Share

RUMAH BARU, HARAPAN BARU

Cyuta terbelalak dengan ucapan Haidar.  Dalam hati wanita ini bertanya semudah itukah lelaki yang telah berjanji untuk melindunginya berkata bahwa dirinya adalah pembawa sial.  Kata yang sangat menyakitinya selama ini.

Cyuta terluka, masih terluka dan tetap menyimpan luka dalam hatinya.  Sekali lagi Cyuta melirik pada lelaki yang ada di sebelahnya, penasaran dengan arti kalimat mantan pengawalnya.

Mantan?  Entahlah, yang dia tahu lelaki itu mungkin saja benar ayah dari janin yang dia kandung.

“Huhh,”  keluh Cyuta pada akhirnya.  Haidar menoleh, menatap penuh selidik pada wanitanya.

“Ada apa?  Apa ada yang tidak nyaman?”  tanya lelaki itu.

Kendaraan terus melaju tanpa Cyuta tahu arah tujuannya saat ini.  Tempat yang akan disebut sebagai rumah benarkan akan berupa rumah untuk berlindung atau hanya tempat singgah sementara saja.

“Tidak.”

“Tidak?  Benarkah?”

Tidak ada jawaban dari Cyuta.  Mata wanita itu beralih ke luar jendela menikmati setiap ruas jalan yang bergerak cepat.  Rasanya ingin juga kehidupan ini berlalu cepat, batin Cyuta.

Hingga taksi online yang mereka tumpangi memasuki pekarangan sebuah rumah.  Haidar membuka pintu taksi dan kemudian mengajak Cyuta turun.

“Sudah sampai, ayo kita turun.”

Haidar membayar taksi ketika Cyuta melihat ke sekeliling lingkungan barunya.  Rumah yang tidak sebesar rumah keluarga King Arthur, namun bisa dikatakan lebih besar dari rumah keluarga angkatnya.

Pekarangan tidak berpagar besi, rumah tetangga berdekatan bahkan ada beberapa anak kecil saat ini memperhatikan Cyuta dan Haidar.  Senyum anak kecil itu membawa damai di hati Cyuta.

“Hai,”  sapa Cyuta tanpa sadar sambil melambaikan tangan.

Setelah taksi pergi, Haidar mendengar suara Cyuta.  Matanya pun mengikuti arah lambaian tangan wanita itu.  Haidar pun mengenali sosok anak kecil yang ada di sebelah rumahnya.

“Namanya Lili. Tampaknya dia akan sering main ke rumah,”  bisik Haidar mengenalkan sosok kecil imut nan lucu itu.

“Ayo,”  ajaknya kemudian seraya menggandeng tangan Cyuta.

Pasangan muda itu pun masuk dalam rumah.  Ketika pintu dibuka, Cyuta terbelalak melihat isi dalamnya.  Elegan dan cantik, bisik Cyuta menatap takjub.

“Selamat datang di rumah kita, Sayang.”  Hiadar merentangkan tangan dengan senyuman manis.

Tampan. Blush.

Cyuta memalingkan muka, wajahnya memerah sebab panggilan romatis untuknya.  Sejenak melupakan kegundahan diri, ingin dia berteriak saat ini.

‘Ya Allah, ijinkan kebahagiaan semua ini untukku.’

Haidar menutup pintu dan mengajak Cyuta berkeliling rumah.  Lelaki itu antusias menyebutkan bagian per bagian dalam rumah yang menurutnya adalah hasil kerja kerasnya.

“Karena kamu sudah menjadi milikku maka rumah ini adalah rumahmu, rumah kita.  Untuk anak kita juga,”  ucapnya panjang lebar.

Cyuta melihat raut wajah Haidar yang bersinar ketika mengungkapkan semua padanya.  Ingin menangis rasanya, Cyuta menahan air matanya.  Dirinya masih takut menerima kenyataan, jika kebahagiaan ini semu.

“Apa semua ini untukku?”  Suaranya nyaris tak terdengar.  Pertanyaan itu seperti bukan untuk dijawab, lebih kepada untuk memastikan pada dirinya sendiri.

Haidar merasa trenyuh, batinnya ikut merasakan penderitaan wanita yang sudah menjadi bagian dari dirinya.  Perlahan lelaki itu memeluk tubuh Cyuta dari belakang.

Diciumnya ujung kepala wanitanya, “Lupakan kesakitan masa lalu.  Kita sudah bebas dari belenggu.  Ayo kita songsong harapan baru bersama.”

Kata-kata yang mampu menghipnotis Cyuta Maharani.  Perlahan wanita itu menyentuh tangan Haidar yang berada di perutnya.  Menyatukan tangan mereka.  Senyum kebahagiaan merekah bersamaan jatuhnya air mata.

“Kita ke kamar. Dokter bilang kamu harus banyak istirahat.”

Lelaki tinggi tegap yang selalu siap pasang badan selama berada di rumah Haikal, kini menjadi tiang sandaran Cyuta.  Seharusnya tidak ada halangan mereka untuk bersatu lagi.  Tapi –

‘Bagaimanakah statusku?’

Sesampainya di kamar, Cyuta kembali dibuat terkesima.  Perpaduan warna gold, cream dan brown mendominasi interior kamar tersebut.

“Berapa besar Tuan Haikal membayarmu?”  tanya Cyuta tiba-tiba.

Sontak lelaki yang sedang menyiapkan tempat tidur supaya nyaman buat ibu hamil itu menoleh, memandang heran pada Cyuta.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Ya, aku memang miskin.  Tapi aku tidak bodoh dalam menilai berapa nilai dari rumah ini, perabotannya, serta ornament yang menghiasinya.  Semua ini pasti menghabiskan uang gajimu.”

Polos dan menggemaskan sekali cara Cyuta mengungkapkannya.  Haidar dibuat geleng kepala.  Jika tidak ingat pesan dokter, ingin rasanya Haidar bercengkerama dengan Cyuta di atas tempat tidur.  Hal yang selalu dia lakukan jika bercanda dengan wanita yang saat itu masih berstatus istri kelima.

“Istriku, aku kerja ini semua demi kamu dan anak kita.  Masihkah harus dihitung berapa yang kuhabiskan?”

Blush. Apa aku tidak salah dengar, Cyuta tercekat.  Baru saja Haidar menyebut kata istri.  Memang sebelumnya lelaki itu sudah mengakuinya sebagai istri saat periksa kandungan, namun Cyuta berpikir itu semua untuk melindungi harga dirinya sebagai wanita.

“Sudah jangan banyak berpikir, istirahatlah.  Aku akan keluar sebentar, ya.”

Haidar menuntun Cyuta ke pembaringan yang sudah diatur sedemikian olehnya.  Tak lama setelahnya lelaki itu pergi meninggalkan Cyuta.

Begitu manis.  Dalam rumah ini sepertinya hanya ada lelaki itu dan dirinya, Cyuta menerawang ke langit-langit.  Sesekali dicubitnya sendiri pipi atau tangannya, memastikan semua ini bukan mimpi.

“Oh Tuhan, ini semua nyata,’  pekiknya dalam hati kegirangan.

Tubuhnya berguling ke kanan, sebentar ke kiri.  Dalam keadaan bahagia justru dirinya tidak bisa tidur.  Mendadak rasa rindu menyerangnya.

Entah mengapa, Cyuta bangun dari pembaringan kemudian melangkah keluar.  Ya, diirnya mencari keberadaan Haidar.

“Haidar, Haidar.  Dimana kamu?”  Cyuta berkeliling membuka satu per satu ruangan mencari sosok lelaki itu.

Kosong.  Semua ruangan sudah dia periksa tapi sosok mantan pengawalnya tidak ada.  Rasa sakit kembali mencubit hatinya.

“Ah ternyata memang aku pembawa sial.  Semua tidak ada yang benar-benar tulus ingin hidup denganku,”  ucapnya sedih.

Perlahan Cyuta kembali menuju kamarnya tetapi langkahnya terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar.

Tok. Tok. Tok.

“Tante, buka pintu.  Ini Lili, tante.”  Suara anak kecil.  Cyuta melebarkan matanya.

Dengan langkah sedikit terburu, dia pun berbalik dan membuka pintu.  Tampak anak kecil yang cantik berdiri mendongak padanya seraya tersenyum.

“Halo tante, boleh aku main?  Namaku Lili.”  Begitu menggemaskan, siapa yang bisa menolaknya.

Cyuta segera membuka pintunya dan membiarkan gadis kecil itu masuk.  Sepertinya Lili sudah terbiasa main di rumah Haidar.

Kedatangan Lili tentu mengalihkan keinginan Cyuta sebelumnya.  Dia pun duduk bersama si kecil berkepang dua.

“Lili, Lili.  Aduh kebiasaan deh ya, kamu.  Abang maafin lili ya-“

Seorang wanita muda tiba-tiba tampak di muka pintu.  Matanya terkejut melihat Cyuta duduk bersama Lili.

“Siapa kamu?”  tanyanya sedikit ketus.

“Saya Cyuta, Anda mamanya Lili ya?”

“Bukan, saya tantenya, calon istri Haidar.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status