"Ayah Ibu, aku pamit mau mengantarkan Aretha ke rumah sakit." Pamit Alvarendra menoleh ke arah ayah dan ibunya secara bergantian.
"Iya cepat periksa menantu ibu! Mungkin di dalam rahimnya sudah ada janin yang tumbuh." Bu Salma tersenyum bahagia, dia sangat yakin Aretha mual-mual karena sedang hamil. Aretha menghela nafas lega setelah berhasil keluar dari rumah mertuanya. Dia dan Alvarendra segera masuk ke dalam mobil. "Mas tahu kamu cuma berpura-pura." Alvarendra menoleh ke arah Aretha setelah mereka duduk di dalam mobil. "Aku hanya ingin membantu Mas, seharusnya Mas mengucapkan terima kasih kepadaku." "Mengucapkan terima kasih, apakah tidak terbalik?" "Maksud Mas?" Aretha menatap ke arah Alvarendra meminta penjelasan darinya. "Mas membantumu pulang lebih awal, bukankah seharusnya kamu yang mengucapkan terima kasih? Ditambah yang sebelumnya sepertinya malam ini kamu harus membayarnya?" Alvarendra tersenyum misterius ke arah Aretha. Aretha yang mendengarnya mencebikkan bibirnya kesal. "Mas benar-benar licik." "Terima kasih atas pujiannya, mas merasa tersanjung." Alvarendra mengulurkan tangannya mengusap rambut Aretha dengan lembut, lalu mengecup singkat kedua pipinya. Mobil yang mereka naiki berhenti setelah sampai di depan rumah Alvarendra. Alvarendra turun lebih dulu lalu membuka pintu sebelah kiri mempersilahkan Aretha untuk turun lalu mengangkatnya ke dalam gendongannya. Aretha tersentak kaget menyadari dirinya telah berada di gendongan Alvarendra. "Mas, turunkan aku!" Teriak Aretha meminta Alvarendra untuk menurunkan dirinya. "Bukankah kamu tadi mual-mual, mas tidak ingin kamu jatuh pingsan ketika masuk ke dalam rumah." Aretha memutar bola matanya malas mendengar ucapan Alvarendra. "Mas 'kan sudah tahu, kalau aku cuma pura-pura?" "Mas nggak ingin kamu kelelahan, karena setelah ini kamu harus melayani Mas." Aretha tampak terkejut mendengar ucapan Alvarendra. " Mas, aku lelah. Bagaimana kalau kita melakukannya lain kali?" "Itu sudah kewajibanmu sebagai seorang istri untuk melayani suaminya." Alvarendra berkata dengan tegas, berjalan menuju ke kamarnya sambil menggendong Aretha. Ucapan Alvarendra membuat Aretha membungkam mulutnya rapat-rapat. Setelah sampai di kamar Alvarendra merebahkan Aretha di atas ranjang, lalu menyentuhnya. Aretha membiarkan Alvarendra menyentuhnya, bukankah kewajiban seorang istri salah satunya adalah melayani suaminya. Tidak peduli dengan status pernikahannya, Alvarendra tetaplah suaminya. *** "Pagi semua!" Sapa Aretha kepada kedua temannya ketika baru saja sampai di kampus. "Pagi juga." Shela dan Risa menoleh ke arah Aretha. "Apa yang sedang kalian bicarakan kelihatannya serius banget?" Karena merasa penasaran Aretha ikut bergabung dengan kedua temannya. "Lihat berita tentang Alvarendra dan Alisa, semakin hari mereka semakin lengket." Shela memperlihatkan berita Alvarendra dan Alisa di layar hp-nya ke arah Aretha. Aretha hanya meliriknya sekilas. "Oh, masih sama dengan berita kemarin." Monolog Aretha dalam hati. "Dengar-dengar Alvarendra baru saja membeli salah satu unit apartemen di Grand Luminor untuk Alisa." Risa menambahkan. Aretha hanya diam sama sekali tidak tertarik untuk membahas gosip tentang Alvarendra dan Alisa. Dia mendaratkan bokongnya di atas kursi depan Shela duduk. "Aretha, kamu sama sekali tidak penasaran dengan hubungan Alvarendra dengan Alisa?" Shela merasa heran melihat Aretha hanya diam sama sekali tidak tertarik untuk ikut bergosip dengannya. "Untuk apa penasaran? Yang ada malah bosan melihat gosip mereka setiap hari." Ujar Aretha malas. "Meskipun mereka sudah digosipkan setiap hari aku masih tetap merasa penasaran, apalagi dengan istrinya Alvarendra. Bagaimana dengan perasaannya, apakah dia akan cemburu melihat suaminya digosipkan dengan wanita lain?" "Kalau menurutku dia biasa saja." Shela dan Risa tampak terkejut mendengar ucapan Aretha. Mereka tidak tahu kalau Aretha merupakan istrinya Alvarendra. "Biasa saja, jadi maksudmu selama ini Alvarendra dan istrinya tidak saling mencintai?" "Kalau mereka saling mencintai, mana mungkin istrinya Alvarendra akan diam saja melihat suaminya digosipkan dengan wanita lain." Shela dan Risa manggut-manggut membenarkan ucapan Aretha. "Benar juga apa katamu, tapi menurutku mau cinta atau tidak melihat suaminya dekat dengan wanita lain pasti sakit hati." Entah kenapa tiba-tiba drama ikan terbang terlintas di otaknya, teringat drama istri yang tersakiti tanpa sadar Risa ikut menitikkan air matanya apalagi kalau sampai mengalaminya, dia tidak sanggup membayangkannya. "Bagaimana jika kalian mengetahui, kalau orang yang sedang kalian bicarakan adalah aku. Apa kalian akan merasa simpati kepadaku atau justru sebaliknya?" Monolog Aretha dalam hati. "Atau sebenarnya Alvarendra dan istrinya sudah bercerai? Karena sampai detik ini istrinya Alvarendra tidak pernah muncul ke publik." Berbagai argumentasi tentang istrinya Alvarendra terlintas begitu saja di otak Risa dan Shela. "Istrinya Alvarendra benar-benar misterius, walaupun sudah menikah hampir dua tahun tapi tidak pernah muncul ke publik." "Bahkan ada beberapa orang yang berusaha mencari tahu identitasnya namun tidak pernah berhasil. Semakin lama justru semakin misterius." "Atau mungkin selama ini istrinya Alvarendra mengindap penyakit parah? Sehingga diasingkan ke tempat yang jauh agar penyakitnya tidak menular." Ujar Risa menebak. "Jika memang seperti itu kenyataannya, sungguh malang istrinya Alvarendra. Tidak hanya diselingkuhin tapi juga diasingkan. Aku sebagai sesama wanita sama sekali tidak sanggup membayangkannya." "Aretha, kalau misalnya kamu yang menjadi istrinya Alvarendra apa yang akan lakukan?" Shela dan Risa menatap ke arah Aretha menunggu jawaban darinya. Sedangkan Aretha tampak terkejut mendapat pertanyaan seperti itu. "Maksudnya?" "Kamu melihat suamimu dekat dengan wanita lain bahkan gosipnya selalu bertebaran di sosial media. Apa yang akan kamu lakukan?" Terang Risa menjelaskan. "Sudahlah jangan membahas tentang Alvarendra terus menerus aku sampai muak mendengarnya!" Aretha berujar dengan malas, telinganya sudah terasa panas mendengar pembicaraan kedua sahabatnya itu. Mana ada seorang istri yang tidak sakit hati melihat suaminya dekat serta digosipkan dengan wanita lain, tapi Aretha sadar pernikahan dirinya dan Alvarendra hanyalah demi keuntungan. Sehingga dirinya sama sekali tidak punya hak untuk ikut campur urusan pribadinya. "Eh maaf, jika pertanyaan kami membuatmu tersinggung." Shela dan Risa merasa bersalah sudah bertanya seperti itu kepada Aretha. Setelah itu Shela dan Risa tidak lagi membahas tentang Alvarendra dan Alisa. *** Alvarendra mengajak Alan (teman Alvarendra yang merupakan seorang dokter) makan bersama di salah satu restoran yang cukup terkenal. Mereka duduk berhadapan hanya terhalang sebuah meja yang berada di depan mereka. "Nggak nyangka sudah hampir dua tahun kamu menikah dengan Aretha." Alan memulai pembicaraan di antara mereka. "Iya ternyata aku menikah dengan Aretha sudah hampir dua tahun, sedangkan kamu masih jomblo. Kapan kamu rencananya akan menikah?" "Tenang saja cepat atau lambat aku pasti akan menikah jadi kamu tidak perlu merasa khawatir." "Siapa juga yang mengkhawatirkan_mu?" Ujar Alvarendra ketus. "Alvarendra, kamu menikah dengan Aretha sudah hampir dua tahun. Apa kamu ada rencana mempublikasikan hubungan pernikahan kalian?""Aretha, ada yang ingin aku bicarakan berdua denganmu." "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, hubungan kita sudah berakhir. Silahkan pergi dari sini!" Usir Aretha, dia tidak ingin bertemu dengan Alvarendra saat ini. Apalagi sampai dicap sebagai orang tiga karena menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri. "Semuanya hanya salah paham, karena itu aku ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita lima tahun yang lalu." Alvarendra akhirnya membuka mulutnya berusaha menjelaskan kesalahan pahaman yang terjadi lima tahun yang lalu. "Salah paham?" Aretha menatap ke arah Alvarendra meminta penjelasan darinya. Alvarendra menganggukkan kepala sebagai jawabannya. "Sebenarnya kesalahan pahaman seperti apa yang dimaksud oleh Mas Alvarendra?" Batin Aretha merasa penasaran. "Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya." Alvarendra menatap penuh harap ke arah Aretha. Aretha tampak terdiam berusaha mempertimbangkan permintaan Alvarendra. "Baiklah." Ujar Aretha lirih set
Lima tahun berlalu kini Aretha tidak lagi sendirian ada seorang anak laki-laki yang bersama dengannya. Yaitu anak laki-laki yang lahir dari rahimnya, anak dirinya dengan Alvarendra yang diberi nama Rafa.Selama lima tahun terakhir ini Aretha memfokuskan diri mengurus putranya serta butik miliknya, sama sekali belum terbesit keinginan untuk menikah lagi.Siang itu Aretha menjemput Rafa di sekolahnya seperti biasa."Bu, Rafa mau balon." Rafa merengek sambil menunjuk ke arah beberapa balon dengan beragam bentuk dan warna.Aretha menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Rafa, ada penjual balon di seberang jalan."Tunggu sebentar!" Aretha menoleh ke kanan serta ke kiri sebelum menyeberang jalan. Rafa yang sudah tidak sabar ingin membeli balon berlari begitu tanpa menunggu ibunya."Rafa!" Teriak Aretha terkejut sekaligus panik melihat sebuah mobil hampir menabrak Rafa. Beruntung pengemudi mobil segera mengerem mobil dengan cepat sehingga Rafa bisa selamat.Aretha langsung berlari ke arah Rafa lal
Alvarendra berjalan dengan cepat keluar dari restoran lalu masuk ke dalam mobilnya. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar bisa secepatnya sampai di apartemen untuk menanyakan alasan Aretha menjual kalung berlian "the hope diamond"."Kalau Aretha butuh uang seharusnya bilang langsung kepadaku, bukan malah menjual kalung berlian "the hope diamond" miliknya." Sepanjang perjalanan Alvarendra terus menggerutu kesal.Setelah sampai di apartemennya Alvarendra langsung membuka pintunya sambil memanggil nama Aretha dengan keras."Aretha, Aretha, Aretha ....!"Alvarendra berjalan masuk ke dalam apartemennya, namun apartemennya terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Kenapa sepi, apakah Aretha belum pulang?" Batin Alvarendra sambil mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Aretha di beberapa ruangan, namun sama sekali tidak menemukan keberadaan Aretha di dalamnya.Dia akhirnya berjalan menuju ke kamarnya lalu masuk ke dalamnya. Pandangannya tanpa sengaja melihat
"Mungkin seperti ini jauh lebih baik, Aku menikah dengan Alvarendra demi uang agar tetap bisa melanjutkan kuliah serta membiayai pengobatan ibu. Sekarang aku sudah lulus kuliah dan ibu juga sudah meninggal dunia. Saatnya aku belajar mandiri agar tidak bergantung terus dengan Alvarendra." Kata Aretha berusaha tetap berpikir positif dengan apa yang terjadi."Lebih baik kita fokus jalani kehidupan kita sendiri, tidak perlu peduli dengan Alvarendra." Sahut Tasya."Sya, aku hamil." Aretha akhirnya memberi tahu tentang kehamilannya kepada Tasya.Tasya terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Aretha. "Apa hamil, kamu serius?" Tanyanya memastikan."Iya, tapi aku sangat bersyukur karena aku tidak sendirian ada bayi di dalam perut ini yang akan menemaniku." Jawan Aretha tersenyum sambil mengusap perutnya yang masih rata."Aretha, menjadi single parent bukankah hal yang mudah." Ujar Tasya mengingatkan."Dua tahun ini hidupku juga tidak mudah tapi aku berhasil melaluinya. Aku yakin ibu memilih
"Aretha!" Panggil Evan membuat Aretha mengangkat pandangannya menatap ke arahnya."Iya Kak?""Kenapa nggak dimakan soto ayamnya?" Tanya Evan melihat soto ayam di mangkuk Aretha masih banyak."Ini dimakan, Kak." Jawab Aretha kembali memakan soto ayamnya."Sepertinya Aretha sudah jatuh cinta dengan Alvarendra?" Batin Evan menyadari perubahan ekspresi di wajah Aretha setelah melihat berita akuisisi HR Group.Setelah selesai makan Evan mengantarkan Aretha ke apartemen Grand Luminor."Terima kasih Kak." Aretha tersenyum ke arah Evan setelah turun dari mobil."Sama-sama."Evan menatap ke arah Aretha yang berjalan masuk ke dalam apartemen Grand Luminor."Meskipun kita tidak ditakdirkan untuk kembali bersama, aku berharap kamu bisa hidup bahagia." Gumam Evan lirih.Aretha membuka pintu apartemennya terlihat gelap dan sepi menandakan Alvarendra belum pulang."Sepertinya Mas Alvarendra belum pulang?" Batin Aretha berjalan masuk ke dalam apartemen lalu menyalakan lampunya.Dia masuk ke dalam kam
Evan yang melihatnya segera menahan tub uh Aretha sehingga tidak jatuh ke lantai, mengangkatnya ke dalam gendongannya. Dia membawa Aretha menuju ruang rawat."Aretha baru berusia 21 tahun tapi sudah harus kehilangan ayahnya, dan sekarang juga kehilangan ibunya." Batin dokter Wilson menatap iba ke arah Aretha yang sedang digendong oleh Evan.Terdengar bisik-bisik beberapa dokter dan perawat yang melihat Evan menggendong Aretha."Beruntung Aretha mempunyai suami yang tidak hanya tampan, tapi juga begitu perhatian.""Aku juga mau punya suami yang tampan serta perhatian."Evan seolah menulikan pendengarannya, dia tetap menggendong Aretha tidak peduli dengan beberapa orang yang sedang membicarakannya.Evan merebahkan Aretha di atas ranjang rumah sakit. Dia menatap iba wajah pucat Aretha yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wanita yang pernah menjadi kekasihnya memberi warna dalam kehidupannya kini terlihat begitu rapuh. Ada perasaan bersalah karena pernah menuduh Aretha yang t