Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu.
Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar."Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya.Diandra masih menutup mata."Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra.Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa mencari minyak angin atau apa pun untuk menyadarkan istrinya. Hingga akhirnya dia mendapati minyak kayu putih dan langsung mengoleskan sedikit dekat hidungnya."Bangun, Sayang. Sadaaarrr ...." Dewa cukup panik melihat istrinya yang tidak kunjung sadar.Akhirnya Dewa bangkit dari tepi ranjang, tetapi langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menarik tangannya. Bahkan hingga membuat tubuhnya terjatuh pada tubuh sintal yang ada di atas ranjang."Kamu mengkhawatirkanku, Mas?" Bibir Diandra tersenyum."Andra? Kamu udah sadar?" Sepasang mata Dewa membulat.Diandra tersenyum saat melihat raut wajah suaminya benar-benar terlihat khawatir."Sumpah, ini enggak lucu, Sayang!" Dewa ingin bangkit dari tubuh Diandra, tetapi Diandra menahannya. "Lepasin tanganmu!" pinta Dewa yang tidak digubris oleh Diandra.Diandra menarik tubuh Dewa hingga kini berdempetan. Dia bisa memastikan kalau suaminya tidak dapat berpaling apalagi setelah menempel pada sesuatu yang kenyal miliknya."Sayaaang ... kamu memang tau kelemahanku!" desah Dewa yang kemudian membungkam bibir Diandra dengan isapan lembut.**Mentari telah menyinari istana mungil mereka. Keduanya tampak tersenyum ketika melihat dapur yang sudah berantakan seperti kapal pecah."Kalau sudah begini, sepertinya kita harus sarapan di luar!" Dewa menggendong tubuh istrinya."Aw ... Mas ...." Diandra terlihat kaget karena dalam satu kali pangku, tubuhnya sudah ada dalam pangkuan tangan kekar Dewa.Diandra mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk Dewa. Tidak henti-hentinya Diandra menatap wajah tampan Dewa yang menurutnya sempurna. Laki-laki bertubuh kekar dengan otot-otot yang terlihat gagah, dada bidang yang ditumbuhi sedikit bulu-bulu, perut sixpack seperti roti sobek, wajah yang rupawan dan penyayang begitu sempurna di mata Diandra."Turunin aku!" pinta Diandra saat mereka sudah ada di depan pintu rumah."Cium dulu," pinta Dewa manja."Muacchhh!!" Diandra mengecup pipi suaminya."Bukan di situ," protes Dewa."Lalu?" Mata Diandra menyipit dan Dewa memonyongkan bibirnya. Ah, laki-laki itu memang pandai memanjakan istrinya yang baru berusia delapan belas tahun.Dewa dan Diandra berjalan menuju warung makan yang tidak jauh dari rumah mereka. Berjalan bergandengan tangan dan hal itu sungguh terlihat romantis bagi orang-orang yang melihatnya."Mau makan sama apa, Sayang?""Sama kamu." Diandra malah menjahili suaminya."Maksud aku, mau makan pakek ikan atau sayurannya apa?" Dewa mencubit gemas hidung istrinya."Aku ikut kamu aja, Mas," jawab Diandra yang masih menatap suaminya. Tangannya memegang pipi dan sikutnya menempel ke meja."Mas enggak ke mana-mana, ngapain kamu ikut?" Giliran Dewa yang menjahili istrinya.Keduanya saling melempar senyum. Merasa dunia hanya milik mereka berdua hingga akhirnya lamunan itu berakhir ketika ada sapaan dari seseorang."Mau makan pakek apa, Mas? Mbak?" Terdengar seorang wanita bertanya."Pakek piring, Bu!" Dewa dan Diandra menjawab bersama-sama dan hal itu membuat bibir pemilik warung tersenyum. "Eehh ... maaf, Bu. Maksud aku, aku nurut sama Mamas aja," ujar Diandra dengan pipi bersemu merah karena malu."Ya sudah, aku yang putusin, ya?" ucap Dewa yang diiringi dengan anggukan dari Diandra.Dewa mengikuti pemilik warung untuk memilih sayur dan ikan yang hendak dia pesan. Yang membedakan hanya porsi nasinya saja."Taraaaa ... makanlah!" Dewa menyodorkan satu piring nasi porsi sedang dengan sayur dan lauk yang sudah bercampur dalam piring.Diandra tersenyum setelah mengucapkan kata terima kasih dan mereka berdua mulai menikmati sarapan pagi yang penuh drama.Waktu telah menunjukkan jam delapan pagi, Dewa harus bersiap-siap ke rumah majikan barunya. Kali ini, Dewa bekerja sebagai sopir pribadi. Di mana kerjanya dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore.Dering ponsel Dewa begitu berisik memekakkan telinga. Bibirnya mengerucut ketika melihat nomor yang menghubunginya merupakan satu nomor tidak dia kenal. Padahal, Dewa sedang bercumbu dengan istrinya. Ah, saat ini Dewa begitu menikmati masa-masa indah pernikahan keempat dalam hidupnya.Dewa melepaskan tangannya yang sedang melingkar di pinggang Diandra. Wanita cantik yang ada di hadapannya itu tersenyum, lalu mengusap bibir suaminya."Jangan cemberut, angkat aja, Mas. Kalik yang menelepon penting, kan?""Iya tapi enggak ngerti posisi nanggung banget sih!" keluh Dewa yang begitu kesal.Diandra melingkarkan tangan di tengkuk Dewa, menariknya agar laki-laki bertubuh jangkung itu merunduk dan 'cup!' Diandra mencium bibir suaminya. Lembut dan semakin menghangat hingga dering ponsel itu mati, berdering, mati, kemudian berdering lagi."Angkat, Mas. Udah, kan, ciumnya?" Goda Diandra sambil memeluk tubuh kekar suaminya.Dewa meraih ponsel yang tergeletak di meja karena mereka masih berdiri di samping meja makan setelah mengunci pintu rumah barusan."Halo?" Dewa mengangkat panggilan ponsel."Kamu di mana, sih? Bukankan ini hari pertama kerja kamu? Sudah tau jam kerja dimulai jam berapa, kan?" Suara cerewet terdengar dari dalam ponsel, Dewa pun menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Sedangkan Diandra memilih pergi ke dapur."Iya, saya udah tau, Mbak. Jam kerja saya mulai pukul sembilan pagi, kan? Ini masih jam setengah sembilan saja kurang," jawab Dewa yang masih memegang telinga yang baru saja sakit karena teriakan seorang perempuan dari dalam ponsel. Sementara Diandra hanya tersenyum sambil membereskan dapur yang berantakan."Tapi harusnya kamu sudah datang dari jam delapan ke sini!""Maaf, Mbak. Saya hanya dikasih tau jam kerja dimulai jam sembilan.""Ya sudah cepat ke sini. Tepat jam sembilan kamu harus pergi antar saya, paham?!" gertak wanita tersebut."Paham, Mbak.""Dan satu lagi, jangan sebut aku Mbak! Panggil aku Nona, Nona Shu!" pinta wanita tersebut."Oke, Nona Shu. Saya berangkat sekarang juga dan saya pastikan sebelum jam sembilan, saya sudah berada di mobil Nona Shu.""Oke!" Panggilan ponsel pun berakhir.Gila, ini cewek galak banget! Batin Dewa ketika melihat sudah tidak ada lagi panggilan ponsel.Dewa berjalan, lalu meraih breton hat dan telah dipakai di kepala. Dia berjalan kemudian memeluk istrinya dari belakang."Tanganku kotor, Mas," ucap Diandra."Gak pa-pa, aku hanya ingin memelukmu sebentar sebelum bertemu dengan singa betina.""Singa betina?"Dewa tersenyum. "Majikan baruku, dia galak dan cerewet.""Astaga, aku gagal paham. Ya sudah, Mas berangkatlah, nanti malah kena omel lagi sama majikan barunya.""Iya, Sayang. Mas berangkat, ya? Aku sayang kamu." Dewa mencium pucuk kepala Diandra sebelum pergi."Hati-hati."*Dewa menaiki mobil bus dan hanya dalam beberapa menit saja, dia sudah ada di rumah mewah."Selamat pagi." Dewa menyapa scurity yang berjaga di pos."Pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?""Saya Dewa, Mas. Sopir baru di––" Belum juga usai, ucapan Dewa sudah dipotong oleh scurity tersebut."Owalaaaa ... Mas Dewa, toh. Cepat masuk aja, Mas. Nona Shu sudah menunggu Mas di mobil hitam itu." Scurity itu menunjuk pada mobil sedan hitam metalik yang mengilat."Baiklah, terima kasih." Dewa berlalu pergi. Dia berlari menuju mobil tersebut."Maaf, Nona Shu," ucap Dewa yang langsung masuk ke mobil tersebut."Dasar tukang ngaret! Katanya tidak akan telat datang ke sini? Masa majikan sama sopir keduluan majikan, sih?" cerocos Magdalena atau yang lebih akrab dipanggil Nona Shu."Tapi ini belum jam sembilan, kok.""Dih, ngebantah lagi. Squat jump!""Astaga, jangan galak-galak, Nona. Nanti malah sayang." Dewa melirik melihat perempuan yang duduk tenang di belakang."Hah? Aku? Sayang sama kamu?" Wajah Magdalena mendongak dan saat ini tepat di depan matanya ada sosok laki-laki tampan yang maskulin.Wow ... dia sopirku? Batin Magdalena yang terpikat oleh ketampanan seorang Dewa.Quote:Jangan terlalu membenci seseorang. Antara benci dan sayang itu hanya berbeda sedikit saja. Jika terlalu benci, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya rasa sayang. _KwanSaga_Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu
Sepasang mata Dewa membulat saat menyadari ada bekas lipstik bibir Magdalena di kerah bajunya. Dewa diam beberapa saat hingga akhirnya Diandra kembali bertanya. "Mas! Jawaaabbbb." Ekspresi Diandra seperti ingin menangis saat suaminya membisu. "Percuma Mas jawan, pasti kamu enggak akan percaya." "Mas aja belum bilang alasannya apa, mana tau kalau aku tidak akan percaya?" "Gini, Sayang. Dengerin Mas baik-baik." Dewa memegang kedua pundak Diandra dengan sorot mata lekat, tetapi menenangkan. "Tadi, majikannya Mas tidak sengaja terjatuh mengenai Mas dan posisi wajahnya itu mengenai pundak dan mungkin pada saat itu bibirnya mengenai kerah baju Mas." "Yakin hanya itu?" Diandra melirik dengan tatapan menggemaskan. "Iya laaaahhh ... memangnya yang ada dalam pikiranmu apa, Sayang?" Dewa mencubit gemas pipi chubby Diandra, lalu dia meraih tubuh istrinya dalam dekap. Huufff ... untung saja dia percaya. Batin Dewa saat mendekap istrinya. "Oh, iya, gimana tadi pendaftaran kampusnya?" Dewa m
Sambungan ponsel terputus. Namun, Dewa masih bingung menentukan sikap. Dia akhirnya berjalan mendekati sang istri. "Sayang, Mas ada kerjaan. Kamu pulang naik taksi enggak apa-apa, ya?" Dewa bertanya meskipun dirinya tahu kalau Diandra pasti akan kesal. "Semalam ini?" tanya Diandra ketika menatap sorot mata suaminya dengan tatapan heran. Jelas saja dia merasa heran karena waktu telah menunjuk pada jam sembilan malam. "Iya, barusan ditelpon majikannya Mas dan dia disuruh menemui salah satu orang penting katanya." Dewa berusaha meyakinkan meskipun ucapannya ngawur. Diandra terlihat menarik napas panjang, lalu mengempaskannya perlahan. "Baiklah, aku akan pulang naik taksi. Mas hati-hati bawa mobilnya, ya?" ucap Diandra dengan seulas senyum. "Makasih, Sayang ...." Dewa mengucap sambil mengecup pipi Diandra. "Apa perlu Mas yang pesankan taksi? Karena Mas udah ditunggu majikannya Mas." "Ndak usah, Mas. Mas pergi aja, aku nanti naik taksi sendiri setelah makananku habis," ucap Diandra.
Dewa terduduk dengan napas memburu serta keringat yang membanjiri tubuhnya. "Dewa? Kamu kenapa, Sayang?" tanya Magdalena yang berada di sampingnya. Dewa masih sibuk mengatur napas yang masih memburu. Matanya masih sibuk melihat keadaan dan dia baru menyadari kalau dirinya berada dalam kamar sang majikan."Sayang?" Magdalena berusaha merebahkan kembali tubuh Dewa yang sedang terduduk hingga tubuh jangkungnya kembali terbaring dengan tatapan yang masih ragu. Sesungguhnya apa yang terjadi? Batin Dewa saat tubuhnya sudah kembali terbaring nyaman dengan pelukan dari Magdalena. "Andra itu siapa?" tanya Magdalena sesaat Dewa yang seolah masih belum seratus persen sadar dari mimpinya. "Andra?" Dewa malah kembali bertanya. "Hu'um, tadi kamu berteriak menyebut namanya." Magdalena menyangka nama Andra merupakan seorang laki-laki. Makanya dia bertanya pun dengan bahasa yang santai.Sepasang mata Dewa membulat, dia tidak menyangka kalau istrinya masuk dalam mimpi buruknya. Untung saja cuma m