Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti.
Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan malam ini, Elvira merasa ada sesuatu yang benar-benar berbeda. Mungkin firasat, mungkin perasaan, tapi apa pun itu, dia tidak bisa lagi mengabaikannya. Dengan perasaan gelisah, Elvira memutuskan untuk pergi ke balkon tempat Arjun biasa menenangkan diri. Dia berjalan perlahan-lahan menaiki tangga, berusaha tidak membuat suara. Saat sampai di pintu balkon, ia melihat suaminya berdiri di sana, punggungnya menghadap ke arah pintu, menatap kosong ke arah langit. Elvira terdiam sejenak, mengamati suaminya, berusaha memahami apa yang terjadi di kepalanya. “Arjun...” suaranya lembut, hampir seperti bisikan. Arjun terkejut mendengar suara istrinya. Ia menoleh cepat, lalu menghela napas panjang ketika melihat Elvira di belakangnya. Dia tahu dia tak bisa terus menghindar. “Kamu belum tidur?” tanya Arjun datar, berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Elvira mendekat, berdiri di sampingnya, menatap ke arah horizon yang sama. “Kamu nggak turun untuk makan malam. Aku mulai khawatir.” Dia menoleh padanya, ekspresinya lembut tapi penuh tanya. “Arjun, ada apa sebenarnya? Akhir-akhir ini kamu sering jauh. Apa ada yang salah?” Arjun terdiam sejenak, matanya terpaku ke depan. Dia tahu inilah saat yang tepat untuk mengatakan sesuatu, untuk berbicara, tapi kata-kata itu terasa tertahan di tenggorokannya. Ia terlalu takut pada konsekuensi dari kebenaran. “Aku… cuma capek, Vi. Banyak urusan di kantor yang bikin aku pusing,” jawab Arjun akhirnya, meski ia tahu jawabannya terdengar klise. Elvira mengamati suaminya lebih dalam, tatapannya mencoba menembus dinding yang Arjun bangun di antara mereka. “Aku tahu kamu sibuk, tapi ini lebih dari sekadar pekerjaan, kan?” Dia menunggu reaksi Arjun, tetapi yang didapatnya hanya kebisuan. Arjun mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Elvira. “Aku akan baik-baik saja. Cuma butuh waktu sendiri.” Elvira mendesah pelan. “Aku nggak akan memaksamu bicara kalau kamu belum siap, tapi aku ada di sini untukmu. Kamu tahu itu, kan?” Arjun hanya mengangguk pelan, rasa bersalah semakin menumpuk di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Elvira pantas mendapatkan lebih dari kebisuan ini, tapi ia tidak bisa mengucapkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak bisa merusak kehidupan istrinya dengan pengakuan yang akan menghancurkan mereka berdua. “Aku tahu,” jawab Arjun singkat. Dia ingin meminta maaf, ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata kosong, tapi semuanya terasa mustahil. Elvira tersenyum tipis, meski ada kesedihan di balik senyum itu. “Kalau kamu butuh bicara, aku akan mendengarkan.” Setelah itu, dia melangkah mundur, membiarkan suaminya tetap sendirian di balkon, merasa bahwa kebisuan ini akan semakin memperlebar jarak di antara mereka. Saat Elvira berbalik dan berjalan kembali ke dalam mansion, Arjun menatap punggung istrinya yang menjauh, hati kecilnya berteriak meminta maaf, namun bibirnya tetap terkatup rapat. Malam itu, ia sadar, kebohongan dan skandal ini tidak hanya merenggut kedamaian dalam hatinya, tetapi juga mulai merusak hubungan yang selama ini ia jaga dengan Elvira. Tapi meski tahu semua itu, Arjun tetap belum siap menghadapi kenyataan. Hari berganti, dan Arjun merasa seolah setiap detik dalam hidupnya berjalan lambat. Ia menjalani rutinitas sehari-hari di kantor, tetapi pikirannya terus terjebak antara dua dunia—satu di mana ia memiliki keluarga yang menyayanginya, dan yang lain di mana ia mencintai Olivia dengan sepenuh hati. Ketika tengah hari tiba, Arjun menatap layar komputernya tanpa fokus, email dan laporan di depannya hanya sekadar tulisan tanpa makna. Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya terbuka, dan sekretarisnya, Meera, masuk dengan senyuman. “Pak Arjun, ada telepon dari Ibu Elvira. Dia ingin berbicara dengan Anda,” katanya, membawa kabar yang membuat Arjun merasa semakin tertekan. “Terima kasih, Meera. Tolong katakan aku sedang sibuk,” jawab Arjun cepat, berusaha menghindar. Meera mengangguk dan menutup pintu, meninggalkan Arjun dengan pikiran yang berkelana. Dia tahu Elvira pasti khawatir setelah percakapan mereka di balkon malam itu. Pikirannya terus dibayangi oleh betapa bersalahnya ia. Seharusnya dia tidak menghindar. Seharusnya ia berani jujur, tapi ketakutannya selalu lebih besar. Sore harinya, saat ia duduk sendirian di ruang kerjanya, pesan dari Olivia muncul di ponselnya. “Arjun, kita perlu berbicara.” Itu semua yang tertulis di sana, dan tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Dia tahu pertemuan ini akan menjadi titik balik, entah baik atau buruk. Mendapati dirinya terjebak dalam antara tanggung jawab sebagai suami dan hasrat yang mendalam terhadap Olivia, Arjun merasa tertekan. Tanpa pikir panjang, ia segera membalas pesan tersebut, mengatur waktu untuk bertemu malam ini. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Arjun pulang ke mansion dengan perasaan campur aduk. Sesampainya di rumah, Elvira menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi cemas. “Arjun, kita perlu bicara,” katanya, nada suaranya lebih serius daripada sebelumnya. Arjun mengangguk pelan, merasakan ketegangan di udara. “Iya, aku tahu. Tapi…” Dia menghela napas, mencoba merangkai kata-kata di dalam kepalanya, “aku… mungkin kita bisa membicarakannya nanti?” “Kenapa tidak sekarang?” tanya Elvira, bersikeras. “Aku merasa ada yang salah, dan aku tidak ingin mengabaikannya lebih lama lagi.” Arjun menyadari bahwa ia tidak bisa terus menghindar. Di satu sisi, ia sangat ingin jujur kepada Elvira, tapi di sisi lain, perasaannya pada Olivia semakin kuat. “Elvira, aku—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ponsel Arjun bergetar di saku. Itu pesan dari Olivia, dan dalam sekejap, hatinya bergetar antara rasa bersalah dan kerinduan. Elvira melihat Arjun menatap ponselnya, dan tatapan cemasnya semakin dalam. “Siapa itu?” tanya Elvira, nada suaranya tenang, tetapi Arjun tahu bahwa dalam ketenangan itu tersembunyi sebuah badai. “Cuma… cuma teman kerja,” jawab Arjun cepat, berusaha menyembunyikan kebenaran. Namun, ia bisa merasakan bahwa Elvira tidak sepenuhnya percaya. “Arjun, aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi,” katanya, bersikap tegas. “Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?” “Bukan itu,” jawab Arjun, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku mencintaimu, Elvira. Aku hanya—” “Jangan ‘hanya’! Kata itu tidak berarti apa-apa jika kamu terus menghindar!” Elvira hampir berteriak, dan nada emosional itu membuat Arjun tertegun. “Aku ingin tahu apa yang terjadi. Apakah ada orang lain?” Detak jantung Arjun berdetak cepat. “Tidak, tidak ada orang lain. Aku… hanya butuh waktu untuk merenung,” ucapnya, tetapi ia tahu kata-kata itu hanyalah kebohongan. Dalam hatinya, ia tahu Olivia ada di sana, menjadi bagian dari kebohongannya. Elvira menatapnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku hanya ingin suamiku kembali, Arjun. Aku ingin kamu jujur padaku. Kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku tidak ingin hubungan kita hancur begitu saja. Beritahu aku apa yang terjadi.” Arjun merasakan beratnya pernyataan itu, perasaannya terpecah. “Aku… aku harus pergi,” katanya akhirnya, melangkah mundur, tidak ingin melihat kesedihan yang terlukis di wajah istrinya. “Jadi, kamu memilih untuk pergi?” suara Elvira nyaris pecah, dan Arjun merasa hatinya teriris. Dia hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. Saat ia melangkah keluar, perasaan bersalah menghantuinya. Arjun tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini, tetapi saat ini, dia hanya butuh waktu untuk berpikir dan memutuskan. Malam itu, saat ia berkendara menuju tempat yang dijanjikan dengan Olivia, pikiran Arjun semakin tidak menentu. Ia menyadari, keputusannya akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Elvira dan Olivia. Dalam perjalanan, dia merasakan tekanan di dadanya, bertanya-tanya apakah dia benar-benar bisa mengakhiri semuanya atau justru memperburuk keadaan.Beberapa waktu lalu, segalanya terasa jauh lebih rumit bagi Regan. Ia tahu, mencintai Nayla berarti juga harus menghadapi tembok tinggi bernama ibunya. Seorang wanita keras kepala yang sudah lebih dulu menyimpan luka dan prasangka terhadap laki-laki sepertinya—berduit, berpengaruh, dan dianggap tidak benar-benar tulus.Tapi Regan tidak menyerah. Ia datang berulang kali, berdiri di depan pintu rumah sederhana itu, dengan sabar menunggu dan menghadap tatapan tajam yang tak pernah menyambut hangat. Ia tidak membela diri dengan kata-kata manis, melainkan dengan sikap. Ia menunduk ketika disalahkan, meminta maaf atas sesuatu yang bahkan belum ia lakukan, dan tetap datang esok harinya.Dan pada satu sore yang hujan, saat ibu Nayla membuka pintu dengan wajah lelah, Regan menyerahkan payungnya dan berkata dengan suara yang tenang namun mantap, “Saya mungkin bukan pria sempurna, Bu. Tapi saya mau belajar. Untuk Nayla, untuk Ibu juga.”Entah bagaimana, ketulusan itu perlahan meluruhkan kerasnya
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep