Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas
Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu ia cintai, bahkan keputusan Olivia sekalipun. Saat Olivia mulai berjalan menjauh dari tepi danau, tiba-tiba terdengar langkah cepat mendekat. Ia menoleh dan melihat Arjun datang kembali dengan ekspresi yang berbeda—ekspresi yang menunjukkan keteguhan, bukan menyerah. Olivia berhenti, merasa ada yang tidak beres. “Arjun? Apa yang kamu lakukan?” tanyanya, suaranya terdengar waspada. Arjun berhenti di hadapannya, napasnya terdengar berat. “Aku nggak bisa melepaskan kamu, Olivia. Aku nggak akan menyerah semudah itu. Kita nggak bisa mengakhiri semuanya begitu saja.” Olivia tertegun. Ia mengira Arjun sudah menerima keputusannya, tapi ternyata ia salah. “Arjun, kita sudah membicarakan ini. Aku nggak bisa terus menjalani hidup dalam kebohongan.” “Aku nggak peduli!” Arjun menyela, nadanya penuh dengan emosi. “Aku nggak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan, bahkan dengan apa yang kamu pikirkan saat ini. Aku mencintaimu, Olivia. Itu yang paling penting.” Olivia menatap Arjun dengan perasaan campur aduk—antara marah dan bingung. “Arjun, ini bukan hanya tentang kita. Kamu punya istri. Kamu nggak bisa terus melakukan ini!” “Aku tahu, aku tahu,” kata Arjun, suaranya sedikit melunak, tetapi tekadnya tetap kuat. “Tapi aku nggak bisa melepaskanmu. Apa kamu nggak mengerti? Hubungan kita ini lebih dari sekadar skandal, lebih dari sekadar cinta terlarang. Aku nggak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dengan siapapun, termasuk istriku.” Olivia menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu betapa dalam perasaan Arjun padanya, tapi itu tidak cukup untuk mengubah kenyataan. “Arjun, kamu nggak bisa memaksakan ini. Kita nggak bisa terus hidup dalam keadaan seperti ini. Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi apa kamu pernah berpikir bagaimana perasaan istrimu? Kamu akan terus menyakitinya tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Arjun terdiam, seolah mencoba mencerna kata-kata Olivia, tapi kemudian ia menggeleng dengan keras. “Aku akan menemukan cara. Aku nggak peduli bagaimana, tapi aku akan tetap bersamamu. Kamu yang membuatku merasa hidup, Olivia. Kamu yang membuat semuanya berbeda.” Olivia merasa keputusannya semakin diuji. Ia mencintai Arjun, tetapi cinta ini penuh dengan luka, kebohongan, dan kepalsuan. Setiap detik yang mereka habiskan bersama selalu dibayangi oleh ketakutan akan ketahuan dan rasa bersalah yang terus-menerus menghantui. “Arjun…” Olivia memulai dengan lembut, berusaha menenangkan situasi. “Aku tahu perasaanmu, dan aku juga tahu kita sudah melewati banyak hal bersama. Tapi hidup kita nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus kembali pada keluargamu, dan aku juga harus memikirkan hidupku sendiri.” Namun, Arjun menggeleng keras. “Aku nggak bisa, Olivia. Aku nggak bisa kembali pada kehidupanku yang dulu seolah nggak terjadi apa-apa. Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, dan aku nggak akan membiarkan kamu pergi begitu saja.” Olivia menatap Arjun dengan mata penuh kesedihan, hatinya semakin berat dengan tiap kata yang diucapkan Arjun. Ia tahu tekadnya tidak akan mudah goyah, tapi ia juga tahu bahwa melanjutkan hubungan ini hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit—untuk mereka berdua, dan terutama untuk orang-orang di sekitar mereka. “Arjun,” Olivia akhirnya berkata, suaranya lembut tapi tegas. “Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu harus merelakanku. Kita nggak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Mungkin ini sulit sekarang, tapi ini yang terbaik untuk kita berdua. Untuk semua orang.” Arjun menatap Olivia dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di wajahnya—sebuah celah, sebuah tanda bahwa Olivia sebenarnya masih ingin bersamanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketegasan, dan itu membuatnya semakin frustrasi. “Olivia…” suaranya parau, hampir putus asa. “Tolong, jangan lakukan ini.” Olivia menggeleng, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku harus, Arjun. Demi kita. Demi masa depan kita masing-masing.” Arjun terdiam, akhirnya menyadari bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah keputusan Olivia. Tetapi, di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak akan menyerah semudah itu. Bahkan jika Olivia memintanya untuk berhenti, hatinya menolak untuk membiarkan wanita yang ia cintai pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata lagi, Arjun berbalik dan berjalan pergi, tapi kali ini Olivia bisa merasakan bahwa ini belum benar-benar berakhir. Ada sesuatu di mata Arjun yang menunjukkan bahwa ini belum merupakan perpisahan terakhir. Olivia menarik napas panjang, berusaha menenangkan perasaannya. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, tapi ia juga tahu bahwa Arjun tidak akan begitu saja menerima kenyataan ini. Dan itu membuatnya semakin waspada terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Adegan: Pertemuan Arjun dengan Elvira di Mansion Arjun pulang ke mansion dengan langkah berat. Seluruh pikirannya dipenuhi oleh Olivia, dan keinginan untuk mempertahankannya terus menghantui meski hatinya kacau. Dia menatap rumah megah di depannya, rumah yang seharusnya menjadi tempat tenang dan bahagia bersama istrinya, Elvira. Namun kini, mansion itu terasa hampa baginya. Ketika Arjun membuka pintu, suara langkah sepatu Elvira terdengar mendekat. Wanita itu muncul dari ruang tamu dengan senyum cerah yang selalu ia tunjukkan setiap kali menyambut suaminya pulang. Elvira tampak cantik dalam gaun malam yang elegan, rambutnya ditata rapi seperti biasa. “Sayang, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Elvira dengan nada riang. “Kamu lama sekali di luar, aku hampir khawatir.” Arjun memaksa senyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk. “Maaf, aku sedikit sibuk,” jawabnya singkat, suaranya terdengar datar. Dia melangkah masuk lebih dalam, menghindari tatapan mata istrinya. Elvira berjalan mendekat dan menyentuh bahu suaminya dengan lembut. “Kamu kelihatan lelah sekali. Ada sesuatu yang terjadi di kantor?” tanyanya dengan perhatian. Arjun hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Setiap kali Elvira bertanya dengan nada penuh perhatian seperti ini, rasa bersalah menghantamnya lebih keras. Tapi dia tidak bisa mengakui kebenarannya, tidak di hadapan wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya selama bertahun-tahun. “Aku cuma butuh istirahat, Elvira,” katanya pelan, tanpa menatap mata istrinya. “Hari ini sangat panjang.” Elvira memandang Arjun dengan sedikit rasa khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan? Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk membantu—” “Tidak, aku baik-baik saja,” potong Arjun cepat, berusaha menghentikan pembicaraan. “Aku cuma butuh waktu sendiri.” Elvira terdiam, mencoba membaca ekspresi suaminya, tetapi Arjun tetap menghindari kontak mata. Seolah-olah ada jarak yang perlahan-lahan terbentuk di antara mereka, dan Elvira mulai menyadarinya. Namun, ia tidak ingin memaksa Arjun berbicara jika suaminya belum siap. “Oke,” katanya akhirnya, suaranya melembut. “Kalau begitu aku akan menyiapkan makan malam sebentar lagi. Kalau kamu merasa lebih baik nanti, kita bisa makan bersama.” Arjun hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Ia melangkah pergi ke arah tangga, menuju kamar mereka, meninggalkan Elvira yang berdiri diam dengan tatapan yang semakin cemas. Di dalam kamar, Arjun menatap bayangan dirinya di cermin. Ia melihat seorang pria yang terjebak dalam dua kehidupan—satu sebagai suami yang setia di rumah besar ini, dan yang lain sebagai pria yang terperangkap dalam cinta terlarang dengan Olivia. Sambil menatap bayangan dirinya, Arjun mengepalkan tangannya. Dia tahu seharusnya berkata jujur kepada Elvira, tapi mulutnya seakan terkunci. Menghancurkan pernikahannya sendiri bukanlah sesuatu yang ia bisa lakukan dengan mudah. Namun, dalam hatinya, Arjun menyadari bahwa kebohongan ini hanya akan semakin menumpuk, dan pada akhirnya, dia akan harus memilih—meskipun ia masih tak siap untuk melakukannya sekarang. Di luar kamar, Elvira masih sibuk di dapur, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap dingin suaminya. Baginya, Arjun adalah cinta sejatinya, pria yang selalu ia percayai sepenuhnya. Tapi kepercayaan itu mungkin tidak akan bertahan lama jika kebenaran suatu hari terbongkar.Beberapa waktu lalu, segalanya terasa jauh lebih rumit bagi Regan. Ia tahu, mencintai Nayla berarti juga harus menghadapi tembok tinggi bernama ibunya. Seorang wanita keras kepala yang sudah lebih dulu menyimpan luka dan prasangka terhadap laki-laki sepertinya—berduit, berpengaruh, dan dianggap tidak benar-benar tulus.Tapi Regan tidak menyerah. Ia datang berulang kali, berdiri di depan pintu rumah sederhana itu, dengan sabar menunggu dan menghadap tatapan tajam yang tak pernah menyambut hangat. Ia tidak membela diri dengan kata-kata manis, melainkan dengan sikap. Ia menunduk ketika disalahkan, meminta maaf atas sesuatu yang bahkan belum ia lakukan, dan tetap datang esok harinya.Dan pada satu sore yang hujan, saat ibu Nayla membuka pintu dengan wajah lelah, Regan menyerahkan payungnya dan berkata dengan suara yang tenang namun mantap, “Saya mungkin bukan pria sempurna, Bu. Tapi saya mau belajar. Untuk Nayla, untuk Ibu juga.”Entah bagaimana, ketulusan itu perlahan meluruhkan kerasnya
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep