“Memangnya kenapa El? Kami ke sini sengaja untuk me—“El menyela ucapan Dad Leon, “Bagaimana kalau kita ke ruang kerja, di sana ada masalah yang harus kita diskusikan Dad.”Buru-buru El menggiring Dad Leon ke ruang kerja, menutup rapat pintu, tidak lupa menguncinya. Pria itu mengusap kasar wajahnya, bahkan berkeringat.“Istriku tidak tahu tentang itu Dad, aku mohon jangan sekarang. Biarkan sebentar lagi.” El mengiba di depan sang ayah.Dad Leon mengangguk, saking senangnya pria paruh baya itu melupakan sandiwara yang diperintahkan oleh El. Pemilik Torres Inc itu tergelak, lantaran melihat wajah pucat putra sulungnya.“Baiklah, aku senang karena memiliki cucu lagi. Jaga istrimu, bebanmu semakin berat, jangan sampai mengabaikan salah satu diantara mereka!” pesan Dad Leon, memutar badan, keluar ruang kerja lalu bercengkerama bersama cucu.Memasuki waktu makan siang, Al dan Gal mengamati beberapa pria serta para maid sibuk mondar-mandir dari satu sisi ke tempat lain. Bahkan anak-anak itu m
Livy terpaku melihat pemandangan di depannya, senyum manis mengembang sempurna menghiasi wajah cantik. Ia berkedip, dan lelehan bening pun turun membasahi pipi. “Kenapa Mommy nangis? Tidak suka ya?” Al mendongak sambil mengulurkan saputangan.“Terima kasih Sayang.” Livy membelai puncak kepala putra sulung, tidak ketinggalan Gal yang sedang menekuk wajah. “Bukan itu, tapi Mommy suka.”Livy menyeka air mata hingga kering, ia pikir semua tamu yang hadir langsung pulang karena pesta ulang tahunnya menjadi kacau. Ternyata, mereka tidak menginggalkan mansion ini, melainkan berpindah tempat.“Ini bukan seperti … garasi,” ucap ibu hamil itu terkekeh. “Bagaimana caranya memiliki ide di sini?” “Kata Bibi Claudya, meskipun semua bunga dibersihkan tetap saja serbuknya masih ada. Jadi Bibi menyarankan pestanya dipindahkan,” jawab Al sambil mencuri tatapan ke arah lain.“Ah, kalau begitu Mommy harus mengucapkan banyak terima kasih pada Claudya.” Livy mengalihkan tatapan pada wanita bergaun navy
“Setelah hari ulang tahunku dia jadi pendiam, belum lagi dari banyaknya hewan peliharaan tersisa ikan hias saja,” lirih Livy dari balik kaca, memandangi ke arah taman.“Kasihan sekali keponakan ajaibku. Apa mereka tidak saling menghubungi?” Estefania mengalihkan pandangan dari Al kepada Livy.Paska perayaan hari ulang tahun, Al sedikit berubah. Tampaknya anak itu memiliki luka tersendiri di dalam dada. Biasanya Al berlarian mengejar mainan remot kontrol yang dikendalikan Gal, tetapi … lihat sekarang duduk diam di ayunan.Dua bulan ini juga Al tidak terlihat memainkan tabletnya, anak itu sibuk membaca buku sesekali mengoperasikan permainan di komputer.Bahkan Livy berusaha mengorek informasi dari Gal, sayang putra keduanya tidak tahu apa-apa. Sebab Al tidak pernah menceritakan kejadian itu pada sang adik.“Kamu percaya dia mendorong anak Arjuna?” Lagi, Estefania melontarkan pertanyaan. “Kalau masalah Belle aku percaya, Al melakukan itu karena dia membela ibunya, tapi sekarang apa alasan
“Daddy, aku mau ikut lihat adik bayi.” Pipi Gal menggembung, kedua matanya mengiba.“Tidak boleh, kalian harus pulang bersama Paman Ed! Rumah sakit bukan tempat rekreasi, anak kecil dilarang ikut!” tegas El, kemudian mengalihkan tatapan kepada Livy.Pria itu melingkarkan tangan pada pinggul yang mulai berisi. Ia melabuhkan bibir di pelipis Livy dan membisikan kata-kata cinta.Selesai rapat dengan beberapa kolega bisnis, El memutuskan menghampiri Livy di toko roti. Kebetulan hari ini jadwal memeriksa kandungan yang sudah ia nanti sejak beberapa minggu lalu.“Tidak apa-apa Gal, kita pulang saja. Kita beli coklat saja, kamu mau tidak?” Al membujuk tanpa ekspresi. “Tidak mau Kak, lebih baik bujuk Daddy supaya mengajak kita!” Gal mendorong pelan bahu kakaknya.Tatapan El dan Al bersirobok, beberapa detik keduanya menyelami bola mata masing-masing. Hingga pergerakkan Livy membebaskan ayah dan anak itu.Livy berdiri tepat di depan Gal. “Begini Sayang, rumah sakit itu bukan tempat bebas melai
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak