Masuk“Punten, Kang,” celetuk sebuah suara menginterupsi. Dalam sekejap, Irgi pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang perempuan berjilbab hitam tengah meringis canggung padanya. Mengernyitkan dahinya spontan, Irgi yang semula sedang asyik berbincang dengan Hanifah pun kini sudah mengalihkan perhatiannya penuh terhadap si perempuan berjilbab tersebut. “Ada apa ya?” tanya pria itu menatap bingung.“Sebelumnya saya minta ya, Kang. Tapi, perempuan tadi yang Akang suruh buat pilih-pilih pakaian di stand saya, itu istrinya apa adiknya ya? Ah … pokoknya, siapapun itu, dia tadi mutusin untuk gak jadi beli bajunya. Justru, saya malah disuruh tanya Akangnya saja kata si tetehnya tadi. Makanya saya kesini karena buat mastiin aja kalau-kalau Akangnya mau jadi beli atau enggak,” urai si pelayan stand memberanikan diri untuk meminta kejelasan. Pasalnya, sebagai seorang pelayan yang sudah dipercaya oleh pemilik stand-nya untuk menangani konsumen yang masuk ke stand, perempuan ini dianjurkan u
“Udah ya, Pak. Kalo sekiranya udah gak sanggup buat lanjut cerita, Bapak gak usah maksain lagi. Paling nggak, saya sudah bisa menangkap garis besarnya, kok, walaupun Bapak gak ceritain seluruhnya…” ucap Agnia tak ingin memaksa.Dia cukup peka saat ini. Apalagi setelah melihat Irgi yang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meluapkan amarahnya di depan Agnia, membuat sang wanita lantas mengulurkan tangannya impulsif guna memberi usapan lembut di pundak dosennya. “Saya turut prihatin ya, Pak. Minimal, sekarang saya jadi tau penyebab Bapak selalu bersikap dingin selama di lingkungan kampus. Karena emang Bapak sengaja jadiin watak dingin itu sebagai tameng dari rasa sakit hati Bapak itu, kan?” lontar Agnia menebak. Tidak peduli jika pun ia salah dengan tebakannya. Yang jelas, kini Agnia sudah sedikit lebih paham dengan kesakitan Irgi di masa lalu bahkan hingga hari ini. Irgi masih bergeming. Namun, perlahan ia pun menaikkan pandangannya. Beradu tatap dengan sang wanita, yang kini seda
“Ru-Rumah Bapak?” beo Agnia tersendat. Menyudahi aksi bersandarnya, Irgi kini sudah kembali duduk tegak seraya mengangguk dan menatap sang wanita serius. “Ya. Menjadi tempat saya pulang ketika letih. Rumah yang benar-benar nyaman, dan tidak seorang pun boleh menempati rumah itu kecuali saya seorang,” tandas Irgi posesif. Untuk sesaat, berhasil telak membuat Agnia tercenung kaget di tengah Irgi yang sigap bangkit dari duduknya dan menggeser meja kayu di hadapannya agak menjauh. Dilanjut dengan ia yang mengambil posisi berlutut, tepat di depan Agnia yang masih duduk di kursi. “Jadilah rumah saya, Agnia. Bukan untuk sementara, melainkan sampai saya meregang nyawa pada suatu hari nanti…” pinta sang pria sangat serius. Menyorotkan pandangan penuh permohonannya pada Agnia seolah ia sedang melamar si wanita secara tidak langsung. Agnia termangu. Kini, pria itu tidak hanya meminta dirinya menjadi miliknya. Tetapi bahkan lebih-lebih dari hanya sekadar memiliki. “Saya tahu ini seperti sed
“Biasanya, doa anak kecil yang masih polos seperti mereka cenderung cepat dikabulkan sama Tuhan. Makanya, saya bantu aminkan saja dulu. Perihal sisanya, biar Tuhan saja yang mengatur,” celetuk Irgi melirik ke sebelahnya. Dilanjut dengan menunjukkan ekspresi jahil yang tentu saja membuat Agnia mendelik seraya berkata, “Apaan sih, Pak! Bapak ngebet banget punya anak kayaknya. Sama istri sendiri emang gak pernah usaha bikin? Kok, ngodenya malah sama saya mulu perasaan. Ajakin istrinya aja sana, Pak, kalo udah gak tahan pengen keturunan.” Entah Agnia yang keterlaluan dalam menyahut, atau memang si prianya saja yang sedang berhati sensitif. Mendengar lontaran kalimat si wanita barusan, Irgi pun mendadak murung di tengah kepala yang menunduk lunglai. Melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh sang pria, sontak membuat Agnia menjadi peka hingga ia langsung didera perasaan menyesal tatkala mendapati Irgi yang tahu-tahu sudah melenggang sendiri tak mengajak si wanita. “Loh, Pak!” Agn
‘AGNIA MALU IH!’ jerit hati kecil sang wanita. Sementara itu, wajah Agnia sendiri sudah sangat memerah di tengah ia yang tak menyangka jika dosennya ini akan sepeka itu. Padahal, awalnya pun Agnia tidak bermaksud menunjukkan ketidaksukaannya pada es buah pemberian si perempuan bernama Hanifah itu. Akan tetapi, siapa sangka jika ujung-ujungnya Irgi paham juga. “Apa kamu tidak suka juga dengan es krimnya, Agnia?” Tiba-tiba, sang dosen melayangkan tanya tatkala mendapati Agnia yang belum mencicipi satu pun es krim dari semua varian yang Irgi berikan. Menoleh, Agnia yang meringis sejenak pun lalu berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa dirinya masih sangat malu dengan kepekaan Irgi yang tepat sasaran. Meski begitu, Agnia pun merasa harus menghargai pemberian dari sang dosen. Oleh karena itu, ia pun lekas membuka kemasan es krim corong yang pertama kali Irgi tempelkan di pipinya tadi. “Sebelumnya, makasih banyak loh, Pak. Udah beliin saya es krim dengan semua varian yang ada. Pa
“Bagaimana? Sudah agak mendingan?” tegur Irgi menatap khawatir.Hanya saja, Agnia malah membisu di tengah unek-unek yang masih belum bisa tersalurkan. “Agnia … kamu baik-baik saja?” lanjut Irgi seraya melambaikan tangan di depan mata sang gadis. Menyadarkan Agnia dari aksi diamnya, tetapi tak membuat ia sigap menjawab. “Kamu kenapa?” Kali ini, pertanyaan Irgi semakin serius seiring dengan ia yang cenderung mulai peka terhadap reaksi yang Agnia tunjukkan. Wanita itu menghela nafas kasar. Kemudian, menggeser wadah berisi es buah yang sempat dicicipinya sambil berkata, “Es buahnya gak enak. Kalo Bapak mau habisin aja sendiri!” Selepas berkata ketus seperti itu, Agnia pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tengah berikut Irgi yang sontak tercenung heran. “Ada apa dengan wanita itu? Kenapa saya merasa kalau dia sedang kesal. Tapi, apa yang membuat dia sampai harus merasa kesal?” gumam si pria bertanya-tanya. Sepintas, pandangannya pun jatuh pada es buah pemberian dari Hanifah. “Apa







