Share

Bab 2 : Cowok Mesum!

Author: NACL
last update Last Updated: 2025-08-18 00:35:01

Udara gerah menusuk masuk melalui celah kaca yang sedikit terbuka, membuat jemarinya yang memeluk ransel ungu muda mengipas kecil.

Laras menatap pemandangan kebun tebu yang membentang dari balik jendela mobil travel. Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari.

Bayangan wajah Rama muncul lagi. Kata-kata menyakitkan pria itu masih berputar di kepalanya, bahkan nyeri di rahang bekas cengkeraman masih terasa.

Saat ini ia hanya ingin menjauh.

‘Kalau bukan karena dia ... aku nggak akan sejauh ini,’ batinnya.

Apa iya dirinya selemah itu?

Mobil travel melambat, lalu berhenti di pinggir jalan tanah merah dan berpasir. Laras buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, memastikan dua rekannya tidak menyadari. Ia bercermin melalui kamera ponsel, memastikan concealer masih menutup sisa memar di pipinya yang mulai sedikit samar.

“Laras, ayo turun. Mobil jemputan udah datang, tuh,” seru salah satu temannya dari depan.

Begitu turun, hawa desa yang gersang langsung menerpa wajahnya. Udara bercampur aroma matahari dan tanah kering memenuhi paru-parunya. Laras melangkah menuju pick-up tua penuh debu yang menunggu. Di samping mobil, Pak Lurah dan istrinya serta beberapa orang sudah berdiri.

“Selamat datang, Dokter. Silakan naik,” sambut Pak Lurah sangat ramah. “Kami antar ke rumah untuk istirahat.”

Senyum di bibir Laras mengembang. “Terima kasih, Pak, Bu.”

Perjalanan pun berlanjut 30 menit melewati jalur berbatu, sempit, dan diapit kebun jagung dan tebu di kiri-kanan. Laras mencoba menenangkan pikirannya, tetapi rasa waswas seperti ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya sejak ia turun dari travel tidak mau hilang. Ia bahkan sempat melirik ke belakang beberapa kali, yang terlihat hanya jalanan berliku dan dedaunan pohon bergoyang.

Akhirnya, pick-up berhenti di depan sebuah rumah tua dengan dinding terkelupas. Masih layak huni, tetapi jauh dari nyaman. Andai hidupnya dengan Rama baik-baik saja seperti pasangan normal, ia pasti sedang bertugas di rumah sakit kota dengan fasilitas lengkap, bukan di desa dengan jaringan ponsel setipis nyawa.

Setidaknya, di sini ia mendapat kamar sendiri. Ia sempat bertegur sapa sebentar dengan Pak Lurah yang menawarkan segelas es teh manis. Bahkan bercanda soal suara jangkrik yang sudah ada sepagi ini.

Selepas Pak Lurah dan istrinya pergi, rasa lega itu sirna ketika ia melihat dapur yang masih memakai tungku, dan kamar mandi yang ternyata terletak di luar rumah. Dindingnya dari bambu, pintunya rapuh, dan atap gentengnya tidak rata.

Laras menelan ludah. Temannya yang sudah mencoba mandi berkata aman-aman saja, tetapi tubuhnya justru merinding. Ia memberanikan diri, melepas pakaian satu per satu. Lalu air dari gayung membuat kulitnya merasa segar.

Laras mengelus tengkuknya yang tiba-tiba dingin.

“Nggak usah paranoid,” gumamnya, walaupun dalam hati berkata sebaliknya.

Tiba-tiba saja terdengar suara gemerisik dedaunan. Laras berhenti, memutar kepala dan menajamkan telinga. Samar-samar ia melihat bayangan gelap dari celah dinding.

Setelah dipastikan tidak ada siapa-siapa, ia kembali menyabuni tubuhnya, mencoba mengabaikan. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini rasanya jauh lebih dekat.

Irama jantungnya makin tidak karuan, bahkan tubuhnya sudah menegang dengan napas yang memburu. Perlahan ia berbalik ke arah pintu. Ia tersentak, saat sepasang mata mengintip dari pintu bambu yang renggang.

Refleks, ia meraih handuk ungu muda, menutup tubuh, dan membuka pintu dengan segera.

“Kurang ajar!” bentak Laras, seraya melempar gayung merah jambu tepat ke kening orang itu.

“Argh!” erang pria itu, membungkuk sambil memegangi dahinya.

“Cowok mesum! Beraninya ngintip orang mandi! Aku laporin Pak Lurah, biar tahu rasa kamu!” sentak Laras sambil menunjuknya dan menatap tajam.

Pria itu perlahan berdiri tegak. Seketika Laras terkesiap dan memperhatikannya dalam diam. Penampilan orang itu rapi, kulit putih bersih, dan aromanya sangat harum seperti menggunakan parfum mewah. Sama sekali bukan tipikal lelaki kampung yang iseng. Namun, inilah yang membuat Laras makin beringsut mundur.

“Jangan sembarang nuduh,” ucap pria itu, suaranya dingin, dan tatapannya benar-benar menusuk.

“Ka-kamu … pedofil,” tuduh Laras lagi, meskipun hatinya mulai ragu.

Mata pria itu menyipit. “Jaga ucapanmu.”

“Kalau bukan, kenapa ngintip?” desak Laras, sambil terus mundur hingga mencapai ambang pintu belakang. Sungguh ia kebingungan, sebab dua temannya yang lain sedang membeli makanan.

“Mau numpang buang air kecil. Kamar mandi ini biasanya kosong,” jawab pria itu dalam satu tarikan napas singkat, lalu menunjuk bilik kecil di belakang. Hanya saja mata orang itu sempat turun sekilas ke arah handuk Laras.

Laras langsung mengeratkan pegangan handuknya di depan dada. “Jangan macam-macam, ya!”

“Kamu terlalu percaya diri,” balas pria itu, kali ini suaranya lebih datar, lalu dengan tak acuh melangkah masuk ke bilik mandi.

Begitu pintu tertutup, Laras buru-buru masuk rumah dan mengenakan pakaian. Saat keluar lagi, pria itu sudah menghilang. Halaman belakang nampak kosong, kamar mandi pun sepi.

Tangan Laras terkepal. Ia berusaha mencari ke sekitar, tetapi usahanya sia-sia.

Sungguh sial, hari pertama di desa ini sudah begini. Ia berniat melapor ke balai desa, tetapi dua temannya datang sambil membawa kantong makanan.

“Laras, kita ditunggu di klinik sekarang. Ada lonjakan pasien. Ayo!”

Laras terdiam. Balai desa berjarak dua kilometer dan ia tidak punya kendaraan. Akhirnya ia menahan diri, dan hatinya bergumam, ‘Sekali lagi terulang, pasti langsung polisi yang kupanggil.’

Mereka berangkat bersama ke klinik. Setelah 15 menit, Laras mendongak melihat papan bertuliskan ‘Klinik Gratis Desa Wanasari.’

Klinik itu tak seperti dugaan Laras, tentang fasilitas di desa terpencil. Bangunannya bersih, ada ruang tunggu yang cukup besar dengan area ramah anak, sofa berkulit hitam mengilap serta AC berembus menyejukkan, berbanding terbalik dengan udara di sekitar.

“Katanya klinik ini gratis dari dokter pembimbing kita,” tutur seorang temannya.

“Dokter ganteng yang terkenal itu ‘kan? Dokter Dirgantara, yang follower-nya sepuluh juta,” sambung yang lain.

Laras hanya mengangkat alis. Ia merasa pernah mendengar nama itu diucapkan oleh Rama. Namun, pikirannya buru-buru mengenyahkan apa pun tentang pria itu.

Laras memang tidak tahu siapa pembimbingnya, hanya sempat mendengar sedikit informasi bahwa pembimbingnya adalah dokter spesialis anak yang sudah berusia di atas 40 tahun.

Mereka pun digiring masuk ruang luas. Di mana para staf klinik dan aparat desa sudah berbaris menyambut.

Seketika langkah Laras terhenti. Mata bulatnya membelalak. Dari arah berlawanan, pria yang tadi mengintipnya berjalan mendekat. Posturnya tegak, bahu lebar, dan tatapan dari sepasang mata karamel begitu pekat sampai langsung mengunci Laras seolah mendapat buruannya.

“Perkenalkan, ini Dokter Dirga. Beliau penanggung jawab di sini.” Pak Lurah menunjuk pria itu, lalu melanjutkan sambil menatap ke arah Laras dan teman-temannya, “Nah ini para dokter muda yang akan membantu di klinik selama setahun.”

Dalam hati Laras berucap lirih, ‘Gila … ini nggak mungkin terjadi ‘kan?’

Napasnya memburu, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Ia sungguh tak percaya. Pria itu … adalah pembimbingnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 6: Minta Dipegang?

    Bukannya pergi, Laras justru membeku di tempat. Kelopaknya makin melebar kala gagang pintu itu bergerak. Bayangan seseorang memantul pada kusen putih. Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, gegas Laras menyeret kakinya. Terlambat. “Kamu di sini?” Suara tegas dan dingin familiar itu menyambar telinga. “Mau ke mana?” Laras menoleh pelan, dan langsung menunduk ketika melihat kancing kemeja Dirga yang tidak terkancing rapi. Sebagian terbuka memperlihatkan dada bidangnya. Gadis itu terperanjat. Benaknya otomatis menerka-nerka, tetapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Jangan-jangan hanya salah dengar … atau memang ada sesuatu di balik pintu tadi? “Saya … mau ambil minum, Dok.” Laras menelan liurnya sendiri. Desahan barusan masih membekas dalam benaknya. “Balik ke kamar!” Dirga mengedik dagunya pada pintu ruang tindakan. “Jangan banyak gerak dulu.” “Saya masih kuat.” Dadanya berdegup kencang, Laras memutar badan. Sebelum berhasil melangkah mendadak tubuhnya kembali melayang. “Dok

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 5 : Ah, Pelan-pelan

    Laras membeku di ambang pintu. Sungguh tak menduga mendapat tamu ‘penting’ pukul lima pagi ini. “Pagi-pagi gini mau ke mana, Dok?” “Siap-siap. Ikut saya,” kata pria itu, suaranya datar. “Tapi saya—” “Jangan bikin saya ngomong dua kali. Cepat!” Dirga mengedik dagunya pada Land Cruiser hitam yang terparkir di seberang jalan bertanah kering. Sebenarnya Laras ingin menolak. Namun, melalui cara pandang Dirga, Laras seolah tidak memiliki pilihan lain. Andai saja ia membantah, bisa-bisa besok hidupnya dibuat tidak tenang. “Saya … ganti baju dulu, Dok.” Laras menatap lekat pada Dirga yang sudah rapi dengan kemeja navy digulung sebatas siku. Berbanding terbalik dengannya masih menggunakan piyama kucing ungu muda. Selesai mengganti bajunya, Laras menghampiri Dirga. Pria itu sudah menunggu di dalam mobil. Tangannya cekatan membuka pintu penumpang di depan. Namun, Laras bergeming. Ia pikir Dirga datang sendirian … menjemputnya. Ternyata ada wanita lain yang duduk di samping pria

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 4 : Aku yang Lepas

    “Laras …,” bisik Dirga rendah, “apa kamu ….” Tiba-tiba tangannya membingkai pipi Laras yang dingin. Telapak hangat pria itu membuat Laras tersentak. Menembus kulit dingin, melebur antara waswas dan nyaman. 'Sial, perasaan apa ini?' pikirnya. Ia mendongak. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata karamel yang indah. Kelopaknya tak berkedip beberapa detik. Entah terpaku karena kotak obat yang hampir menimpanya atau efek berada sedekat ini dengan Dirga. Dirga mengulang lagi, “Laras? Saya mau—” Refleks Laras mendorong Dirga sebelum menyelesaikan ucapannya, tetapi jemarinya malah menyentuh dada bidang keras. Namun, pria itu sama sekali tidak bergeser. Tidak mungkin ‘kan pria itu mau melakukan sesuatu padanya? Di ruangan ini?! Laras menggeleng cepat. “Jangan, Dok.” “Kenapa jangan? Kamu harus mau.” Perintah itu lolos dari bibir Dirga yang kini menjadi pusat perhatian Laras. Agak tebal dan sensual. Alih-alih mundur, Dirga justru merapatkan wajah. Rahang berjanggut tipis

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 3 : Buka Bajumu, Sekarang!

    Laras menelan ludah saat menyadari bahwa Dirga tak berpaling darinya. Tangannya meremas celana hitam di atas paha, tatkala ia melirik kening memar pria itu. Kini ia mengutuk diri karena serba salah, yakin bahwa pria itu pasti akan menghukumnya. Habislah ia jika Dirga mengumumkan kejadian pagi tadi pada semua orang. “Ya, saya Dokter Dirgantara Bradley.” Dirga tersenyum, dan tangan yang sebelumnya masuk ke dalam saku tiba-tiba menunjuk Laras. “Kamu.” Seketika Laras mendongak dan wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya mendadak dingin setelah Dirga menunjuknya, mungkin … Dokter itu akan membongkar semua. “Umm … saya, Dok?” Laras menunjuk dirinya sendiri. Nahas nian nasibnya kini menjadi pusat perhatian para staf klinik dan aparat desa. Kalau hanya menghadapi Dirga sendirian mungkin ia bisa, tetapi ini di hadapan semua orang. Sebelum bicara, Laras menarik napasnya lebih dulu. Namun, saat ia baru saja membuka mulut, pria itu berkata lagi padanya. “Silakan perkenalkan diri.” Nada b

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 2 : Cowok Mesum!

    Udara gerah menusuk masuk melalui celah kaca yang sedikit terbuka, membuat jemarinya yang memeluk ransel ungu muda mengipas kecil.Laras menatap pemandangan kebun tebu yang membentang dari balik jendela mobil travel. Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari. Bayangan wajah Rama muncul lagi. Kata-kata menyakitkan pria itu masih berputar di kepalanya, bahkan nyeri di rahang bekas cengkeraman masih terasa. Saat ini ia hanya ingin menjauh. ‘Kalau bukan karena dia ... aku nggak akan sejauh ini,’ batinnya. Apa iya dirinya selemah itu? Mobil travel melambat, lalu berhenti di pinggir jalan tanah merah dan berpasir. Laras buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, memastikan dua rekannya tidak menyadari. Ia bercermin melalui kamera ponsel, memastikan concealer masih menutup sisa memar di pipinya yang mulai sedikit samar. “Laras, ayo turun. Mobil jemputan udah datang, tuh,” seru salah satu temannya dari depan. Begitu turun, hawa desa yang gersang langsung menerpa w

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 1 : Berengsek Kamu!

    “Berengsek kamu, Mas!” Telepon genggam di tangan Laras hampir terjatuh. Tangannya gemetar hebat. Ponsel itu terasa bagai bara di telapak tangannya. Napasnya tersendat-sendat, seakan paru-parunya menolak menerima kenyataan. Sebenarnya ia tidak berniat mengambil ponsel Rama—suaminya. Kebetulan Laras sedang merapikan ranjang, dan benda pipih itu berpendar terus. Penasaran, Laras pun meraihnya. Menganggap penting karena ada orang yang menghubungi sepagi ini. Ternyata berujung petaka. Ia tidak menyangka setelah melihat pop-up pesan singkat di layar benda itu. [Gila, kalau tiga bulan lagi lu bisa nahan diri jadi suaminya si Laras, lamborghini sama duit 5M otomatis jadi hak milik.] [Tapi inget, Bro. Perawanin dulu tuh cewek sebelum dicerai.] Masih banyak pesan lagi yang Laras bahkan tidak sanggup membacanya. Pandangan Laras berkaca-kaca, tubuhnya yang tadi tegap dan baik-baik saja, kini bagai raga tak berjiwa. Lututnya goyah, seolah tidak lagi sanggup menyangga tubuh yang diseret ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status