Share

07 || Majikan Baru

Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu.

Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar.

"Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya.

Diandra masih menutup mata.

"Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra.

Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa mencari minyak angin atau apa pun untuk menyadarkan istrinya. Hingga akhirnya dia mendapati minyak kayu putih dan langsung mengoleskan sedikit dekat hidungnya.

"Bangun, Sayang. Sadaaarrr ...." Dewa cukup panik melihat istrinya yang tidak kunjung sadar.

Akhirnya Dewa bangkit dari tepi ranjang, tetapi langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menarik tangannya. Bahkan hingga membuat tubuhnya terjatuh pada tubuh sintal yang ada di atas ranjang.

"Kamu mengkhawatirkanku, Mas?" Bibir Diandra tersenyum.

"Andra? Kamu udah sadar?" Sepasang mata Dewa membulat.

Diandra tersenyum saat melihat raut wajah suaminya benar-benar terlihat khawatir.

"Sumpah, ini enggak lucu, Sayang!" Dewa ingin bangkit dari tubuh Diandra, tetapi Diandra menahannya. "Lepasin tanganmu!" pinta Dewa yang tidak digubris oleh Diandra.

Diandra menarik tubuh Dewa hingga kini berdempetan. Dia bisa memastikan kalau suaminya tidak dapat berpaling apalagi setelah menempel pada sesuatu yang kenyal miliknya.

"Sayaaang ... kamu memang tau kelemahanku!" desah Dewa yang kemudian membungkam bibir Diandra dengan isapan lembut.

**

Mentari telah menyinari istana mungil mereka. Keduanya tampak tersenyum ketika melihat dapur yang sudah berantakan seperti kapal pecah.

"Kalau sudah begini, sepertinya kita harus sarapan di luar!" Dewa menggendong tubuh istrinya.

"Aw ... Mas ...." Diandra terlihat kaget karena dalam satu kali pangku, tubuhnya sudah ada dalam pangkuan tangan kekar Dewa.

Diandra mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk Dewa. Tidak henti-hentinya Diandra menatap wajah tampan Dewa yang menurutnya sempurna. Laki-laki bertubuh kekar dengan otot-otot yang terlihat gagah, dada bidang yang ditumbuhi sedikit bulu-bulu, perut sixpack seperti roti sobek, wajah yang rupawan dan penyayang begitu sempurna di mata Diandra.

"Turunin aku!" pinta Diandra saat mereka sudah ada di depan pintu rumah.

"Cium dulu," pinta Dewa manja.

"Muacchhh!!" Diandra mengecup pipi suaminya.

"Bukan di situ," protes Dewa.

"Lalu?" Mata Diandra menyipit dan Dewa memonyongkan bibirnya. Ah, laki-laki itu memang pandai memanjakan istrinya yang baru berusia delapan belas tahun.

Dewa dan Diandra berjalan menuju warung makan yang tidak jauh dari rumah mereka. Berjalan bergandengan tangan dan hal itu sungguh terlihat romantis bagi orang-orang yang melihatnya.

"Mau makan sama apa, Sayang?"

"Sama kamu." Diandra malah menjahili suaminya.

"Maksud aku, mau makan pakek ikan atau sayurannya apa?" Dewa mencubit gemas hidung istrinya.

"Aku ikut kamu aja, Mas," jawab Diandra yang masih menatap suaminya. Tangannya memegang pipi dan sikutnya menempel ke meja.

"Mas enggak ke mana-mana, ngapain kamu ikut?" Giliran Dewa yang menjahili istrinya.

Keduanya saling melempar senyum. Merasa dunia hanya milik mereka berdua hingga akhirnya lamunan itu berakhir ketika ada sapaan dari seseorang.

"Mau makan pakek apa, Mas? Mbak?" Terdengar seorang wanita bertanya.

"Pakek piring, Bu!" Dewa dan Diandra menjawab bersama-sama dan hal itu membuat bibir pemilik warung tersenyum. "Eehh ... maaf, Bu. Maksud aku, aku nurut sama Mamas aja," ujar Diandra dengan pipi bersemu merah karena malu.

"Ya sudah, aku yang putusin, ya?" ucap Dewa yang diiringi dengan anggukan dari Diandra.

Dewa mengikuti pemilik warung untuk memilih sayur dan ikan yang hendak dia pesan. Yang membedakan hanya porsi nasinya saja.

"Taraaaa ... makanlah!" Dewa menyodorkan satu piring nasi porsi sedang dengan sayur dan lauk yang sudah bercampur dalam piring.

Diandra tersenyum setelah mengucapkan kata terima kasih dan mereka berdua mulai menikmati sarapan pagi yang penuh drama.

Waktu telah menunjukkan jam delapan pagi, Dewa harus bersiap-siap ke rumah majikan barunya. Kali ini, Dewa bekerja sebagai sopir pribadi. Di mana kerjanya dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore.

Dering ponsel Dewa begitu berisik memekakkan telinga. Bibirnya mengerucut ketika melihat nomor yang menghubunginya merupakan satu nomor tidak dia kenal. Padahal, Dewa sedang bercumbu dengan istrinya. Ah, saat ini Dewa begitu menikmati masa-masa indah pernikahan keempat dalam hidupnya.

Dewa melepaskan tangannya yang sedang melingkar di pinggang Diandra. Wanita cantik yang ada di hadapannya itu tersenyum, lalu mengusap bibir suaminya.

"Jangan cemberut, angkat aja, Mas. Kalik yang menelepon penting, kan?"

"Iya tapi enggak ngerti posisi nanggung banget sih!" keluh Dewa yang begitu kesal.

Diandra melingkarkan tangan di tengkuk Dewa, menariknya agar laki-laki bertubuh jangkung itu merunduk dan 'cup!' Diandra mencium bibir suaminya. Lembut dan semakin menghangat hingga dering ponsel itu mati, berdering, mati, kemudian berdering lagi.

"Angkat, Mas. Udah, kan, ciumnya?" Goda Diandra sambil memeluk tubuh kekar suaminya.

Dewa meraih ponsel yang tergeletak di meja karena mereka masih berdiri di samping meja makan setelah mengunci pintu rumah barusan.

"Halo?" Dewa mengangkat panggilan ponsel.

"Kamu di mana, sih? Bukankan ini hari pertama kerja kamu? Sudah tau jam kerja dimulai jam berapa, kan?" Suara cerewet terdengar dari dalam ponsel, Dewa pun menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Sedangkan Diandra memilih pergi ke dapur.

"Iya, saya udah tau, Mbak. Jam kerja saya mulai pukul sembilan pagi, kan? Ini masih jam setengah sembilan saja kurang," jawab Dewa yang masih memegang telinga yang baru saja sakit karena teriakan seorang perempuan dari dalam ponsel. Sementara Diandra hanya tersenyum sambil membereskan dapur yang berantakan.

"Tapi harusnya kamu sudah datang dari jam delapan ke sini!"

"Maaf, Mbak. Saya hanya dikasih tau jam kerja dimulai jam sembilan."

"Ya sudah cepat ke sini. Tepat jam sembilan kamu harus pergi antar saya, paham?!" gertak wanita tersebut.

"Paham, Mbak."

"Dan satu lagi, jangan sebut aku Mbak! Panggil aku Nona, Nona Shu!" pinta wanita tersebut.

"Oke, Nona Shu. Saya berangkat sekarang juga dan saya pastikan sebelum jam sembilan, saya sudah berada di mobil Nona Shu."

"Oke!" Panggilan ponsel pun berakhir.

Gila, ini cewek galak banget! Batin Dewa ketika melihat sudah tidak ada lagi panggilan ponsel.

Dewa berjalan, lalu meraih breton hat dan telah dipakai di kepala. Dia berjalan kemudian memeluk istrinya dari belakang.

"Tanganku kotor, Mas," ucap Diandra.

"Gak pa-pa, aku hanya ingin memelukmu sebentar sebelum bertemu dengan singa betina."

"Singa betina?"

Dewa tersenyum. "Majikan baruku, dia galak dan cerewet."

"Astaga, aku gagal paham. Ya sudah, Mas berangkatlah, nanti malah kena omel lagi sama majikan barunya."

"Iya, Sayang. Mas berangkat, ya? Aku sayang kamu." Dewa mencium pucuk kepala Diandra sebelum pergi.

"Hati-hati."

*

Dewa menaiki mobil bus dan hanya dalam beberapa menit saja, dia sudah ada di rumah mewah.

"Selamat pagi." Dewa menyapa scurity yang berjaga di pos.

"Pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Dewa, Mas. Sopir baru di––" Belum juga usai, ucapan Dewa sudah dipotong oleh scurity tersebut.

"Owalaaaa ... Mas Dewa, toh. Cepat masuk aja, Mas. Nona Shu sudah menunggu Mas di mobil hitam itu." Scurity itu menunjuk pada mobil sedan hitam metalik yang mengilat.

"Baiklah, terima kasih." Dewa berlalu pergi. Dia berlari menuju mobil tersebut.

"Maaf, Nona Shu," ucap Dewa yang langsung masuk ke mobil tersebut.

"Dasar tukang ngaret! Katanya tidak akan telat datang ke sini? Masa majikan sama sopir keduluan majikan, sih?" cerocos Magdalena atau yang lebih akrab dipanggil Nona Shu.

"Tapi ini belum jam sembilan, kok."

"Dih, ngebantah lagi. Squat jump!"

"Astaga, jangan galak-galak, Nona. Nanti malah sayang." Dewa melirik melihat perempuan yang duduk tenang di belakang.

"Hah? Aku? Sayang sama kamu?" Wajah Magdalena mendongak dan saat ini tepat di depan matanya ada sosok laki-laki tampan yang maskulin.

Wow ... dia sopirku? Batin Magdalena yang terpikat oleh ketampanan seorang Dewa.

Quote:

Jangan terlalu membenci seseorang. Antara benci dan sayang itu hanya berbeda sedikit saja. Jika terlalu benci, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya rasa sayang. _KwanSaga_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status