir, Keenan adalah akhir penantiannya akan kebahagiaan. Namun ternyata, pria itu

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 2

    Irene yakin telah mendengar sesuatu, tapi entah kenapa kepalanya mendadak kosong. Apakah benar dirinya sudah menjadi bodoh—seperti yang Ayudira katakan?“Apa?” Di antara ribuan pertanyaan di kepalanya, hanya itu yang bisa Irene ucapkan.“Apa kamu baru paham kalau Keenan sendiri yang bilang?”Mendengar nama Keenan, Irene refleks menoleh ke arah pria yang terus diam sedari tadi. Tidak seperti biasanya, Keenan hanya duduk kaku di kursinya dengan punggung yang tegak. Kedua tangannya berada di atas paha dan kepalanya tertunduk. Aura dominan yang biasanya kental itu sirna sudah, seolah telah tersedot oleh Ayudira yang duduk di sebelahnya. Irene menggeleng, semua sikapnya itu sudah cukup menjadi jawaban.Namun tetap saja, Irene butuh penjelasan.“Mas... ini gak benar, kan?”Irene melihat Keenan menelan air liurnya. “Maaf, Rene.”Napas Irene tercekat di tenggorokannya. Matanya sudah panas, tapi ia menahan diri agar tidak menangis. “Sejak kapan?”“Dua tahun yang lalu.”Dan mereka bertemu setah

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 1

    Positif.Tangan Irene bergetar melihat satu garis yang muncul samar di sebelah garis lainnya. Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan benda itu ke lantai—membuatnya ikut bergabung dengan 3 benda serupa lainnya di sana. Irene mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seharusnya ia sudah menduga ini akan terjadi.Hari itu, Irene memang merasa seperti bukan dirinya. Ya, dirinya yang penuh perhitungan, perhatian cermat, dan agak keras. Malam itu, Irene terbuai oleh bujuk rayu kekasihnya untuk menyerahkan pengalaman pertamanya. Ditambah dengan pengaruh alkohol, lengkap sudah kebodohan Irene.Irene menurunkan tangannya dan melihat kembali empat testpack yang berserakan di lantai. Ketika merasa tubuhnya ada yang aneh, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa jadwal menstruasinya. Benar saja, itu sudah telat sembilan hari. Dengan implusif, Irene pun segera pergi ke apotek yang berada di depan apartemennya, dan membeli lima buah testpack sekaligus.Kali ini, tatapan Irene berpindah pada s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status