“Aku akan meminta asistenku mengirimkan sejumlah uang untukmu tutup mulut.”
Kalimat tajam yang lolos di bibir Christian membuat hati Claudia merasa tercabik. Bahkan harga dirinya seakan direndahkan oleh calon kakak iparnya itu. Sungguh, dia tidak akan mungkin bisa menerima ucapan tajam dari pria yang menjatuhkan harga dirinya. Tidak akan pernah bisa!
“Kau ingin menyamakan aku dengan jalang? Kau pikir aku menjual tubuhku padamu? Itu maksudmu, Tuan Hastings?” Nada bicara Claudia bergetar kala mengatakan itu. “Dengarkan aku baik-baik! Seburuk-buruknya diriku, tidak akan pernah mungkin aku merusak kebahagiaan kakakku sendiri!” Lanjutnya dengan air mata yang bercucuran membasahi pipinya.
Christian kian melayangkan tatapan tajam pada Claudia. “I don’t give a fuck! Aku akan tetap meminta asistenku untuk mengirimkan uang ke rekeningmu sebagai bentuk kompensasi. Ingat baik-baik, apa yang terjadi tadi malam hanya kita berdua yang tahu. Kalau sampai, ada orang lain yang tahu, maka kau akan tahu akibatnya!” Lalu, Christian hendak melangkah pergi meninggalkan Claudia yang masih bergeming di tempatnya.
Claudia ingin menjawab ucapan Christian, namun dia tidak ingin mencari-cari sebuah keributan. Terlebih kakaknya ada di rumah. Terpaksa, dia pun sekarang memilih untuk diam ketika Christian menindasnya.
Claudia bukanlah sosok perempuan sempurna, yang tak memiliki celah kekurangan sedikit pun. Dia menyadari dirinya memiliki jutaan kekurangan. Akan tetapi, tidak pernah sedikit pun dia berniat menghancurkan kebahagiaan kakaknya sendiri.
Claudia seperti berada di dalam api neraka. Pagi yang cerah tapi tidak dengan hidupnya. Sekarang wajah yang nampak sangat pucat. Kemuraman menyelimuti gadis cantik itu. Tidak lagi bisa terbendung kesedihannya. Tak pernah Claudia sangka akan kejadian tadi malam. Kejadian yang benar-benar menyiksa hatinya.
Setiap detik apa yang terjadi tadi malam, tak bisa hilang dari ingatan Claudia. Seolah tadi malam terpasang CCTV di memori ingatannya—bahkan tak bisa terlupa. Setiap kali sentuhan Christian tak bisa sedikit pun lenyap dari ingatan Claudia.
Christian menyentuh setiap inci tubuhnya, bahkan di kala Claudia melepas jerat pria itu dan juga berteriak keras—tetap tidak membuat Christian menghentikan itu. Hatinya hancur berkeping-keping. Sesuatu yang berharga dalam dirinya, telah dia serakan pada sosok pria yang mana bukanlah suami ataupun kekasihnya. Hal paling gila adalah pria itu merupakan calon suami kakaknya sendiri.
Claudia membenci kenyataan di mana dirinya telah melukai kakaknya. Sekalipun kejadian tadi malam adalah bentuk dari sebuah kecelakaan, tetap saja dirinya telah menorehkan luka begitu dalam pada kakaknya sendiri.
Claudia melangkah keluar kamar dengan langkah begitu pelan dan lemah. Pancaran matanya sudah tak lagi secerah biasanya. Dia menuruni tangga dengan tatapan amat rapuh. Berusaha tetap berdiri di tengah hantaman batu keras, sangatlah tak mudah.
Saat langkah kaki Claudia terhenti di depan ruang makan, tatapannya teralih pada Christian yang tengah bersama dengan Ella. Raut wajah gadis itu langsung berubah, seakan tengah ditikam oleh pisau tajam. Menyakitkan namun sama sekali tak berdaya.
“Claudia? Kenapa kau hanya melamun? Ayo sini kita sarapan bersama,” ajak Ella seraya menatap Claudia yang berada di ambang pintu. Wanita itu memberikan senyuman hangat pada adiknya tersayang.
Claudia berusaha untuk bersikap biasa dan memberikan senyuman paksa membalas kakaknya. “Ah, i-iya, Kak.” Lalu, dia duduk di kursi meja makan yang posisinya kebetulan berhadapan dengan Christian. Akan tetapi, gadis itu berusaha untuk tak melihat ke arah Christian.
“Claudia? Ada apa? Kau terlihat pucat.” Ella menatap adiknya yang nampak berbeda pagi ini. Bahkan Claudia memakai pakaian turtle neck. Pakaian yang harusnya Claudia pakai dimusim dingin. Sedangkan sekarang adalah musim panas. Benar-benar sangat aneh.
“T-tidak, Kak. A-aku baik-baik saja,” jawab Claudia berusaha sekuat mungkin untuk memberikan senyuman paksaan pada kakaknya.
Ella membawa tangannya menyentuh pipi Claudia. “Kau yakin, Sayang? Wajahmu pucat sekali. Kalau kau sakit, aku akan meminta pelayan untuk memanggilkan dokter.” Ella nampak mencemaskan keadaan adiknya itu.
Tanpa sadar, tatapan Claudia melihat ke arah Christian yang memberikan tatapan tajam padanya. Buru-buru, Claudia memalingkan wajah dari Christian berusaha untuk mengabaikan keberadaan Christian.
Claudia menggelengkan kepalanya lemah. “A-aku baik-baik saja, Kak. Aku hanya sedikit kelelahan. Tahun ini adalah tahun terakhir kuliahku. Jadi aku sedikit pusing karena terlalu banyak belajar,” ucapnya sedikit gugup di kala kakaknya menyentuhnya. Claudia menaikan pakaiannya demi menutupi lehernya. Gadis itu memakai turtle neck agar kissmark di lehernya tak dilihat orang. Terutama keluarganya.
Ella menghela napas dalam. “Jangan terlalu keras dalam belajar. Tidak baik, Claudia. Belajar memang penting untuk mendapatkan nilai terbaik, tapi kalau dipaksakan nanti malah mengganggu kesehatanmu. Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik.”
Claudia tersenyum paksa. “I-iya, Kak. Aku akan lebih banyak beristirahat.”
“Oh, ya, Claudia, siang nanti aku dan Christian akan pergi melihat persiapan pernikahan kami. Kau tidak apa, kan di rumah sendiri? Dad dan Mom tadi pagi sudah pergi menemui teman mereka. Kau tahu, kan? Dad dan Mom sangat antusias dengan pernikahanku. Jadi mereka sibuk mengundang teman-teman mereka untuk hadir di pernikahanku nanti,” ujar Ella begitu riang bahagia menceritakan tentang pernikahannya yang tinggal di depan mata.
Claudia kembali tersenyum melihat kakaknya bahagia, namun di sisi lain hati Claudia merasa semakin bersalah karena telah melukai kakaknya. Claudia seperti tengah melakukan sebuah dosa besar yang bahkan tak bisa termaafkan.
“Hari ini, aku akan di rumah beristirahat. Kau pergi saja, Kak. Aku bisa menjaga diriku,” ucap Claudia pelan.
Ella tersenyum. “Ya sudah, kalau begitu lebih baik kita makan sekarang,” balas Ella—dan direspon anggukan kepala oleh Claudia.
Sarapan pun dimulai. Claudia menikmati sarapannya secara terpaksa dan perlahan. Tanpa sengaja, tatapan gadis itu kini menatap Ella yang tengah menyuapi Christian. Entah kenapa hati Claudia sangat merasa sesak melihat itu semua. Perasaannya menjadi tak enak, bahkan dirinya merasa tak nyaman.
Prangg
Sendok yang ada di tangan Claudia terjatuh. Refleks, Ella dan Christian mengalihkan pandangan mereka pada sendok Claudia yang terjatuh. Pun buru-buru, Claudia segera mengambil sendok itu.
“M-maaf.” Claudia mengambil sendok dengan wajah yang nampak jelas menunjukkan kegugupan seperti ada masalah yang ditutupi.
Ella mengambil sendok yang terjatuh yang ada di tangan adiknya itu, dan menggantikan sendok baru. “Claudia, ada apa? Apa ada hal yang membebani pikiranmu?” tanyanya merasa kalau ada yang aneh pada adiknya. Sikap adiknya pagi ini benar-benar berbeda dari biasanya.
“A-aku—” Claudia menelan salivanya susah payah. Rasa takut, bingung, dan campur aduk melebur menjadi satu. Dia ingin sekali meminta maaf secara langsung pada kakaknya, tapi di sisi lain dia sangat takut kakaknya akan terluka mengetahui kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Kilat mata Christian semakin tajam, menatap Claudia. Pancaran matanya memancarkan jelas isyarat gadis itu untuk menutup mulut. Tampak Claudia sedikit melihat ke arah Christian yang sejak tadi tak henti menatap tajam dirinya. Debaran jantung gadis itu semakin kencang. Bahkan di bawah meja—tangan Claudia saling menaut gemetar akibat kegugupan yang melanda dirinya.
Perasaan yang Claudia rasakan saat ini tak menentu. Dia ingin mengaku dosa pada kakaknya, tapi di sisi lain dirinya memikirkan apa yang akan terjadi pada kakaknya jika sampai dirinya memberi tahukan tentang kejadian tadi malam.
Gugup, takut, rasa bersalah, bimbang semua dirasakan Claudia. Jika boleh memilih gadis itu pasti memilih dirinya sudah tak lagi hidup di dunia. Mengkhianati kakaknya sendiri adalah hal yang tak pernah sedikit pun dia pikirkan.
“Kakak, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu…”
Pagi buta Claudia sudah terbangun. Kedua anaknya sudah menunggu di depan semangat karena akan diajak jalan-jalan. Entah jalan-jalan ke mana. Claudia tak tahu, karena Christian tidak bilang padanya. Yang pasti Claudia percaya bahwa sang suami akan membawanya ke tempat yang indah.Barang-barang yang dibawa telah dimasukan ke dalam mobil. Claudia dibantu pelayan untuk packing. Untungnya dia mendapatkan bantuan dari pelayan. Jika tidak, maka pastinya dia akan sangat kerepotan. Namun memang selama ini Claudia selalu dibantu oleh pelayan.“Claudia, apa kau sudah siap?” tanya Christian sambil memakai arloji.Claudia mengoleskan lipstick di bibirnya. “Sudah, Sayang. Aku sudah siap.”“Kita keluar sekarang. Anak-anak sudah menunggu kita.” Christian merengkuh bahu Claudia—mengajak sang istri ke luar kamar.“Mommy, Daddy, ayo kita jalan-jalan.” Caleb dan Cambrie memekik kegirangan tak sabar.Christian dan Claudia tersenyum samar. “Oke, let’s go. Kita berangkat sekarang.”Christian menggendong Cam
Mansion Claudia dan Christian dipuji oleh Nicole. Mansion megah yang telah didesain khusus oleh Claudia. Mansion ini adalah hadiah dari Christian untuk Claudia. Pria itu mencuri gambar rumah megah yang pernah digambar oleh Claudia. Sekarang hasil curian gambar itu, telah menjelma menjadi sebuah mansion mewah.Saat ini Claudia dan Christian tengah duduk di ruang tengah bersama dengan Nicole, Oliver, Ella, dan Elan. Mereka baru saja selesai makan siang bersama. Anak-anak mereka tengah bermain di taman belakang. Tentunya diawasi oleh para pengasuh mereka. “Claudia, rumahmu benar-benar indah. Rumah ini kau yang desain, kan?” tanya Nicole lembut—dan direspon anggukkan oleh Claudia.“Iya. Aku yang merancang rumah ini. Tadinya aku ingin mengumpulkan uang dari hasil kerja kerasku dan membangun rumah ini.” Claudia tersenyum malu.“Tapi akhirnya suamimu yang membangun rumah indah yang ada di kertas gambarmu.” Nicole menjawab lembut. Sebelumnya, dia sudah pernah diceritakan tentang gambar Clau
*Claudia, aku dan Oliver serta anak-anak kami siang ini akan main ke tempatmu. Apa kau ada di rumah?* Claudia yang baru saja membuka mata, di kala pagi menyapa, dikejutkan dengan pesan yang dikirimkan oleh Nicole. Detik itu juga, Claudia menyibak selimut—turun dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya. “Christian, Christian.” Claudia memanggil sang suami, karena suami tercintanya itu tidak ada di ranjang. Itu menandakan sang suami sudah bangun.“Iya, Claudia.” Christian melangkah keluar dari walk-in closet—tengah memakai dasi. Pria tampan itu sudah bersiap ingin ke kantor.Claudia mendekat dan melepaskan dasi Christian. Sontak, Christian terkejut akan tindakan Claudia—yang melepas dasinya begitu saja.“Claudia, apa yang—”“Hari ini kau tidak usah ke kantor. Nicole, Oliver, dan dua anaknya datang.”“Claudia, aku ada meeting penting.”“Kau CEO dari Hastings Group. Kau memiliki kuasa. Aku yakin kau bisa mengatur meeting dilain waktu.”Suara dering ponsel Christian terdengar. Buru-bu
“Oh, Tuhan. Elyana! Efraim! Kenapa bisa kalian merusak lukisan Mommy yang sudah Mommy pesan untuk Grandma?” Ella mengomel seraya memijat keningnya merasakan pusing luar biasa. Anak perempuan dan anak laki-lakinya merusak lukisan yang baru saja dia pesan di pelelangan seni. Lukisan harga fantastis itu sengaja Ella beli untuk dia hadiahkan pada ibunya.“Mommy, aku tidak salah. Efraim yang salah. Aku tidak salah.” Elyana membela diri, karena tidak mau disalahkan oleh ibunya. Pun dia memang tak sepenuhnya salah. Efraim—adiknya yang terlibat.Efraim mendelik, menatap tajam sang kakak. “Kak, kenapa kau menyalahkanku? Kau yang berlari mengejarku sampai wine jatuh ke atas lukisan Mommy.”Elyana berdecak kesal. “Kau menyembunyikan barbie yang dibelikan Grandpa!”“Aku tidak menyembunyikannya.”“Kau bohong! Kau menyembunyikan barbie pemberian dari Grandpa.” “Astaga! Kenapa kalian sekarang berdebat? Ini bagaimana lukisan Mommy? Besok Mommy akan memberikan lukisan ini pada Grandma Grania. Tapi ka
Caleb duduk di ranjang sambil memeluk bantal dengan raut wajah kesal. Bocah laki-laki itu kesal dengan Oscar, dan juga kesal dengan ibunya yang tak membelanya. Yang dia inginkan adalah ibunya membelanya. Tapi sayang, ibunya malah tak membela dirinya. “Sepertinya, kau baru saja melalui hari buruk.” Christian masuk ke dalam kamar putra sulungnya—dan duduk di samping putranya itu. Dia sudah melihat raut wajah Caleb menunjukkan jelas rasa kesal.Caleb mengembuskan napas kesal. “Dad, aku sudah diomeli Mom. Jika kau datang hanya ingin mengomeliku juga, lebih baik kau keluar kamarku saja. Aku pusing. Tidak ada yang mau mengerti diriku.”“Tujuanku datang ke sini bukan memerahimu.” Christian menjawab dengan tenang.Caleb mengalihkan pandangannya, menatap Christian. “Kau tidak memerahiku?”Christian menggelengkan kepalanya. “Nope. Aku tidak memerahimu.”Caleb merasa curiga. “Jangan-jangan kau langsung memberikanku hukuman?”Christian tersenyum samar. “Apa pernah aku sekejam itu padamu, Caleb?
“Mommy, kapan kita kan kembali ke London? Aku rindu Grandpa dan Grandma.”Olivia memeluk boneka kecil, menghampiri ibunya, mengajak bicara, bertanya kapan kembali ke London. Karena dia sudah cukup lama berada di New York. Itu kenapa sekarang gadis kecil itu bertanya kapan bisa kembali ke kotanya sendiri.Nicole menunduk, menatap penuh kasih sayang putri kecilnya. “Mommy belum tahu, nanti Mommy tanya Daddy dulu. Sekarang kau masuk ke kamarmu, Nak. Kau istirahatlah.”Olivia mengerjap beberapa kali. “Mommy, masih marah pada Oscar?”Nicole menghela napas dalam. “No, Honey. Mommy tidak marah pada Oscar. Kau masuklah ke kamar. Istirahat. Jangan bermain games.”Olivia memilih mengangguk patuh. Gadis kecil itu pun sudah lelah karena sejak tadi bersepeda. Dia masuk ke dalam kamarnya. Tepat di kala Olivia sudah masuk ke dalam kamar, Nicole segera menghubungi Oliver.“Oliver?” panggil Nicole kala panggilan terhubung.“Nicole, aku sedang sibuk bersama client-ku. Nanti aku akan menghubungimu,” uja