PART 13
Mas Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sehingga membuatku berpegangan pada handle di atas kepalaku karena ketakutan.
"Mas, hati-hati, aku takut," mohonku pada Mas Kevin yang menatap fokus ke depan. Sesekali matanya menatap ke spion dalam dan kiri, tanpa menjawab sepatah kata pun.
Aku menatap wajah tampan yang terlihat memerah itu. Sepertinya ia sangat memendam amarah yang cukup hebat. Mungkin selama ini ia begitu percaya pada Dinda. Ternyata, Dinda tega mengkhianati.
Mas Kevin pun tak kalah tampan. Wajah blasteran Indo-Inggris dan terlihat sangat dewasa.
Berbeda den
PART 14 POV DINDA Ini adalah hari penerbangan kami yang pertama. Aku, Karenina, dan Hesti adalah sahabat seangkatan saat sama-sama menempuh pendidikan di Pendidikan Staf Penerbangan dan Pramugari. Berhubung kami masih pramugari junior, kami hanya memperhatikan cara kerja para senior kami. Ketika hendak masuk ke toilet, tak sengaja aku menabrak seorang pria. "Sorry, sorry, Mbak. Saya gak sengaja," ujarnya meminta maaf. "Lho, kamu temennya Nina kan?" "Iya, Cap. Gak papa. Saya juga tadi gak liat-liat. Asal masuk aja," tukasku pada pria muda dan tampan yang sudah menjadi Captain Pilot. Aku mengetahuinya dari empat garis emas
. . . "Dik, maafin, Mas," mohonnya merintih sambil bersujud memegang kakiku. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" Kuhempaskan tangannya dari kakiku. "Dek! Tolong, maafin Mas. Mas beneran khilaf. Mas janji gak akan mengulanginya lagi. Mas akan tinggalin dia." "Mas Thoriq!" pekik Dinda. "Diam! Ini semua gara-gara kamu. Coba aja kamu gak menggodaku. Mungkin saja ini semua gak akan terjadi," bentak Mas Thoriq kuat. "Apa kau bilang?" Mas Kevin bangkit dari duduknya, lalu melayangkan bogem mentah berkali-kali ke w
PART 16 POV JAYADININGRAT "Selamat siang, Pak Jaya," sapa Manto, seorang juru parkir yang bekerja di rumah makan seberang minimarketku. Saat itu aku hendak berangkat meeting dengan salah satu relasi yang ingin franschaise minimarketku. "Siang juga, Pak Manto. Kelihatannya sedang tidak sehat ya. Kok mukanya pucat sekali?" tanyaku, ketika melihat wajah pria yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahunan itu pucat. "Ah, tidak apa, Pak Jaya. Memang beberapa hari ini saya kurang sehat," jawabnya seraya menyeka keringat yang menetes di dahi dengan handuk yang dikalungkan di lehernya.
PART 17 Plaaak. Dinda menampar kuat wajah yang sudah dipenuhi luka dan lebam biru itu. "Tega-teganya kamu bicara seperti itu, Mas. Sementara saat ini aku sedang mengandung anakmu." Semua yang ada di ruangan penyidik terperangah. Terlebih aku dan Mas Kevin. "Apa … hamil?" tanya Mas Thoriq. "Ya, aku hamil anakmu, Captain Ahmad Thoriq!" _________
Selamat Membaca🙋 . . Part 18 "Lepasin, Dinda! Kayaknya lo mulai udah gila ya. Lepasiiin!" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman wanita yang sudah seperti kerasukan ini. "Diam lo! Gue bunuh lo sekarang juga. Biar lo tuh gak jadi pengganggu dalam hidup gue dan Mas Thoriq!" Tangannya yang sedari tadi menarik-narik hijab di kepala, lalu turun ke leher. Ternyata Dinda tidak main-main dengan ucapannya. Ia berusaha membunuhku dengan mencekik kuat batang penyanggah antara kepala dan bahu itu, sehingga mataku mendelik merasakan sakit dan napas yang sesak.
Selamat membaca, Bossquee 😘 PART 19 "Gak! Dia bohong. Ibu aku itu cuma Tante Reva dan Om Armand. Mana mungkin ibu aku penampilannya kampungan kayak gini." "Dinda, sadarlah, Nak. Mau sampai kapan kamu gak mengakui ibu yang sudah mengandung dan melahirkan kamu." "Diaaam!!!" teriak Dinda dan melayangkan gelas di nakas ke kepala Bu Asih. "Allahu Akbar," erang Bu Asih sambil memegang pelipisnya. ________
Selamat membaca, Boss PART 20 Orang yang berkerumun tadi, berlari ke arah tepi pembatas. Tentu saja mereka penasaran ingin tahu apa yang terjadi. "Ya Allah, Dinda! Mas Thoriq!" teriakku. Ketika aku hendak melihat ke arah sungai, Mami cepat menahanku. "Jangan! Kamu di sini aja. Kamu aja masih lemes begitu." "Nina! Nina!" panggil Papi, menerobos kerumunan dan langsung menarikku ke dalam pelukannya. "Kamu gak papa, Nak? Ada yang luka?" Aku menggeleng. "Alhamdulillah gak ada, Pa. Cum
Pelan-pelan aku memberanikan diri berjalan mendekati jendela, untuk memastikan apa yang kulihat tadi. Berkali-kali tenggorokanku bergerak naik turun karena menelan saliva. Kutekan saklar, untuk menyalakan lampu ruang tamu. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendekati jendela. Sedikit lagi tanganku sampai untuk menyentuh korden maroon bercorak bunga-bunga itu. Praaanggg …. "Allahu Akbar!" Bu Asih! Bu Asih! Aku berlari menuju kamar Bu Asih dan mengetuk pintunya. Keringat