Share

Bab 4: Kondisi Yang Tidak Diinginkan

“Apa yang kamu pikirkan?”

Melihat semburat merah muda di pipi Livy, El seolah tahu ke mana arah wanita itu berpikir.

“Aku … memangnya apa yang Kakak mau?”

El menangkap mimik ketegangan memenuhi wajah Livy. Biasanya ia tidak pernah berinteraksi dekat selain dengan keluarganya sendiri. Namun, entah sejak kapan … berinteraksi dan memperhatikan ekspresi Livy membuat pria itu tertarik.

Kedua mata coklat Livy mengerjap memandang iris biru safir milik El. Berada sedekat ini, ia baru menyadari bahwa kakak iparnya memiliki rupa yang begitu sempurna. Garis wajah tegas, tatapan tajam, hidung mancung … juga tubuh yang proporsional.

Saat Livy tengah mengagumi inchi demi inchi wajah El, pria itu tiba-tiba berujar dengan suara baritonnya, “Temani aku sore ini!”

Livy menelan ludahnya buru-buru. Salahkan matanya yang melihat bibir El yang agak tebal, yang kemudian membangkitkan ingatannya akan malam itu.

Sadar pikirannya mulai meliar, Livy pun berusaha menjawab meski dengan terbata-bata, “A-apa Kak?”

Seketika El terbahak karena wajah adiknya berubah merah. Pria itu tidak pernah bersikap jahil, bahkan dengan sang istri sekalipun, tetapi menjahili Livy terasa menyenangkan. Rasanya, El mulai kecanduan.

“Perutmu berisik, ayo kita makan sebelum pulang.”

**

Setelah satu minggu berlalu, kaki Livy jauh lebih baik. Kini ia sudah bisa berjalan normal, tidak perlu lagi pura-pura di depan semua orang, terutama di hadapan Tuan Fabregas –ayah angkatnya. Ya, ia bahkan harus berpura-pura baik dan sehat, karena jika ayahnya itu mengetahui ia sakit atau terluka … maka ialah yang disalahkan atas segala kecerobohan. Tanpa peduli alasan yang sebenarnya membuat Livy terluka itu apa.

Hari ini, Livy tersenyum begitu bahagia melihat tokonya terbilang ramai. Tidak ada stok roti tersisa seperti hari-hari sebelumnya, membuat ia semakin antusias untuk membesarkan usahanya ini.

“Bu, ada pesanan dalam jumlah besar. Mau diterima atau ….”

Livy menoleh, menerima uluran ponsel yang diberikan sang karyawan. Perlahan, ia membaca surel yang masuk, matanya terbelalak karena mendapat sebuah penawaran tak terduga.

“Torres Inc?” Livy bergumam, sedikit tidak percaya.

“Iya Bu, suratnya juga tertanda tangan Presdir Torres Inc.”

Dalam surel itu, toko roti Livy diminta secara langsung menyediakan menu sarapan bagi seluruh pegawai gedung utama Torres Inc.

Melihat nama presdir yang juga menyetujui kerja sama ini, sebuah senyum tiba-tiba terbit di bibir Livy. Donatello Xavier Torres, alias El, alias kakak iparnya.

Perasaan wanita itu kini bercampur. Senang karena mendapatkan pesanan untuk meningkatkan modal, tetapi juga takut di saat yang bersamaan. Ia takut roti-roti buatannya tidak bisa diterima oleh semua pegawai perusahaan tersohor nomor satu di Spanyol itu.

Namun, tidak ada alasan untuk ia menolak. Pesanan ini mungkin juga sebagai jawaban dari doanya untuk membesarkan toko rotinya. Livy tersenyum lalu menatap karyawannya dan berkata, “Terima saja. Setelah itu, kita harus cari karyawan paruh waktu.”

Setelah toko tutup, Livy bergegas pulang untuk menyiapkan makan malam. Bahkan, rasa bahagianya masih terbawa hingga ia memasak berbagai macam hidangan dengan senyuman.

Usai hidangan tersaji di meja, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan malam bersama. Namun, baru menginjakkan kaki di lantai dua, langkahnya mendadak berhenti.

Tidak sengaja mendengar pertengkaran dua manusia dari dalam kamar dengan pintu yang sedikit terbuka.

“Aku itu pria sehat, Sonia!” Pria itu berujar lantang.

“Iya aku tahu,El, tapi aku belum siap.” Sang istri, Sonia, tak mau kalah. Ia juga menaikkan suaranya beberapa oktaf. “Karirku sedang menanjak, aku ingin menikmati masa-masa ini. Lagipula, kita juga baru menikah. Tidak perlu terburu-buru.”

Diam-diam Livy mencuri dengar dari balik dinding. Ia berharap sang ayah tidak mengetahui percakapan anak kesayangannya itu bersama dengan sang suami. Kalau sampai Tuan Fabregas mendengar, jantung pria tua itu bisa berhenti bekerja seketika!

Rasa penasaran yang begitu tinggi membuat Livy mendekat dan mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka.

“Lalu, apa ini? Kamu meminumnya tanpa berdiskusi dulu padaku?!”

Terlihat, kakak iparnya menunjukkan benda kecil, mirip kemasan pil kontrasepsi. Livy tahu, karena ia pun sempat mengkonsumsi benda itu beberapa bulan lalu.

“Sudahlah El, kamu bisa memiliki anak tanpa harus aku yang melahirkan.”

“Apa kamu gila, Sonia?” Wajah pria itu mengeras. Amarahnya sudah memuncak. “Sudah bagus aku menikahimu. Sekarang dunia mengenalmu sebagai istriku, paham?!”

Sesama menikah karena perjodohan, sedikit banyak Livy mengerti persoalan menunda kehamilan ini. Namun, seharusnya Sonia tidak menunda karena El benar-benar memperlakukannya dengan baik. Tidak seperti Sergio yang memperlakukannya bagai barang pajangan saja.

“Iya, iya aku mengerti. Tapi kalau aku hamil sekarang, tubuhku akan gemuk! Aku nggak suka tubuhku gemuk!” Lagi, terdengar jawaban lugas dari Sonia. “Lagi pula keluargamu sudah memiliki banyak cucu dari adik-adikmu, untuk apa kita memberikan cucu lagi?”

Refleks, Livy menggeleng mendengar alasan penundaan kehamilan yang diucapkan kakaknya. Jika Livy yang berada di posisi Sonia, ia jelas tidak akan menunda. Bahkan, bersama Sergio saat ini saja ia tidak lagi menunda memiliki anak. Hanya saja, malang … ia tidak disentuh-sentuh oleh sang suami.

“Kamu pikir aku pria bodoh?” El bertolak pinggang, kemudian menunjuk kening Sonia dengan jari telunjuknya. “Jangan kira tidak mengetahui kehidupan di dunia hiburan, Sonia.” Pria itu menurunkan jari, tetapi masih menatap tajam ke arah sang istri. “Lahirkan saja anak untukku, setelah itu kamu bebas menjalani hidupmu!”

Setelahnya, El memutar tubuh menuju pintu.

Livy yang begitu fokus mencerna pertikaian itu tiba-tiba terkejut. Terlebih, ketika ia terlambat menjauh dari tempat ia menguping.

“P-permisi, Kak.” Livy berujar gugup. Kakak iparnya telah berdiri tepat di sampingnya, memergoki ia menguping pertengkaran mereka.

Tidak ada jawaban dari El, tetapi, Sonia yang terus mengikuti El sejak dari kamar langsung berteriak kepada Livy, “Heh? Kamu menguping ya?”

“Tidak Kak! Aku—"

Sonia lepas kendali. Wanita itu lalu menyambar vas bunga dari atas meja dan melemparkannya ke arah Livy.

Beruntung, El dengan cepat menarik Livy untuk menghindari hantaman benda itu. Suara pecahan vas terdengar karena menghantam dinding

“Kamu tidak apa-apa?”

“Iya Kak, aku baik-baik saja.”

Keduanya tidak menyadari posisi mereka sudah seperti sepasang kekasih yang berpelukan.

Berbeda dengan Sonia yang langsung mencibir saat melihat Livy tidak berkutik di dalam dekapan suaminya. “Jauhkan tubuh lusuhmu itu dari suamiku, dasar perempuan tidak tahu diri!”

Setelah gagal mengenai vas bunga ke kepala sang adik, Sonia kembali melancarkan aksinya. Ia bersiap melayangkan pukulan. Livy telah memejamkan mata, dan melindungi kepala dengan kedua tangan. Akan tetapi refleks El patut diacungi jempol, karena berhasil menghentikan tangan Sonia.

“Jangan lampiaskan kemarahanmu pada orang yang tidak bersalah, Sonia!” El menegur sang istri dengan tatapan tajamnya. Setelah itu, ia menatap ke arah Livy yang terlihat terintimidasi oleh perbuatan sang istri. “Livy maafkan istriku. Sekarang, masuklah ke kamar dan tolong rahasiakan ini dari ayah mertua.”

Wanita bertubuh mungil mengangguk cepat, sungguh menegangkan berada di waktu dan tempat yang salah. Livy berlari kecil memasuki kamar, menutup pintu dengan cepat dan menguncinya.

Di saat Livy tengah mengatur napasnya yang masih memburu … telinganya tiba-tiba mendengar percakapan Sergio yang sedang berada di kamar mandi.

Penasaran, wanita itu pelan-pelan melangkah ke kamar mandi untuk mengetahui lebih lanjut dengan siapa suaminya berkomunikasi.

“Hem, tentu aku menyayangimu, Sayang.”

Kejadian minggu lalu saja masih membekas, Sergio pura-pura tidak mengenalinya. Wanita itu menuntut jawaban, nahas, alasan utama pria itu karena malu Livy hanyalah pemilik toko roti kecil.

Lagi, hati Livy kembali terluka mendengar sapaan manis diucapkan suaminya entah kepada siapa. Selama enam bulan ini, bukan hanya tidak menyentuhnya, Sergio bahkan tidak pernah lagi memanggilnya dengan kata-kata lembut seperti yang barusan pria itu ucap.

“Siapa yang kamu telepon?” tegur Livy dengan suara bergetar.

Sergio membalik badan dan dengan cepat mematikan ponselnya. Pria itu bahkan enggan menjawab dan memilih berlalu menyalakan shower, mengabaikan pertanyaan Livy yang begitu penasaran pada seseorang di balik ponsel.

“Sergio, jawab aku, siapa yang kamu hubungi?!”

Sayang, sang suami kukuh memilih menikmati guyuran air ketimbang menenangkan perasaan gundah sang istri.

Pria itu bahkan dengan santai mengulurkan tangannya usai membersihkan tubuh dan berkata, “Mana handukku?” Tidak ada raut bersalah di wajahnya.

Tidak terbawa Sergio yang memilih melupakan pertanyaannya, Livy kembali bertanya dengan raut garang, “Apa dia seorang wanita?”

“Kamu cemburu dengan ibu dan adikku?” Tidak terduga, jawaban itulah yang keluar dari bibir Sergio.

Livy tidak bodoh, ia jelas tidak lantas mempercayai alasan sang suami. Namun, belum sempat menyahuti, suaminya kembali mengucapkan kata-kata tajam sebelum berlalu meninggalkannya sendiri.

“Daripada berpikiran negatif padaku, sebaiknya kamu mandi! Badanmu itu bau!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status