Kenapa?"
Pertanyaan Alvarendra menyadarkan Aretha dari keterkejutannya, dia kembali tersenyum ke arahnya. "Nggak apa-apa, kalau begitu aku ganti pakaian dulu." Pamit Aretha berjalan menuju ke kamarnya. Tidak butuh waktu lama Aretha sudah selesai mengganti pakaiannya, dia kembali menghampiri Alvarendra. Dengan memakai dress selutut berwarna krem semakin terpancar aura kecantikannya membuat Alvarendra terpana melihatnya. "Mas, ayo pergi sekarang!" "Sayang, kamu sangat cantik malam ini." Puji Alvarendra tanpa mengalihkan pandangannya dari Aretha. Aretha tersenyum tipis mendengarnya. Alvarendra segera mengulurkan salah satu tangannya meraih pinggang Aretha agar merapat dengannya. Sedangkan tangan yang lainnya meraih dagu Aretha agar menatap ke arahnya. "Sepertinya mas tidak bisa menahan diri." Alvarendra menatap penuh damba ke arah Aretha, perlahan mendekatkan wajahnya dengan wajahnya. Hingga akhirnya wajahnya berada tepat di depan wajah Aretha hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Pandangannya tertuju pada bibir ranum Aretha, dengan gerakan cepat Alvarendra menyatukan bibirnya dengan bibir Aretha. Aretha tampak terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Alvarendra, namun lama-kelamaan dia berusaha mengimbangi permainan suaminya. Memejamkan matanya sambil mengalungkan kedua tangannya ke leher Alvarendra. "Mas, katakan kamu tidak akan pergi ke rumah ibu!" Batin Aretha penuh harap. "Sepertinya kita tidak perlu ke rumah ibu." Ujar Alvarendra setelah melepaskan tautan bibirnya. "Bagaimana dengan ibu, aku takut beliau berpikir bahwa aku menahan_mu agar tidak ke rumahnya?" Tanpa menjawab pertanyaan Aretha, Alvarendra kembali melanjutkan aktivitasnya. Dalam hati Aretha tersenyum kegirangan karena sepertinya mereka tidak jadi pergi ke rumah ibu. Namun di luar dugaan Aretha suara dering hp menarik perhatian mereka. "Mas, hp_mu bunyi sepertinya ada yang nelpon." Alvarendra langsung menghentikan aktivitasnya, dengan cepat meraih hp_nya. Ternyata ada panggilan masuk dari ibunya. Ibu: Alvarendra, kapan kamu ke sini ibu dan ayah sudah menunggumu? Alvarendra: Tiga puluh menit lagi aku sampai di rumah ibu. Ibu: Ok, ibu tunggu kamu dan Aretha ke sini. Aretha mengerucutkan bibirnya mendengar percakapan Alvarendra dengan ibunya di telepon. "Maaf, mas membuatmu kecewa. Kita lanjutkan setelah pulang dari rumah ibu." "Apa mas yakin setelah makan malam masih mempunyai energi untuk melanjutkannya lagi?" Alvarendra tersenyum tipis mendengar pertanyaan Aretha. "Apa kamu meragukan suamimu?" "Mana mungkin." Aretha menggelengkan kepalanya pelan. "Ayo kita pergi sekarang!" Alvarendra meraih tangan Aretha lalu menggenggamnya, mengajaknya keluar dari rumah lalu masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil Aretha lebih banyak diam pikirannya menerawang jauh pada saat perpisahannya dengan Evan (mantan kekasih Aretha) tiga tahun yang lalu. Saat itu mereka berada di pinggir danau. "Aku akan melanjutkan kuliah ke luar negeri." "Akhirnya kakak membuat keputusan." Aretha menunduk tidak sanggup menyembunyikan kesedihannya karena akan berpisah dengan kekasihnya, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya. "Berhati-hatilah selama berada di luar negeri!" Aretha berkata di sela-sela isak tangisnya. "Aretha!" Evan mengulurkan tangannya menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipi Aretha. "Maaf, seharusnya aku bahagia kakak akan kuliah di luar negeri tapi ...." Aretha tidak sanggup melanjutkan ucapannya, air matanya mengucur deras membasahi kedua pipinya. Evan yang melihatnya segera memeluk Aretha. "Aretha, hanya tiga tahun. Kakak janji setelah selesai kuliah akan langsung kembali!" Mereka cukup lama berpelukan, pelukan terakhir sebelum Evan pergi ke luar negeri. Aretha melepaskan diri dari pelukan Evan lalu menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipinya. "Pergilah! Ini adalah yang terbaik untuk Kakak." "Aretha, tunggu kakak kembali! Kakak janji setelah selesai kuliah akan menikahi_mu, kita akan hidup bahagia bersama." "Iya." Aretha tersenyum ke arah Evan yang dibalas dengan senyuman pula olehnya. Nyatanya harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Aretha terpaksa menerima ajakan Alvarendra untuk menikah dengannya karena waktu itu sangat membutuhkan uang. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Alvarendra merasa heran melihat Aretha seperti sedang memikirkan sesuatu. Pertanyaan Alvarendra membuyarkan lamunan Aretha. Dia segera menoleh ke arahnya sambil berusaha tersenyum. "Jika aku bilang sedang memikirkan mas, apa mas akan percaya?" "Nggak." Mobil yang mereka naiki berhenti setelah sampai di depan rumah orang tuanya Alvarendra. Mereka segera turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah, berjalan menuju ruang makan ternyata kedua orang tua Alvarendra telah menunggunya di sana. "Selamat malam Ayah Ibu." Sapa Alvarendra dan Aretha kepada kedua orang tua Alvarendra. "Malam juga, akhirnya kalian datang. Silahkan duduk!" Alvarendra menjatuhkan bobot tub_uhnya di atas kursi begitu juga dengan Aretha. "Kalian sudah menikah selama dua tahun, kapan rencananya akan memberikan ibu cucu?" Setiap kali datang ke rumah ayah dan ibu, bu Salma (ibunya Alvarendra) selalu membahas tentang cucu. Hal itu pula yang membuat Aretha enggan untuk ke rumah mertuanya itu. "Ibu tenang saja kita akan berusaha lebih keras lagi agar bisa memberikan cucu untuk ibu. Iya 'kan Sayang?" Alvarendra menoleh ke arah Aretha meminta dukungan darinya "Iya." Jawab Aretha dengan senyum yang dipaksakan. "Selalu itu yang kalian ucapkan setiap kali ibu membahas tentang cucu. Atau jangan-jangan istrimu mandul?" DEG Aretha, Alvarendra serta Pak Arman (Ayahnya Alvarendra) tampak terkejut mendengar ucapan Bu Salma. Aretha merasa hatinya terasa nyeri seolah tercabik-cabik. Dia menunduk berusaha menahan buliran-buliran yang mengembun di pelupuk matanya agar tidak jatuh membasahi kedua pipinya. Alvarendra yang melihatnya segera meraih tangan Aretha lalu menggenggamnya. "Bu, Aretha nggak mandul. Belum hamil bukan berarti mandul." Alvarendra menyangkal tuduhan ibunya yang mengatakan bahwa Aretha mandul. "Kalau nggak mandul, kenapa belum juga hamil padahal kalian sudah menikah selama dua tahun?" "Sudah Bu, kita di sini untuk makan bukan berdebat." Pak Arman (Ayahnya Alvarendra) mengingatkan istrinya. Mereka akhirnya mulai menyantap makanannya, tidak ada pembicaraan di antara mereka. "Sayang, kamu kenapa?" Tanya Alvarendra khawatir melihat Aretha mual-mual. Aretha yang ditanya hanya diam, ada beberapa kata yang ingin diucapkan olehnya namun lidahnya terasa kelu. Tentu saja apa yang terjadi pada Aretha tidak luput dari pandangan Bu Salma. "Aretha, kamu hamil?""Aretha, ada yang ingin aku bicarakan berdua denganmu." "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, hubungan kita sudah berakhir. Silahkan pergi dari sini!" Usir Aretha, dia tidak ingin bertemu dengan Alvarendra saat ini. Apalagi sampai dicap sebagai orang tiga karena menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri. "Semuanya hanya salah paham, karena itu aku ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita lima tahun yang lalu." Alvarendra akhirnya membuka mulutnya berusaha menjelaskan kesalahan pahaman yang terjadi lima tahun yang lalu. "Salah paham?" Aretha menatap ke arah Alvarendra meminta penjelasan darinya. Alvarendra menganggukkan kepala sebagai jawabannya. "Sebenarnya kesalahan pahaman seperti apa yang dimaksud oleh Mas Alvarendra?" Batin Aretha merasa penasaran. "Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya." Alvarendra menatap penuh harap ke arah Aretha. Aretha tampak terdiam berusaha mempertimbangkan permintaan Alvarendra. "Baiklah." Ujar Aretha lirih set
Lima tahun berlalu kini Aretha tidak lagi sendirian ada seorang anak laki-laki yang bersama dengannya. Yaitu anak laki-laki yang lahir dari rahimnya, anak dirinya dengan Alvarendra yang diberi nama Rafa.Selama lima tahun terakhir ini Aretha memfokuskan diri mengurus putranya serta butik miliknya, sama sekali belum terbesit keinginan untuk menikah lagi.Siang itu Aretha menjemput Rafa di sekolahnya seperti biasa."Bu, Rafa mau balon." Rafa merengek sambil menunjuk ke arah beberapa balon dengan beragam bentuk dan warna.Aretha menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Rafa, ada penjual balon di seberang jalan."Tunggu sebentar!" Aretha menoleh ke kanan serta ke kiri sebelum menyeberang jalan. Rafa yang sudah tidak sabar ingin membeli balon berlari begitu tanpa menunggu ibunya."Rafa!" Teriak Aretha terkejut sekaligus panik melihat sebuah mobil hampir menabrak Rafa. Beruntung pengemudi mobil segera mengerem mobil dengan cepat sehingga Rafa bisa selamat.Aretha langsung berlari ke arah Rafa lal
Alvarendra berjalan dengan cepat keluar dari restoran lalu masuk ke dalam mobilnya. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar bisa secepatnya sampai di apartemen untuk menanyakan alasan Aretha menjual kalung berlian "the hope diamond"."Kalau Aretha butuh uang seharusnya bilang langsung kepadaku, bukan malah menjual kalung berlian "the hope diamond" miliknya." Sepanjang perjalanan Alvarendra terus menggerutu kesal.Setelah sampai di apartemennya Alvarendra langsung membuka pintunya sambil memanggil nama Aretha dengan keras."Aretha, Aretha, Aretha ....!"Alvarendra berjalan masuk ke dalam apartemennya, namun apartemennya terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Kenapa sepi, apakah Aretha belum pulang?" Batin Alvarendra sambil mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Aretha di beberapa ruangan, namun sama sekali tidak menemukan keberadaan Aretha di dalamnya.Dia akhirnya berjalan menuju ke kamarnya lalu masuk ke dalamnya. Pandangannya tanpa sengaja melihat
"Mungkin seperti ini jauh lebih baik, Aku menikah dengan Alvarendra demi uang agar tetap bisa melanjutkan kuliah serta membiayai pengobatan ibu. Sekarang aku sudah lulus kuliah dan ibu juga sudah meninggal dunia. Saatnya aku belajar mandiri agar tidak bergantung terus dengan Alvarendra." Kata Aretha berusaha tetap berpikir positif dengan apa yang terjadi."Lebih baik kita fokus jalani kehidupan kita sendiri, tidak perlu peduli dengan Alvarendra." Sahut Tasya."Sya, aku hamil." Aretha akhirnya memberi tahu tentang kehamilannya kepada Tasya.Tasya terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Aretha. "Apa hamil, kamu serius?" Tanyanya memastikan."Iya, tapi aku sangat bersyukur karena aku tidak sendirian ada bayi di dalam perut ini yang akan menemaniku." Jawan Aretha tersenyum sambil mengusap perutnya yang masih rata."Aretha, menjadi single parent bukankah hal yang mudah." Ujar Tasya mengingatkan."Dua tahun ini hidupku juga tidak mudah tapi aku berhasil melaluinya. Aku yakin ibu memilih
"Aretha!" Panggil Evan membuat Aretha mengangkat pandangannya menatap ke arahnya."Iya Kak?""Kenapa nggak dimakan soto ayamnya?" Tanya Evan melihat soto ayam di mangkuk Aretha masih banyak."Ini dimakan, Kak." Jawab Aretha kembali memakan soto ayamnya."Sepertinya Aretha sudah jatuh cinta dengan Alvarendra?" Batin Evan menyadari perubahan ekspresi di wajah Aretha setelah melihat berita akuisisi HR Group.Setelah selesai makan Evan mengantarkan Aretha ke apartemen Grand Luminor."Terima kasih Kak." Aretha tersenyum ke arah Evan setelah turun dari mobil."Sama-sama."Evan menatap ke arah Aretha yang berjalan masuk ke dalam apartemen Grand Luminor."Meskipun kita tidak ditakdirkan untuk kembali bersama, aku berharap kamu bisa hidup bahagia." Gumam Evan lirih.Aretha membuka pintu apartemennya terlihat gelap dan sepi menandakan Alvarendra belum pulang."Sepertinya Mas Alvarendra belum pulang?" Batin Aretha berjalan masuk ke dalam apartemen lalu menyalakan lampunya.Dia masuk ke dalam kam
Evan yang melihatnya segera menahan tub uh Aretha sehingga tidak jatuh ke lantai, mengangkatnya ke dalam gendongannya. Dia membawa Aretha menuju ruang rawat."Aretha baru berusia 21 tahun tapi sudah harus kehilangan ayahnya, dan sekarang juga kehilangan ibunya." Batin dokter Wilson menatap iba ke arah Aretha yang sedang digendong oleh Evan.Terdengar bisik-bisik beberapa dokter dan perawat yang melihat Evan menggendong Aretha."Beruntung Aretha mempunyai suami yang tidak hanya tampan, tapi juga begitu perhatian.""Aku juga mau punya suami yang tampan serta perhatian."Evan seolah menulikan pendengarannya, dia tetap menggendong Aretha tidak peduli dengan beberapa orang yang sedang membicarakannya.Evan merebahkan Aretha di atas ranjang rumah sakit. Dia menatap iba wajah pucat Aretha yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wanita yang pernah menjadi kekasihnya memberi warna dalam kehidupannya kini terlihat begitu rapuh. Ada perasaan bersalah karena pernah menuduh Aretha yang t