Share

Liburan

Part : 5

Sembari mendendangkan sebuah sholawat. Bulir hangat terasa mengalir dari sudut kedua netra, ketika lantunan sholawat itu berdesis lembut dari bibir.

Setegar apa pun aku mencoba berusaha, tetaplah kembali pada kodrat wanita yang lemah dan cengeng. 

'Mama akan berusaha mempertahankan keutuhan keluarga kita semampu mama, Nak. Mama lakukan semua demi kebahagiaan kamu … dan kita.'

________



Dua hari setelah itu, rencana liburan kami berhasil juga. Tentu saja aku senang sekali. Bukan karena liburannya, tapi setidaknya menggagalkan rencana liburan Mas Thoriq dan Hesti adalah sesuatu kepuasan yang luar biasa. 

Setidaknya nanti aku bisa sedikit me-refresh pikiran yang sudah sangat penat. 

Kulirik Mas Thoriq yang duduk di sofa kecil di sudut kamar. Sedikit pun tak ada raut senang di wajahnya. Padahal judulnya adalah liburan bersama istri. Seandainya mungkin liburan dengan Hesti benar terjadi, mungkin raut wajahnya tidak seperti ini. 

Sesekali ia meraup wajahnya kasar. Kadang juga mengacau bagian belakang rambut cepaknya. Gelisah dan resah. 

"Mas."

"Hum." Ia tampak terkesiap karena panggilanku. Heran, padahal aku memanggilnya dengan suara yang lembut. 

"Ngelamunin apa sih?"

"Ah, nggak ada kok, Sayang. Mungkin Mas agak sedikit lelah dan masuk angin aja," jawab Mas Thoriq, sambil memijat-mijat tengkuk dengan tangan kirinya. 

"Mau aku ambilkan puyer masuk angin?"

"Gak usah, Sayang. Cuma masuk angin biasa. Bentar lagi baikan kok," pungkasnya dengan tersenyum. 

"Sudah selesai? Biar kita segera berangkat sekarang."

"Udah kok. Tadi aku cuma ngecek aja. Takut ada yang ketinggalan."

"Ya udah, mana yang mau dibawa ke mobil?"

Aku menunjuk dua buah koper yang sudah berdiri rapi di sisi ranjang. Lalu Mas Thoriq menarik handle koper dorong itu, lalu menariknya keluar. 

Setelah memasukkan koper-koper ke dalam bagasi kemudian Mas Thoriq memundurkan mobil. Sedangkan aku memeriksa keadaan rumah. Setelah yakin semua aman, kemudian mengunci pintu dan jendela. Bik Irah kami ungsikan ke rumah Papi untuk sementara waktu. 

Di mobil Mas Thoriq lebih banyak diam. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Aku lebih memilih memasang headset dan mendengarkan lantunan ayat murottal merdu, dari suara seorang imam besar Makkah, agar bayi di kandunganku merasakan ketenangan. Sebuah metode jitu yang selama ini sudah aku terapkan. 

Setiba di sana, segera ia memesan sebuah kamar. Aku meminta kamar yang view-nya menghadap ke pantai. Dibantu oleh seorang karyawan hotel, Mas Thoriq membawa koper masuk ke dalam kamar. 

"Kamu suka kamarnya, Sayang?"

"Suka banget, Mas. Dari sini aku bisa melihat matahari terbenam."

Mas Thoriq mencium puncak kepalaku, lembut. Lalu turun ke kening dan mulai mendekati bibir. Perlahan lelaki itu mengusap tengkuk dan belakang telinga.

Aku tahu ini adalah sebuah isyarat untuk ditunaikan kewajibannya sebagai suami. 

Hati ini ingin menjerit, jika teringat pembicaraannya dengan wanita yang ia panggil "Sayang" di ponsel kemarin. Seandainya mereka jadi liburan, hanya berdua, lalu apa yang akan terjadi di antara dua orang berbeda jenis berada dalam satu kamar hotel? 

Refleks aku mendorong tubuh Mas Thoriq hingga mundur ke belakang. Wajahnya terperangah, melihat penolakan ekstrim dariku. 

"Kenapa, Sayang? Kok kamu dorong Mas kayak gitu?"

"Maaf, maaf, Mas. Rasanya seperti mual. Mungkin mabuk perjalanan. Aku mau muntah," jawabku sembari setengah berlari menuju kamar mandi. 

Perutku benar-benar terasa mual. Tapi, ketika berusaha untuk memuntahkan, tidak ada sesuatu pun yang keluar. Namun rasa mual terus berputar di ulu hati.

Kubasuh wajah dengan air di washtafel. Sayup-sayup aku mendengar Mas Thoriq seperti berbicara dengan seseorang. 

Pelan-pelan aku membuka sedikit pintu kamar mandi agar jangan sampai menimbulkan suara. 

"Apa, kamu juga di Villa Cempaka? Gila kamu!" umpatnya dengan suara berbisik. Tapi aku tetap dapat mendengarnya. Karena posisi Mas Thoriq tidak jauh dari kamar mandi. Mau selingkuh saja, masih bertindak ceroboh. Huh! 

Senekat itu Hesti sampai menyusul ke sini? 

"Jangan minta yang macam-macam, Sayang. Aku ke sini untuk menyenangkan Nina. Kasihan dia stres. Mungkin karena sudah mendekati kelahiran. 

Aku stress bukan karena hendak melahirkan, justru tingkahmulah, Mas, yang menjadi pemicu stress itu!

Sengaja kubuka pintu dengan sedikit hentakan, hingga membuat Mas Thoriq sedikit tersentak. 

"Oh oke, Pak. Nanti kita ketemu di restoran ya. Gak nyangka Bapak ternyata juga ada di villa ini," ujarnya berpura-pura menelepon seorang pria. Sementara jelas-jelas aku mendengar ia berbisik di telepon dengan wanita. Siapa lagi jika bukan dengan Hesti. 

"Sayang, Mas keluar dulu ya."

"Mau kemana, Mas?"

"Mas mau ketemu teman dulu. Namanya Pak Wahyu. Dia pilot senior. Kebetulan dia juga berada di hotel ini."

Bohong! Mau sampai kapan kebiasaan dusta Mas Thoriq ini terus berlanjut? 

"Aku ikut ya, Mas."

"Eh, gak usah. Mas cuma sebentar. Pak Wahyu juga gak lama kok. Katanya sudah mau check out."

"Udah ya. Mas pergi dulu. Kamu istirahat aja. Jadi biar cepat pulih." Mas Thoriq mengecup dahiku, lalu bergegas pergi. Begitu terburu-burunya ia pergi hanya untuk bertemu dengan teman pria? 

Cepat sekali Mas Thoriq menghilang. Aku sampai kehilangan jejak ketika hendak mengikutinya. Kemana dia perginya ya? Kusisir sekeliling restoran, tapi hasilnya nihil. 

Aku beranjak menuju bagian luar restoran. Dan pandanganku tertuju pada pria yang duduk di meja dengan posisi membelakangi, tepat di pinggir pantai. Duduk berdampingan dengan seorang wanita berambut ikal berwarna coklat kemerahan. Benar-benar tidak asing bagiku.

Bergegas kuhampiri pasangan yang tengah duduk berdampingan itu. 

"Mas!" panggilku dan lelaki itu menoleh. Benar Mas Thoriq dan wanita di sebelahnya … Astaga! 

"Elo …?"



_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status