Ayoook Om Dokter buktikan kesungguhanmu! iya Gak Teman Teman?
Laras menahan napas seketika. Jantungnya serasa merosot ke lambung. Ia bingung menjawab pertanyaan itu. Bukan tak pernah terpikir sebelumnya, ia sudah menyiapkan jawaban. Hanya saja, pada praktiknya, terasa sangat sulit.“Umm … itu … ituu—”“Ya ampun, Ras! Ih, kamu pulang nggak bilang-bilang. Padahal Bibi bisa masak enak buat kamu sama Den Rama. Mana atuh suami sultan kamu itu?” celetuk bibinya dari arah dapur, dengan wajah berkeringat dan daster penuh cipratan minyak.Laras tersenyum kecil sambil memelintir ujung cardigan krem-nya. Ia juga melirik sang paman yang masih menunggu jawaban.“Eh, itu siapa laki-laki ganteng? Sopir Den Rama, ya?” gumam bibinya, membuat Laras membelalak dan menoleh. Wajah Dirga tampak kecut dan kusut. Sudah pasti pria itu mendengar celotehan sang bibi.“Siapa dia, Ras? Kenapa juga kamu nggak pulang sama Den Rama?” tegur sang paman, lagi Dirga yang baru saja selesai menurunkan barang-barang dari mobil bergegas mendekat. Ia langsung mengulurkan tangan.“Sela
Melihat kecemasan di wajah Laras, Dirga memeluk erat tubuh mungil wanitanya yang agak kurus setelah keguguran. Ia mengecup berkali-kali pucuk kepala rambut hitam. Namun, tak ada kata yang disampaikan, hanya sentuhan menenangkan.“Dokter jangan siang-siang pulangnya, nanti di jalan keburu banyak orang.” Laras memainkan jemarinya di atas dada bidang pria itu.“Hm. Yang, saya masih kangen. Tapi kamu benar.” Dirga mengurai pelukan dan mencium bibir kekasihnya. “Makasih sarapannya, calon istri.” Sebelah matanya mengedip nakal.Laras hanya terkekeh kaku melihat tingkah mantan ayah mertua yang selalu bisa menghibur.“Belum juga resmi dilamar, udah bilang calon istri aja,” celetuk Laras sambil mencubit perut keras pria itu.“Maunya apa? Istri? Boleh,” goda Dirga makin menjadi-jadi.Tak ingin menahan pria itu lebih lama di rumahnya, Laras mendorong pelan Dirga keluar dari pintu belakang.Sebelum Dirga meninggalkan rumah, pria itu membaca pesan di ponsel. Wajahnya agak tegang dan napasnya menja
“Gila, kamu Rama!” geram Leo, sambil melangkah mundur dan melindungi kepalanya. Baru saja nampan itu nyaris menyentuh kepalanya, pintu terbuka lebar. Dua orang petugas kepolisian gegas meringkus Rama. Leo pun segera keluar dan menatap putra dari kliennya dengan perasaan setengah iba, setengah mengutuk. “Argh … ini semua salah om, dasar penipu kalian semua. Gue nggak bakalan tinggal diam,” teriak Rama yang sudah kesurupan oleh amarahnya sendiri. Kedua tangannya pun diborgol dan dipaksa untuk duduk dengan tenang. Dari luar jeruji besi, Leo berkata, “jalani saja hukuman ini Rama. Anggap ini sebagai pelajaran berharga dalam hidup.” “Jangan sok tahu lu Om. Lu nggak ngerti rasanya jadi gue kayak gimana!” Bentak pria itu. Meskipun tubuhnya sudah tak berdaya, Rama masih berusaha bangkit untuk mengejar Leo dan menuntaskan amarahnya. Sementara Leo memilih keluar dari gedung kepolisian. Pria itu mau hubungi Dirga, tetapi karena jaringan yang buruk akhirnya ia hanya mengirimkan p
Laras membekap mulutnya sendiri. Cairan bening nan asin luruh di pipinya. Ia seolah tak percaya bahwa semua ini adalah kenyataan.“Mimpi, ya?” gumamnya, karena untuk dibayangkan saja … itu terlalu indah. Laras tidak sanggup.Jika dulu menikahi seorang Rama—sang idola kampus adalah mimpi indah, sekarang justru bercerai darinya adalah anugerah terindah.“Bukan mimpi, Yang,” bisik Dirga, sensual, tepat di telinga sang kekasih.Dengan cepat pria itu memutar badan Laras, mencium bibirnya di bawah jemuran pakaian yang berkibar tersapu angin. Untuk membuktikan semua kenyataan, Dirga menggigit dan melumat bibir atas dan bawah bergantian.Laras melenguh sambil mengalungkan lengannya di leher pria itu. Menikmati setiap gerakan lidah panas yang membakar gairahnya.Tangan duda nakal tak lagi memegangi pinggul Laras, melainkan menyelinap masuk ke dalam piyama kucing ungu muda.“Hng … Dokter,” lenguh Laras, tubuhnya sudah merespon untuk dibawa melintasi kenikmatan dunia.“Kita masuk, Yang,” ajak Di
Leo tidak lantas turun dari mobilnya, melainkan tetap bertahan. Orang itu tampak mencurigakan, meskipun menggunakan pakaian training kuning menyala. Leo kembali menghubungi kliennya, tetapi gagal. Sinyal di sini sangat buruk. Kaca mobil di samping kemudi diketuk. Leo melirik tajam dan menyembunyikan bukti-bukti ke jok belakang. Ia pun menggeleng. “Buka, Pak!” Suara itu terdengar lantang. Leo pun menancap gas untuk mundur, tetapi bannya kehilangan daya cengkeram sehingga hanya berputar terus karena jalan tanah yang licin. “Apa mereka ini orang suruhan Rama?” gumam Leo yang tahu betapa liciknya anak itu. Leo berusaha tetap tenang, hingga ponselnya berpendar. Ada satu pesan masuk yang sedari tadi ia tunggu. [Ada orang yang jemput di perbatasan desa. Namanya Pak Dading. Ini fotonya.] Setelah mencocokkan wajah pria di sampingnya dengan gambar di ponsel, barulah Leo berani membuka kaca dan menyapa, “Pak Dading, ya?” “Oh, iya, betul, Pak Leo. Saya diminta Dokter Dirga jemput ke sini.
“Kenapa lagi?” Pengacara itu melihat genggaman tangan Rama yang sangat kuat, dan ia bisa merasakann nyeri.Alih-alih menjawab apa keinginannya, Rama justru terdiam. Pandangannya kosong, meskipun ada wajah Leo di matanya. Pria itu tampak sedang berpikir keras.Tidak ada respons apa pun. Akhirnya Leo menambahkan, “Sudah, ya, Rama. Om mau ketemu polisi dulu. Dan Om nggak tahu kapan bisa datang lagi ke sini, karena harus cari bukti yang kuat buat bebasin kamu.”Pengacara itu menarik pergelangan tangannya dengan kuat, membalik badannya, dan melangkah menuju pintu keluar ruang interogasi. Namun, langkah Leo seolah tertahan mendengar ucapan Rama berikutnya.“Dan kalau aku setuju, apa Om berani jamin bisa bebasin aku malam ini juga?” Nada bicara Rama terdengar serius dan berat. Mata hitamnya menatap penuh harap sekaligus tajam kepada Leo.Pengacara tidak serta-merta duduk kembali. Pria dengan rambut nyaris putih itu justru menarik handle pintu perlahan. Ini membuat Rama memperhatikannya diam-