Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya.
“Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya terhenti saat Arjun menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Olivia dengan lembut, namun penuh hasrat. Ciuman itu memicu api yang selama ini terpendam, membakar semua keraguan dan rasa takut yang menghantuinya. Dia membalas ciuman itu dengan semangat yang sama, merasakan getaran di sekujur tubuhnya. Arjun menggenggam wajahnya, sementara tangan Olivia meraih lehernya, menariknya lebih dekat. Semua rasa bersalah, ketakutan, dan tekanan dari luar seolah sirna saat mereka berbagi momen yang begitu kuat. Ketika ciuman itu semakin dalam dan penuh gairah, Arjun menahan Olivia lebih erat, seolah-olah takut kehilangan momen indah ini. “Kita tidak bisa berpura-pura lagi,” dia berbisik antara ciuman, suaranya penuh dengan ketegangan dan cinta. “Aku tidak ingin kehilanganmu.” “Begitu juga aku, Arjun,” jawab Olivia, menarik napas dalam-dalam. “Tapi ini berisiko. Kita bisa kehilangan segalanya.” “Jika kita tidak memperjuangkan apa yang kita miliki, kita sudah kehilangan segalanya,” Arjun membalas, kemudian kembali menarik Olivia ke dalam pelukan hangatnya, menyelimutinya dengan rasa aman. Dia merasakan ketukan lembut di hatinya, menandakan betapa berartinya momen ini. Mereka berdua berdiri di sana, terkurung dalam pelukan satu sama lain, melupakan semua kebisingan dunia luar. Di dalam ruangan itu, semua masalah dan skandal terasa jauh. Yang ada hanyalah cinta yang telah tumbuh antara mereka, menuntut untuk diakui dan diperjuangkan. Akhirnya, Arjun menjauhkan wajahnya sedikit, memandang Olivia dengan tatapan penuh arti. “Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Yang aku tahu hanyalah aku ingin bersamamu. Kita akan menghadapi semua ini bersama, apapun yang terjadi,” ujarnya, memastikan bahwa Olivia mengerti kedalaman perasaannya. Olivia tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. “Aku bersamamu, Arjun. Selalu,” katanya, dan dengan itu, mereka saling merangkul, berjanji untuk menghadapi apa pun yang akan datang dengan keberanian dan cinta yang tak tergoyahkan. Dengan semangat baru, mereka saling berpegangan tangan, siap untuk meninggalkan ruangan dan menghadapi dunia luar yang menanti, tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak terhentikan—meskipun terjal dan penuh rintangan. Setelah beberapa saat menikmati kehangatan pelukan, Arjun melepaskan Olivia perlahan. Dia menatap dalam ke matanya, seolah-olah sedang mencoba membaca setiap pikiran yang ada di benaknya. “Jadi, sekarang apa? Kamu tahu, kita nggak bisa terus kayak gini, sembunyi-sembunyi. Orang-orang udah mulai curiga, Arjun,” Olivia akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembut, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Arjun menarik napas dalam, matanya menerawang sejenak sebelum menatap kembali ke Olivia. “Aku tahu, Olivia. Tapi nggak mungkin kita langsung blak-blakan gitu. Kita harus hati-hati. Kalo kita gegabah, semuanya bisa hancur—aku, kamu, karier kita, bahkan perusahaan ini,” katanya dengan nada rendah tapi serius. Olivia mengerutkan kening, merasa lelah dengan semua kehati-hatian yang selama ini mereka jalani. “Jadi maksudmu apa? Kita nunggu sampai kapan? Sampai orang-orang nggak cuma curiga, tapi mereka bener-bener tahu semuanya?” Nada suaranya mulai naik, mencerminkan frustrasi yang selama ini ia pendam. Arjun melangkah mendekat lagi, kali ini lebih lembut. “Bukan itu maksudku. Denger, aku cuma bilang kita harus nyusun strategi. Bukan cuma buat kita, tapi buat semuanya. Kita harus mikir jangka panjang. Kalau kita salah langkah, kita nggak cuma kehilangan pekerjaan, tapi kita bisa bikin perusahaan ini goyah.” Olivia mendengus, masih merasa ragu. “Kamu selalu mikirin perusahaan, Arjun. Kadang aku ngerasa kamu lebih peduli sama bisnis daripada kita,” ucapnya pelan, meski ia tahu dalam hatinya itu tidak sepenuhnya benar. Arjun menghela napas, lalu menggenggam tangan Olivia dengan lembut. “Aku peduli sama kamu. Lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi ini semua kompleks, Liv. Aku nggak bisa ngorbanin perusahaan yang udah aku bangun dari nol begitu aja. Aku pengen kita tetap bisa bareng tanpa harus ngeliat semuanya runtuh di sekitar kita.” Olivia terdiam, meresapi kata-kata Arjun. Meskipun ia mengerti logika di balik rencana Arjun, hatinya masih memberontak. “Lalu gimana? Kamu pengen kita tetap sembunyi sampai semuanya tenang, gitu?” Arjun menatap Olivia, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Aku nggak pengen sembunyi terus-terusan. Tapi, kita juga nggak bisa langsung buka semua sekarang. Kita harus bikin orang-orang mikir hubungan ini nggak bakal ngerusak profesionalisme kita. Kita harus tunjukin kalo kita tetap bisa bekerja tanpa campur aduk emosi.” Olivia mengerutkan alisnya, merasa belum puas dengan jawaban itu. “Dan kapan waktunya? Berapa lama lagi kita harus nunggu?” “Sebentar lagi, Liv. Aku udah ada rencana. Dalam beberapa bulan, aku akan lepas jabatan CEO dan alih posisi ke peran yang lebih strategis. Begitu aku nggak jadi pusat perhatian lagi, kita bisa perlahan-lahan mengungkapkan hubungan ini, tanpa orang-orang ngerasa kita nyalahin kekuasaan atau apapun itu.” Olivia menatapnya, mencoba memahami rencana Arjun yang rumit. “Dan kamu yakin itu bakal berhasil? Gimana kalo orang tetap aja nyalahin kita? Mereka bisa bilang kita cuma pura-pura profesional buat nutupin skandal.” Arjun mengangguk pelan, menggenggam tangan Olivia lebih erat. “Aku udah mikirin itu. Kita nggak bisa kendaliin omongan orang, Liv. Tapi kita bisa kontrol gimana kita bereaksi. Asal kita tetap solid, tunjukin kalo kita nggak ngerusak apa-apa di sini, perlahan orang bakal terima.” Olivia mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku capek, Arjun. Capek pura-pura nggak ada apa-apa. Tiap hari rasanya kayak aku harus ngumpetin bagian dari diriku yang penting. Aku sayang kamu, tapi aku juga nggak bisa terus kayak gini.” Arjun mendekatinya lagi, kali ini dengan penuh keseriusan di matanya. “Aku juga capek, Liv. Tapi aku percaya kita bisa ngatasin ini. Aku janji nggak lama lagi semuanya bakal jelas. Kita nggak akan selamanya sembunyi.” Olivia terdiam sejenak, memandangi wajah Arjun yang penuh harap. Meskipun hatinya masih bimbang, ia tahu bahwa Arjun tidak akan pernah membiarkan mereka terjatuh. “Oke,” katanya akhirnya dengan napas panjang. “Aku percaya kamu. Tapi jangan lama-lama ya, Arjun. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang.” Arjun tersenyum tipis, kemudian menarik Olivia dalam pelukan hangat. “Aku janji, Liv. Kita akan lewatin ini bareng-bareng. Kita kuat.” Di tengah pelukan itu, meskipun rasa khawatir masih ada, Olivia merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, sekarang mereka punya rencana. Sebuah jalan yang meskipun terjal, tapi bisa mereka tempuh bersama. Di sisi lain kota, di sebuah mansion mewah yang dikelilingi taman luas dan pagar tinggi, Elvira—istri Arjun—sedang duduk di ruang tamu besar dengan dinding berhiaskan lukisan-lukisan mahal. Di tangannya, ia memegang sebuah novel, berusaha menikmati sore yang tenang. Hembusan angin lembut dari jendela terbuka menyapu rambutnya yang rapi disisir ke belakang. Sejenak ia berhenti membaca, menatap keluar jendela, menikmati pemandangan taman yang terawat sempurna. “Hari ini tenang sekali,” gumamnya, tersenyum kecil. Bagi Elvira, kehidupan di mansion seringkali sunyi. Arjun, suaminya, hampir selalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sementara ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri atau dengan para pelayan yang menjaga rumah tersebut. Dia melirik ke arah telepon di meja sebelahnya, memikirkan Arjun. Suaminya sudah tiga hari ini pulang terlambat, lebih sibuk dari biasanya, dan hal itu membuatnya sedikit bertanya-tanya, meski tidak terlalu khawatir. “Sibuk lagi di kantor,” Elvira berbisik pada dirinya sendiri, meyakinkan hati bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Arjun memang dikenal sangat berdedikasi pada pekerjaannya, dan sering kali pulang larut malam dengan alasan pertemuan bisnis yang penting. Di saat yang sama, seorang pelayan masuk dengan nampan berisi teh dan beberapa kue kecil. “Nyonya, ini tehnya sudah siap,” katanya sambil meletakkan nampan di atas meja di depan Elvira. “Terima kasih, Maria,” jawab Elvira lembut, tersenyum ramah. Ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan. “Apa Arjun sudah menghubungi untuk bilang dia akan pulang telat lagi malam ini?” Maria menggeleng pelan. “Belum, Nyonya. Mungkin Pak Arjun masih sibuk di kantor. Biasanya dia memberi kabar menjelang malam.” Elvira mengangguk sambil menyesap teh lagi, meskipun dalam hati ia berharap Arjun akan segera pulang. Sudah beberapa minggu terakhir ini ia merasakan jarak di antara mereka. Bukan hal yang aneh, mengingat kesibukan Arjun, tetapi kali ini rasanya berbeda. Namun, ia berusaha menepis perasaan tersebut. “Jangan berpikir yang aneh-aneh,” pikirnya. “Ini hanya karena dia sedang ada proyek besar.” Sambil menaruh cangkir tehnya kembali ke meja, Elvira teringat pembicaraan mereka seminggu yang lalu, saat Arjun berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga setelah proyeknya selesai. “Mungkin setelah ini, kita bisa liburan ke luar kota,” ujarnya dengan suara pelan, berusaha membangkitkan semangat dalam hatinya. Malam itu, Elvira merasa perlu mencari kesibukan sendiri. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman mansion. Di bawah langit senja yang indah, Elvira merasakan angin sejuk yang membuat suasana semakin tenang. Tetapi di balik ketenangan itu, ada sedikit kegelisahan yang mengganggu pikirannya. Sebuah perasaan samar, seolah ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia tidak tahu apa itu. Saat Elvira melangkah di antara pohon-pohon besar dan bunga-bunga yang mekar di sepanjang jalur taman, pikirannya kembali melayang pada Arjun. “Aku yakin dia hanya terlalu sibuk. Ini bukan pertama kalinya dia tenggelam dalam pekerjaannya,” gumamnya, berusaha menenangkan diri. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa itu. Kehidupan yang selama ini tampak sempurna, mulai terasa rapuh, meskipun ia belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di belakangnya. Bagi Elvira, Arjun adalah suami yang sempurna, penyayang, dan bertanggung jawab—sosok yang ia percayai sepenuhnya. Namun, di sisi lain, ada dunia yang tersembunyi darinya. Sebuah skandal yang ia tak pernah duga, tersembunyi di balik senyuman dan perhatian Arjun yang selalu terlihat tulus. Saat Elvira kembali ke dalam rumah dan menutup pintu, ia tidak menyadari bahwa di luar sana, di balik dinding-dinding yang ia anggap aman, ada rahasia besar yang sedang bergulir. Rahasia yang bisa menghancurkan segala yang ia percayai tentang pernikahannya.Beberapa waktu lalu, segalanya terasa jauh lebih rumit bagi Regan. Ia tahu, mencintai Nayla berarti juga harus menghadapi tembok tinggi bernama ibunya. Seorang wanita keras kepala yang sudah lebih dulu menyimpan luka dan prasangka terhadap laki-laki sepertinya—berduit, berpengaruh, dan dianggap tidak benar-benar tulus.Tapi Regan tidak menyerah. Ia datang berulang kali, berdiri di depan pintu rumah sederhana itu, dengan sabar menunggu dan menghadap tatapan tajam yang tak pernah menyambut hangat. Ia tidak membela diri dengan kata-kata manis, melainkan dengan sikap. Ia menunduk ketika disalahkan, meminta maaf atas sesuatu yang bahkan belum ia lakukan, dan tetap datang esok harinya.Dan pada satu sore yang hujan, saat ibu Nayla membuka pintu dengan wajah lelah, Regan menyerahkan payungnya dan berkata dengan suara yang tenang namun mantap, “Saya mungkin bukan pria sempurna, Bu. Tapi saya mau belajar. Untuk Nayla, untuk Ibu juga.”Entah bagaimana, ketulusan itu perlahan meluruhkan kerasnya
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep