Part :6
Aku beranjak menuju bagian luar restoran. Dan pandanganku tertuju pada pria yang duduk di meja dengan posisi membelakangi, tepat di pinggir pantai. Duduk berdampingan dengan seorang wanita berambut ikal berwarna coklat kemerahan. Benar-benar tidak asing bagiku.
Bergegas kuhampiri pasangan yang tengah duduk berdampingan itu.
"Mas!" panggilku dan lelaki itu menoleh. Benar Mas Thoriq dan wanita di sebelahnya … Astaga!
"Elo …?"
________
"Eng, eh, hai, Nina. Apa kabar? Elo dari mana? Barusan tadi gue tanya sama Mas Thoriq. Katanya lo mual-mual gitu ya?" Dinda menghampiri dan langsung mencium pipi kanan kiriku. "Ya kan, Mas?"
"Iya, iya, Nina. Tadi pas Mas mau beli makan, eh … ketemu sama Dinda di sini," jawab Mas Thoriq.
"Beli makan? Bukannya kamu bilang mau ketemu sama Pak Wahyu ya, senioran kamu itu?"
"Eng, eh, anu … iya, tadi ketemuan sebentar sama Pak Wahyu. Katanya buru-buru. Ya udah, aku pikir mau sambil ngopi dulu. Taunya ketemu Dinda di sini. Kebetulan banget ya, Din."
"Hu'um, bener. Tadi gue juga ketemu sama Pak Wahyu itu." Dinda ikut menimpali.
"Elo liburan di sini juga, Din?" tanyaku.
"Iya, Nin. Habisnya gue suntuk banget. Jadi gue putuskan untuk liburan ke sini. Taunya kalian juga liburan di sini. Tau gitu gue nebeng." Dinda terbahak.
Bisa sangat kebetulan sekali ya Dinda juga liburan ke sini. Tapi … kok perasaanku mengatakan ada sesuatu yang janggal ya? Ah, tidak, tidak. Mungkin memang kebetulan saja. Toh, di sini tidak ada Hesti kok.
"Kok elo berdiri melongo aja di situ sih? Hayuk duduk. Boleh kan gue gabung sama kalian?" pintanya memelas, sambil memegang pergelangan tanganku.
Aku tertawa kecil. "Ya bolehlah. Lo ini kan sahabat gue."
Aku duduk bersebelahan dengan Mas Thoriq, sedangkan Dinda berhadapan dengan suamiku itu.
"Kok lo sendiri aja? Mas Kevin mana?" tanyaku ketika menyadari sedari tadi tidak melihat sosok Mas Kevin, suaminya Dinda.
Suaminya Dinda tidak berasal dari orang penerbangan seperti kami. Mas Kevin adalah pengusaha pertambakan ikan dan udang. Memang pekerjaan suaminya sering menyita waktu hingga keluar kota bahkan keluar negeri. Tak ubahnya seperti seorang pilot.
"Ya gitu deh. Lo kayak gak tau Mas Kevin aja. Dia kan sering keluar kota. Makanya gue kesepian. Ya udah, gue liburan sendiri aja," tukasnya, sambil menyendokkan ke mulut daging sirloin steak dengan menggunakan garpu.
"Kasian deh lo. Punya laki tapi tetap aja jablay," ejekku sambil tertawa terbahak. Aku menoleh pada Mas Thoriq. Dia diam saja, sambil sibuk mengusap layar ponselnya.
"Sialan lo!" Dinda tertawa sambil melemparkan tissue ke arahku.
Setelah makan dan mengobrol panjang lebar, kami memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Kebetulan adzan maghrib sudah terdengar berkumandang.
Kuputuskan untuk melaksanakan kewajiban tiga raka'at-ku, sedangkan Mas Thoriq lebih memilih memainkan game di gawainya. Berulang kali aku mengajaknya untuk menjadi imam dalam sholat. Selalu saja ada alasan yang ia berikan.
Setelah mengambil air wudhu, aku keluar dari kamar mandi dan sudah tidak menemukan Mas Thoriq di sofa. Heran, seperti tidak merasa betah untuk duduk diam di kamar.
'Ah, lebih baik aku sholat saja dulu. Palingan juga jalan-jalan di teras depan,' aku membatin. Karena teras villa kami, menghadap langsung ke pantai.
Kupanjatkan doa pada Sang Khalik, untuk kesehatan anak dalam kandunganku, kelancaran ketika persalinan nanti dan keutuhan rumah tangga yang sudah mulai tercium sebuah aroma pengkhianatan. Setidaknya rencana liburan Mas Thoriq dan Hesti, sudah berhasil aku gagalkan.
Selesai sholat maghrib, kulipat mukena dan sajadah setelah itu kuputuskan untuk menyusul Mas Thoriq.
Kususuri sepanjang bibir pantai. Matahari sudah berpindah tugas ke belahan dunia lain, tinggal rembulan yang mulai terlihat menggantikannya.
Dinginnya angin pantai mulai terasa menerpa permukaan kulit. Aku bersedekap, sambil mengusap-usap lengan, untuk menimbulkan rasa hangat.
Hati kembali melenguh perih. Di saat liburan begini saja, Mas Thoriq tega mengacuhkanku. Lalu dianggapnya apa aku ini?
Lebih baik aku kembali ke villa saja. Dinginnya angin pantai, sudah terasa semakin menusuk ke tulang.
Tak sengaja, aku melewati sebuah villa yang tak jauh dari villa-ku. Hanya berjarak tiga villa saja.
Dan aku menangkap suara yang sangat kukenal, tengah tertawa keras. Suara Mas Thoriq!
Kupercepat langkah mendekati villa tersebut. Kenapa Mas Thoriq bisa berada di sana?
Dan sebuah pemandangan mengejutkan terpampang di depan mata. Astaghfirullah, desisku sambil menutup mulut.
Mas Thoriq dan Hesti tengah duduk berpegangan tangan sambil tertawa. Di meja berhamburan kartu domino dan kulit kacang. Dinda ada di sana juga. Tumben, dia tidak memberi tahu soal kehadiran Hesti di sini.
Bahagia sekali kelihatannya suamiku itu. Sementara ketika denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya.
"Hesti!"
Mas Thoriq dan Hesti terperanjat. Lalu keduanya refleks berdiri.
Plaaak!
____________
PART 7 Mas Thoriq dan Hesti tengah duduk berpegangan tangan sambil tertawa. Di meja berhamburan kartu domino dan kulit kacang. Dinda ada di sana juga. Tumben, dia tidak memberi tahu soal kehadiran Hesti di sini. Bahagia sekali kelihatannya suamiku itu. Sementara ketika denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya. "Hesti!" Mas Thoriq dan Hesti terperanjat. Lalu keduanya refleks berdiri. Plaaak! ________ Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi mulus Hesti, hingga ia terhuyung ke belakang. N
PART 8 Selamat membaca, Zheyeenkk☺❤___________ "Kenapa, Nin?" tanya Dinda khawatir, ketika melihat aku mulai meringis menahan sakit, sembari mengelus-elus bagian bawah perut. Belum sempat aku menjawab, aku merasa seperti ada yang pecah dan air mengalir dari sela kedua paha. "Air apa itu?" Dinda menatap bingung melihat air yang keluar dari selangkanganku. "Lo ngompol, Nin?" "Enggak kok. Gue juga gak tau itu air apa, Din." ________
Selamat membaca 🤗PART 9Pria tiga puluh satu tahun itu hanya tersenyum kecut tanpa menjawab. Aku sangat mengenali seperti apa dirinya. Dia tak akan pernah berani berkutik sama sekali, jika aku sudah merengek dan merayu pada Papi. Karena tentu saja dia tidak memiliki daya sama sekali."Ya sudah, nanti biar Papi bicarakan masalah ini ke Rahmat ya. Yang penting kamu banyak istirahat, makan makanan yang bergizi, supaya kamu segera pulih."Kutarik bibir ke samping. Yes! Dengan begitu akan lebih mudah mengawasi seperti apa kelakuan suami dan sahabatku.Dengan ekor mata, bisa kulihat Mas Thoriq kembali menatapku._________Selama masa pemulihan setelah melahirkan di rumah sakit, aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Hanya saja Alissha, belum diizink
Part 10 Mobil bergerak mundur, lalu melesat pergi. Segera kuraih gawaiku. Lalu menghubungi seseorang yang bernama Farid. "Kamu di mana posisi, Rid?" "Saya sedang mengikuti mobil Alphard hitam milik Pak Thoriq. Sesuai yang Ibu perintahkan, saya sudah stand by di depan rumah Ibu sejak pukul setengah tujuh tadi," sahut orang bayaranku itu. "Bagus! Ikuti terus!" ________ "Siap, Bu. Posisi saya tidak jauh dari mobil Bapak." "Hati-hati kamu. Jangan sampai terlalu dekat. Takutnya nanti dia curiga."
Kuscroll lagi ke bawah. Aku penasaran dengan wajah laki-laki yang selalu saja diambil dari belakang. Kemudian sampai pada beberapa slide foto di bawah. Dan refleks kututup mulut ketika melihat slide akhir beberapa foto dari akun bernama Spongebob89 itu. Tanganku gemetar dan nyaris ponsel bergambar apel separuh itu terjatuh ke lantai. Foto Dinda dengan menggunakan bikini seksi, tengah bertemu bibir dengan seorang pria yang sangat aku kenal. Astagfirullah, Mas Thoriq! __________ Ingin rasanya aku menangis dan menjerit sekuatnya, tapi rasanya malu. Mami juga past
Part 12 "Mas sangat mencintai kamu dan gak mungkin menduakan kamu, Sayang," ujarnya lalu hendak mendekapku erat. Tak sengaja mataku menangkap banyak tanda merah di leher Mas Thoriq. "Tunggu, Mas!" Aku menahan tubuhnya. "Kenapa, Sayang?" "Kok di leher kamu banyak tanda merah," tanyaku tajam penuh selidik. Lelaki itu langsung bergegas menuju cermin. "Eng, ini … ini …." _________
PART 13 Mas Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sehingga membuatku berpegangan pada handle di atas kepalaku karena ketakutan. "Mas, hati-hati, aku takut," mohonku pada Mas Kevin yang menatap fokus ke depan. Sesekali matanya menatap ke spion dalam dan kiri, tanpa menjawab sepatah kata pun. Aku menatap wajah tampan yang terlihat memerah itu. Sepertinya ia sangat memendam amarah yang cukup hebat. Mungkin selama ini ia begitu percaya pada Dinda. Ternyata, Dinda tega mengkhianati. Mas Kevin pun tak kalah tampan. Wajah blasteran Indo-Inggris dan terlihat sangat dewasa. Berbeda den
PART 14 POV DINDA Ini adalah hari penerbangan kami yang pertama. Aku, Karenina, dan Hesti adalah sahabat seangkatan saat sama-sama menempuh pendidikan di Pendidikan Staf Penerbangan dan Pramugari. Berhubung kami masih pramugari junior, kami hanya memperhatikan cara kerja para senior kami. Ketika hendak masuk ke toilet, tak sengaja aku menabrak seorang pria. "Sorry, sorry, Mbak. Saya gak sengaja," ujarnya meminta maaf. "Lho, kamu temennya Nina kan?" "Iya, Cap. Gak papa. Saya juga tadi gak liat-liat. Asal masuk aja," tukasku pada pria muda dan tampan yang sudah menjadi Captain Pilot. Aku mengetahuinya dari empat garis emas