LOGINWinter hampir berlari ketika keluar dari mobil dan memasuki rumah. Serena mengabari lewat pesan bahwa ayah mereka terjatuh saat berusaha mengambil minuman di meja kecil dekat tempat tidur. Tubuh ayahnya yang lumpuh sebagian sejak kecelakaan kerja lima tahun lalu membuat hal sederhana seperti itu menjadi berbahaya.
“Bagaimana ayah?” tanya Winter begitu melihat Serena di ruang tengah. Serena hanya mengangguk ke arah kamar, wajahnya tegang. Winter masuk dan napasnya tercekat. “Oh, Tuhan…” Lututnya melemas melihat kening ayahnya yang robek, darahnya sudah mengering bercampur obat merah seadanya. Perbannya kusut, jelas dipasang terburu-buru. Winter langsung mendekat, meraih tangan ayahnya yang tergeletak lemah di sisi tubuh. Telapak tangannya dingin. “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?” suara Winter pecah, tapi ia menahannya tetap stabil. Serena menunduk. Sebelum adiknya menjawab, Maia muncul di ambang pintu. “Kita tidak punya uang,” ucap ibu tirinya datar. Maia berdiri dengan tangan terlipat, seperti hanya sekadar mengamati. Tatapannya bukan kekhawatiran, melainkan hitung-hitungan. Winter menoleh pelan, menatap wanita yang telah membesarkannya itu. Ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tentang kepedulian, tentang tanggung jawab, tentang bagaimana ayah tetap manusia yang perlu dirawat dengan layak. Namun tenggorokannya terasa terlalu sempit. “Aku sudah bersihkan sebisanya,” lanjut Maia tanpa merasa bersalah. “Kalau setiap luka kecil dibawa ke rumah sakit, kita mau makan apa besok?” Winter menunduk lagi pada ayahnya, merapikan selimutnya dengan gemetar. Ia menelan pahit kata-kata Maia. Kata-kata yang semakin lama semakin sering ia dengar sejak ayahnya lumpuh lima tahun lalu. Meski Ayah tidak lagi bisa menafkahi mereka, tapi itu tidak membuatnya kurang layak dihormati. Ia tetap kepala rumah tangga mereka. Pria yang dulu bekerja keras tanpa mengeluh demi keluarga ini. Sejak kecelakaan itu, hidup mereka berubah total. Ayah tak lagi bisa menjadi penopang. Serena yang masih sekolah menjadi tertekan, dan Winter bekerja keras menutupi segalanya. Namun sekarang Winter bahkan kehilangan pekerjaannya sendiri. “Aku bawa ayah ke rumah sakit,” ucap Winter pelan namun tegas. Ia kembali merapikan selimut ayahnya dengan tangan gemetar. “Aku tidak bisa melihat luka seperti ini dibiarkan.” Ayahnya mencoba tersenyum tipis, seakan ingin menenangkan putrinya. Winter menggenggam tangannya sedikit lebih erat, memastikan ayah tahu ia tidak sendiri. Winter menyiapkan kursi roda yang terparkir di sudut kamar, memeriksa remnya, lalu membantu ayahnya perlahan. Serena ikut memegang sisi tubuh ayah agar tidak oleng. Ayah meringis kecil, namun tidak mengeluh. “Pelan-pelan, Yah. Kita keluar sebentar saja,” ucap Winter, suaranya menurun lembut. Maia tetap berdiri di pintu, tidak bergerak membantu. “Kalau kalian mau bawa ke rumah sakit, terserah,” katanya sambil menghela napas. “Tapi jangan minta aku keluar uang. Aku sudah bilang dari awal, keuangan kita …” Winter menahan diri untuk tidak menanggapi. Ia hanya memastikan ayah duduk dengan aman di kursi roda. Serena menggigit bibir, menunduk. “Aku ikut, Kak.” Winter mengangguk. “Ambilkan jaket ayah.” Saat Serena bergegas, Winter kembali menatap ayahnya. Pria itu mencoba tersenyum, seolah tidak ingin jadi beban. “Tidak apa-apa, Nak. Ayah cuma kurang hati-hati,” ucapnya lirih. Winter menunduk, menyembunyikan rasa sesak yang naik tiba-tiba. Ia merapikan kerah baju ayahnya dengan tangan yang sedikit gemetar. “Kalau ayah butuh apapun, bilang. Jangan paksakan diri,” katanya, suaranya lebih lembut daripada kelihatannya. Serena kembali, membantu Winter membawa ayah keluar rumah. Begitu melewati ruang tamu, Maia masih mengikuti mereka dengan pandangan dingin. “Winter,” panggil Maia sebelum mereka pergi. “Jangan buat keputusan gegabah. Ingat, semua biaya ayah dan kuliah Serena itu tanggung jawabmu. Kalau kau tidak dapat pekerjaan baru secepatnya, kita semua yang repot.” Winter berhenti sejenak. Ia tidak menoleh, hanya menarik napas perlahan. “Kita bahas nanti,” ucapnya singkat. Ia mendorong kursi roda ayahnya keluar rumah, memilih fokus pada hal yang lebih penting. Memastikan ayahnya dirawat dengan layak. Di luar, udara jauh lebih dingin dibandingkan dalam rumah. Serena membuka pintu mobil, dan Winter membantu ayah masuk perlahan. Begitu kursi roda terlipat dan bagasi tertutup, Winter sempat menatap rumah itu. Tempat yang dulu terasa hangat, kini hanya menyisakan tuntutan dan kewajiban. Namun ia menahan semuanya di dalam dada. Saat ini, ayah yang paling penting. “Ayo, Kak,” ucap Serena dari kursi penumpang, menyadarkan Winter yang sempat terdiam. Winter masuk ke kursi kemudi, menyalakan mobil, dan membawa mereka menuju rumah sakit tanpa menoleh sedikitpun pada masa lalu yang terus membebaninya. *** Winter berdiri di depan pintu unit apartemen Greyson selama hampir lima belas menit. Tangannya beberapa kali terangkat hendak mengetuk, namun selalu kembali turun. Keputusannya kali ini terasa nekat. Tapi dia tidak lagi punya banyak pilihan. Tawaran Greyson adalah satu-satunya jalan yang muncul di kepalanya sejak pagi. Ia akhirnya menekan bel. Tidak ada suara langkah dari dalam. Tidak ada gerakan di balik pintu. Setelah menunggu lebih lama dari seharusnya, Winter mulai ragu. Mungkin Greyson sedang pergi, atau tertidur, atau sebenarnya, dia memang tidak seharusnya datang. Winter menghela napas dan memutuskan pergi. Baru satu langkah ia berbalik, suara elektronik kunci pintu berbunyi. Pintu terbuka perlahan. Greyson muncul di baliknya, memakai kaos polos gelap dan celana rumah, rambut sedikit acak seperti baru bangun atau terlalu fokus pada sesuatu sampai lupa waktu. Pandangannya langsung jatuh pada Winter. “Masuk,” ucap Greyson singkat.Langkah keduanya berhenti tepat di depan pintu keluar gedung catatan sipil. Tanda tangan sudah dibubuhkan, stempel sudah ditekan, dan buku nikah resmi ada di tangan Winter, buku kecil itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.Udara luar lebih dingin dari perkiraannya. Winter masih mencoba menata napas ketika Greyson merapikan lengan jasnya, tak terlihat terpengaruh sedikit pun oleh fakta bahwa mereka baru saja menikah.Greyson menoleh singkat. “Aku ada urusan hari ini.”Nada suaranya datar, profesional, hampir seperti ia baru saja menyelesaikan transaksi bisnis, bukan pernikahan.Winter mengangguk pelan, meski tenggorokannya terasa kering. “Baik.”Greyson memasukkan ponselnya ke saku celana. “Pindahlah ke apartemenku malam ini.”Winter terkejut, tapi Greyson tidak memberi ruang untuk bertanya. Ia sudah berbalik, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan.Tanpa ucapan selamat, tanpa obrolan ringan, tanpa jeda. Hanya instruksi.Winter menatap punggung Greyson yang menj
Winter melangkah masuk, dan baru setelah itu Greyson menutup pintu. Ia berjalan ke sofa, menjatuhkan tubuh dengan santai dan menyandarkan satu tangan di punggung sofa. Tatapannya mengikuti setiap gerak Winter yang terlihat lebih kaku dari biasanya. “Kau sebenarnya bisa langsung masuk tanpa menunggu,” katanya, nada datarnya tetap sama. “Kode sandi ku masih sama.” Winter mengangkat wajah, mencoba terlihat tenang. “Aku harus memastikan kau ada di rumah. Tidak mungkin aku menerobos masuk begitu saja.” Greyson mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu tanpa komentar tambahan. “Lalu,” ia menatap lebih fokus, “maksud kedatanganmu kemari?” Winter menggenggam ujung jaketnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Soal tawaran mu yang kemarin …” Greyson menghela napas pendek, menatap ke arah meja seolah ingin mengakhiri pembicaraan itu. “Benar. Soal itu. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Anggap saja—” “Aku setuju,” potong Winter tiba-tiba. Greyson terdiam. Tatapannya kembali ke Winte
Winter hampir berlari ketika keluar dari mobil dan memasuki rumah. Serena mengabari lewat pesan bahwa ayah mereka terjatuh saat berusaha mengambil minuman di meja kecil dekat tempat tidur. Tubuh ayahnya yang lumpuh sebagian sejak kecelakaan kerja lima tahun lalu membuat hal sederhana seperti itu menjadi berbahaya. “Bagaimana ayah?” tanya Winter begitu melihat Serena di ruang tengah. Serena hanya mengangguk ke arah kamar, wajahnya tegang. Winter masuk dan napasnya tercekat. “Oh, Tuhan…” Lututnya melemas melihat kening ayahnya yang robek, darahnya sudah mengering bercampur obat merah seadanya. Perbannya kusut, jelas dipasang terburu-buru. Winter langsung mendekat, meraih tangan ayahnya yang tergeletak lemah di sisi tubuh. Telapak tangannya dingin. “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?” suara Winter pecah, tapi ia menahannya tetap stabil. Serena menunduk. Sebelum adiknya menjawab, Maia muncul di ambang pintu. “Kita tidak punya uang,” ucap ibu tirinya datar. Maia berdiri dengan tang
Winter terbangun ketika ponselnya berdering berkali-kali. Ia mengerjap, menyadari dirinya tertidur di sofa apartemen dengan posisi miring dan leher pegal. Dengan gerakan lambat, Winter menyibak rambutnya ke belakang lalu mengangkat panggilan yang terus memaksa masuk.“Hallo,” ucapnya lirih.“Winter, Ibu sudah lihat berita tentang kau di TV,” suara Maia, ibu tirinya terdengar langsung menghakimi. “Siapa yang akan membayar biaya berobat ayahmu dan kuliah Serena?”Winter menutup mata sejenak. Tentu. Yang ditanyakan bukan kabarnya, bahkan bukan apakah ia baik-baik saja setelah diterpa skandal nasional.“Aku akan cari pekerjaan lain setelah ini,” ucap Winter, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.“Kau harus ingat siapa yang merawatmu sejak kecil. Sebagai balas budimu, pastikan adikmu kuliah tinggi. Jangan sampai dia cuma lulusan SMA seperti dirimu.”Setiap kata itu menusuk. Winter menggenggam ponselnya erat, menahan napas agar tidak pecah.“Iya, aku tahu,” jawabnya perlahan.“Dan ja
Pagi harinya, Winter terbangun seorang diri di kamar hotel dekat bar yang ia kunjungi semalam. Kepalanya berat, seperti baru dipukul dari dalam. Ia mengerjap beberapa kali, ruangan masih gelap, tirai tertutup rapat. Hanya samar-samar ia ingat Greyson yang membawanya ke sini.Setelah sadar penuh, ia segera terduduk dan memeriksa dirinya. Pakaiannya masih lengkap.Winter mendesah lega sambil menepuk keningnya. “Astaga… apa yang kupikirkan semalam?” gumamnya frustrasi. Untung saja Greyson tidak menanggapi omongan ngawurnya.Namun saat ia bergeser, Winter merasakan sesuatu yang lembap di antara pahanya. Ingatan semalam datang seperti potongan cepat. Greyson yang menariknya, cara pria itu menciumnya tanpa ragu, dan bagaimana Winter tidak sempat mengelak.Winter mengusap wajahnya keras-keras. “Brengsek… dia memang jago,” gumamnya frustrasi. Ia harus mengakui jika Greyson memang mahir mencium. Sayangnya, itu tidak membuktikan apa pun. Di drama pun dia sering mencium lawan mainnya, hanya bagi
Bar itu tidak ramai, tapi cukup penuh untuk menenggelamkan suara di kepala Winter yang sejak pagi terus berputar. Lampu temaram membuat wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Ia mengangkat gelas, menenggak isinya tanpa benar-benar memikirkan rasa. Jika dunia luar ingin menertawakan dan menghakiminya, biarlah. Karirnya sudah rusak. Namanya dicaci. Orang yang mengaku mencintainya menghilang. Setidaknya disini, ia bisa diam tanpa harus menjelaskan apa pun. Kepalanya jatuh ke meja bar, napasnya berat. Suara kursi di sampingnya bergeser perlahan, menandakan ada seseorang baru saja duduk. Winter tidak peduli, sampai orang itu membuka suara memesan minuman. Nada suaranya rendah, familiar. Winter mengangkat kepala dengan susah payah. Tepat di sampingnya, dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya, Greyson Hale. Winter tersenyum tipis, miris. “Pria itu lagi,” gumamnya pelan. Apa yang dilakukan seseorang seperti Greyson di tempat semacam ini? Dengan karir gemilang, wajah sempurna, dan







