Share

Bab 3: Tidak Terduga

[Bagaimana kakinya? Perlu ke dokter?]

Pesan itu masuk saat Livy tengah berjejal di antara penumpang bus. Rasa sakit pada kakinya membuat wanita itu tidak sanggup menjangkau kursi kosong di posisi belakang, hingga akhirnya ia memilih berdiri dengan menahan nyeri.

Livy tersenyum pilu membaca pesan dari kakak iparnya. Hatinya dirundung dilema, antara sedih dan miris. Senang karena masih ada orang yang memperhatikannya, tetapi miris … kenapa harus orang lain yang perhatian, bukan sang suami?

Segera, Livy membalas, “Aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih banyak.”

Setibanya di toko roti, Livy semakin sibuk karena kekurangan tenaga bantuan. Ia tidak lagi memikirkan rasa lapar dan dahaga yang menyerang. Melayani pelanggan sepenuh hati adalah tugasnya, selalu memberikan senyum merupakan kebiasaan rutin.

Toko roti ini adalah semangat Livy. Sayang, sang suami tidak pernah mendukung bisnisnya. Berbeda dengan kakak ipar, El yang sangat menyukai roti isi buatan Livy, kerap memuji dan mengatakan bahwa Livy akan sukses menjalani bisnisnya.

‘Hah, lagi-lagi aku mengingat kakak ipar.’

Segera, Livy mengalihkan pikirannya lagi. Ia kemudian teringat pada pesanan roti yang harus diantar ke rumah sakit. Gegas, ia mengisi boks dengan puluhan roti, Livy juga memesan taksi online untuk mengantar roti pesanan. Karena hari ini ia sendiri, maka ia kembali menutup toko rotinya.

Sampai di rumah sakit besar pusat kota, dengan langkah pelan dan tertatih Livy menuju kantin. Sudah sebulan ini ia menjadi supplier roti di kantin rumah sakit ini. Karena banyak pegawai dan pasien yang suka, kantin tersebut menjadi pelanggan tetap Livy yang terus memesan dengan jumlah besar hampir setiap hari.

Tiba-tiba, langkah Livy terhenti. Ia tanpa sengaja melihat pria yang dikenalinya berjalan dengan beberapa orang.

“Sergio?” gumamnya pelan. Lalu, ketika ia telah meyakini sosok itu adalah suaminya, Livy berjalan mendekat sembari membawa beberapa bungkus roti. “Sergio?  Sergio, tunggu!” panggil Livy berusaha bergerak cepat.

Sergio sempat menolehkan kepala, tetapi pria itu justru memberikan tatapan tidak suka kepada Livy. Dia pun kembali berjalan, dan berbincang dengan rekan kerjanya, guna mengabaikan sang istri.

Parahnya lagi Sergio bahkan menabrakkan diri ke tubuh sang istri, hingga roti dalam genggam wanita itu terjatuh dan terinjak.

Livy tersentak, dadanya seolah dihujam karena sikap suaminya ini. Seakan semua perlakuan itu tak cukup, Sergio kembali menambah lukanya dengan memberikan dua lembar uang kertas ke arah Livy.

“Lain waktu hati-hati, ini uang untukmu!”

Alih-alih menolong sang istri, pria itu justru memperlakukan Livy bagai seorang pengemis. Ia berlagak seolah tidak mengenal Livy.

“Ta—"

“Aku tidak punya waktu untukmu. Terima saja uang ini sebagai ganti rugi!” Sergio melotot dan mengintimidasi Livy, lalu melenggang pergi.

Sementara itu, dengan perasaan sedih luar biasa, juga malu karena dijadikan tontonan oleh orang yang berlalu lalang, Livy memunguti roti-roti buatannya yang telah hancur terinjak Sergio dan rekan kerjanya.

Ia begitu serius, hingga tak sadar seorang pria sudah berdiri di hadapannya dan memandang heran ke arahnya.

“Livy? Apa yang kamu lakukan?”

Seketika Livy berhenti memunguti roti, kepalanya mendongak dan menatap wajah tidak asing. “Kak El?” bibir Livy bergetar.

“Cepat berdiri!”

El meraih lengan adik ipar, memapah Livy duduk di sofa. Ia bahkan memperhatikan kaki Livy yang terbalut perban yang kembali mengeluarkan darah.

Kemudian, ia memerintah seorang anak buahnya yang sedari tadi berada di sekitar, untuk menghubungi dokter. Setelahnya, dengan cepat ia menggendong Livy dan membawanya ke salah satu ruang pemeriksaan.

“Kak? Turunkan aku, tidak baik seperti ini!”

“Diamlah, kakimu itu terluka. Bagaimana kalau infeksi?” Pria itu menyahut sembari membawa tubuh Livy dalam gendongannya. “Lagi pula, kenapa rotimu bisa berjatuhan ke lantai?”

Livy menunduk lesu, mulutnya bungkam, lalu menggeleng lemah sebagai jawaban.

Sesampainya di ruang pemeriksaan, El menurunkan dirinya dengan lembut. Pria itu bahkan membuka perban kaki Livy yang sudah kotor terkena darah dan lantai tadi.

Melihat tindakan yang dilakukan kakak ipar di tempat ramai seperti tadi, membuat Livy sedikit takut jika rumor buruk menghampiri El.

“Apa Kakak tidak takut dituduh selingkuh oleh orang-orang yang melihat kita? Nama baik Kakak bisa rusak karena aku.”

El menatap tajam ke arah Livy. “Dengar ya Livy, aku ini Kakakmu juga, sudah tugasku membantu anggota keluarga.” Pria itu berkata lugas, bahkan ada sorot marah di wajahnya karena mendengar Livy justru mempersoalkan hal kecil. “Kalau yang butuh pertolonganku adalah seorang nenek, apa mereka akan menuduhku mendua juga dengan wanita tua?”

Entah mengapa kata-kata kakak ipar menghibur Livy, setitik senyum terukir pada bibir ranum. Livy tidak menyangka seorang bos besar seperti El memiliki sisi humoris.

‘Kak Sonia beruntung mendapatkan suami seperti Kak El.’ Dalam hati, ia memuji kebaikan hati kakak iparnya. “Terima kasih Kak, aku berhutang lagi.” Livy berkata dengan lemah. “Semoga aku bisa membalasnya.”

Mendengar perkataan itu, El menatap dalam ke arah Livy dan berkata, “Kamu ingin membalasnya?” tanyanya yang diangguki oleh Livy. “Kalau begitu, balaslah dengan hal lain.”

“Hah? Ma-maksudnya?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ramadhaniyulia
sergio bikin naik darah...fiuhh, sabar ya livy, semoga dpt ganti suami yg lebih baik lg. emang resek si sergio itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status