LOGINUdara gerah menusuk masuk melalui celah kaca yang sedikit terbuka, membuat jemarinya yang memeluk ransel ungu muda mengipas kecil.
Laras menatap pemandangan kebun tebu yang membentang dari balik jendela mobil travel. Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari. Bayangan wajah Rama muncul lagi. Kata-kata menyakitkan pria itu masih berputar di kepalanya, bahkan nyeri di rahang bekas cengkeraman masih terasa. Saat ini ia hanya ingin menjauh. ‘Kalau bukan karena dia ... aku nggak akan sejauh ini,’ batinnya. Apa iya dirinya selemah itu? Mobil travel melambat, lalu berhenti di pinggir jalan tanah merah dan berpasir. Laras buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, memastikan dua rekannya tidak menyadari. Ia bercermin melalui kamera ponsel, memastikan concealer masih menutup sisa memar di pipinya yang mulai sedikit samar. “Laras, ayo turun. Mobil jemputan udah datang, tuh,” seru salah satu temannya dari depan. Begitu turun, hawa desa yang gersang langsung menerpa wajahnya. Udara bercampur aroma matahari dan tanah kering memenuhi paru-parunya. Laras melangkah menuju pick-up tua penuh debu yang menunggu. Di samping mobil, Pak Lurah dan istrinya serta beberapa orang sudah berdiri. “Selamat datang, Dokter. Silakan naik,” sambut Pak Lurah sangat ramah. “Kami antar ke rumah untuk istirahat.” Senyum di bibir Laras mengembang. “Terima kasih, Pak, Bu.” Perjalanan pun berlanjut 30 menit melewati jalur berbatu, sempit, dan diapit kebun jagung dan tebu di kiri-kanan. Laras mencoba menenangkan pikirannya, tetapi rasa waswas seperti ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya sejak ia turun dari travel tidak mau hilang. Ia bahkan sempat melirik ke belakang beberapa kali, yang terlihat hanya jalanan berliku dan dedaunan pohon bergoyang. Akhirnya, pick-up berhenti di depan sebuah rumah tua dengan dinding terkelupas. Masih layak huni, tetapi jauh dari nyaman. Andai hidupnya dengan Rama baik-baik saja seperti pasangan normal, ia pasti sedang bertugas di rumah sakit kota dengan fasilitas lengkap, bukan di desa dengan jaringan ponsel setipis nyawa. Setidaknya, di sini ia mendapat kamar sendiri. Ia sempat bertegur sapa sebentar dengan Pak Lurah yang menawarkan segelas es teh manis. Bahkan bercanda soal suara jangkrik yang sudah ada sepagi ini. Selepas Pak Lurah dan istrinya pergi, rasa lega itu sirna ketika ia melihat dapur yang masih memakai tungku, dan kamar mandi yang ternyata terletak di luar rumah. Dindingnya dari bambu, pintunya rapuh, dan atap gentengnya tidak rata. Laras menelan ludah. Temannya yang sudah mencoba mandi berkata aman-aman saja, tetapi tubuhnya justru merinding. Ia memberanikan diri, melepas pakaian satu per satu. Lalu air dari gayung membuat kulitnya merasa segar. Laras mengelus tengkuknya yang tiba-tiba dingin. “Nggak usah paranoid,” gumamnya, walaupun dalam hati berkata sebaliknya. Tiba-tiba saja terdengar suara gemerisik dedaunan. Laras berhenti, memutar kepala dan menajamkan telinga. Samar-samar ia melihat bayangan gelap dari celah dinding. Setelah dipastikan tidak ada siapa-siapa, ia kembali menyabuni tubuhnya, mencoba mengabaikan. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini rasanya jauh lebih dekat. Irama jantungnya makin tidak karuan, bahkan tubuhnya sudah menegang dengan napas yang memburu. Perlahan ia berbalik ke arah pintu. Ia tersentak, saat sepasang mata mengintip dari pintu bambu yang renggang. Refleks, ia meraih handuk ungu muda, menutup tubuh, dan membuka pintu dengan segera. “Kurang ajar!” bentak Laras, seraya melempar gayung merah jambu tepat ke kening orang itu. “Argh!” erang pria itu, membungkuk sambil memegangi dahinya. “Cowok mesum! Beraninya ngintip orang mandi! Aku laporin Pak Lurah, biar tahu rasa kamu!” sentak Laras sambil menunjuknya dan menatap tajam. Pria itu perlahan berdiri tegak. Seketika Laras terkesiap dan memperhatikannya dalam diam. Penampilan orang itu rapi, kulit putih bersih, dan aromanya sangat harum seperti menggunakan parfum mewah. Sama sekali bukan tipikal lelaki kampung yang iseng. Namun, inilah yang membuat Laras makin beringsut mundur. “Jangan sembarang nuduh,” ucap pria itu, suaranya dingin, dan tatapannya benar-benar menusuk. “Ka-kamu … pedofil,” tuduh Laras lagi, meskipun hatinya mulai ragu. Mata pria itu menyipit. “Jaga ucapanmu.” “Kalau bukan, kenapa ngintip?” desak Laras, sambil terus mundur hingga mencapai ambang pintu belakang. Sungguh ia kebingungan, sebab dua temannya yang lain sedang membeli makanan. “Mau numpang buang air kecil. Kamar mandi ini biasanya kosong,” jawab pria itu dalam satu tarikan napas singkat, lalu menunjuk bilik kecil di belakang. Hanya saja mata orang itu sempat turun sekilas ke arah handuk Laras. Laras langsung mengeratkan pegangan handuknya di depan dada. “Jangan macam-macam, ya!” “Kamu terlalu percaya diri,” balas pria itu, kali ini suaranya lebih datar, lalu dengan tak acuh melangkah masuk ke bilik mandi. Begitu pintu tertutup, Laras buru-buru masuk rumah dan mengenakan pakaian. Saat keluar lagi, pria itu sudah menghilang. Halaman belakang nampak kosong, kamar mandi pun sepi. Tangan Laras terkepal. Ia berusaha mencari ke sekitar, tetapi usahanya sia-sia. Sungguh sial, hari pertama di desa ini sudah begini. Ia berniat melapor ke balai desa, tetapi dua temannya datang sambil membawa kantong makanan. “Laras, kita ditunggu di klinik sekarang. Ada lonjakan pasien. Ayo!” Laras terdiam. Balai desa berjarak dua kilometer dan ia tidak punya kendaraan. Akhirnya ia menahan diri, dan hatinya bergumam, ‘Sekali lagi terulang, pasti langsung polisi yang kupanggil.’ Mereka berangkat bersama ke klinik. Setelah 15 menit, Laras mendongak melihat papan bertuliskan ‘Klinik Gratis Desa Wanasari.’ Klinik itu tak seperti dugaan Laras, tentang fasilitas di desa terpencil. Bangunannya bersih, ada ruang tunggu yang cukup besar dengan area ramah anak, sofa berkulit hitam mengilap serta AC berembus menyejukkan, berbanding terbalik dengan udara di sekitar. “Katanya klinik ini gratis dari dokter pembimbing kita,” tutur seorang temannya. “Dokter ganteng yang terkenal itu ‘kan? Dokter Dirgantara, yang follower-nya sepuluh juta,” sambung yang lain. Laras hanya mengangkat alis. Ia merasa pernah mendengar nama itu diucapkan oleh Rama. Namun, pikirannya buru-buru mengenyahkan apa pun tentang pria itu. Laras memang tidak tahu siapa pembimbingnya, hanya sempat mendengar sedikit informasi bahwa pembimbingnya adalah dokter spesialis anak yang sudah berusia di atas 40 tahun. Mereka pun digiring masuk ruang luas. Di mana para staf klinik dan aparat desa sudah berbaris menyambut. Seketika langkah Laras terhenti. Mata bulatnya membelalak. Dari arah berlawanan, pria yang tadi mengintipnya berjalan mendekat. Posturnya tegak, bahu lebar, dan tatapan dari sepasang mata karamel begitu pekat sampai langsung mengunci Laras seolah mendapat buruannya. “Perkenalkan, ini Dokter Dirga. Beliau penanggung jawab di sini.” Pak Lurah menunjuk pria itu, lalu melanjutkan sambil menatap ke arah Laras dan teman-temannya, “Nah ini para dokter muda yang akan membantu di klinik selama setahun.” Dalam hati Laras berucap lirih, ‘Gila … ini nggak mungkin terjadi ‘kan?’ Napasnya memburu, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Ia sungguh tak percaya. Pria itu … adalah pembimbingnya.“Laras? Ini kamu? Ini nomormu? Kenapa membahas tentang Nita? Ponselmu sudah berfungsi lagi?” Pertanyaan itu terlontar ringan dari mulut Raymond. Pria itu benar-benar tidak peduli pada kondisi yang dialami oleh simpanan dan darah dagingnya.Menghela napas sejenak, Laras kemudian berkata dengan suara lantang, “Bapak tenang saja. Tidak perlu memikirkan ponsel saya berfungsi atau tidak. Lagi pula tujuan utama saya menghubungi Anda, untuk meminta pertanggungjawaban atas Nita.” Ia sama sekali tidak takut pada rival suaminya itu. Raymond mendengkus. “Kamu tidak perlu ikut campur masalah saya dan Nita. Sekarang, saya hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah dimarahi istri saya?” Suara pria itu benar-benar lembut. Jauh berbeda saat ia berbicara dengan Dirga.Laras mendecak kecil, “Kalau Pak Raymond benar-benar pria sejati. Seharusnya bertanggung jawab atas apa yang Anda perbuat!” geramnya, ia langsung memutus sambungan telepon secara sepihak. Tidak hanya itu saja, bahkan Laras memblokir
Mobil Porsche hitam Dirga tiba di Rumah Sakit JB. Semua memberi jalan, tidak ada yang menghalangi. Mereka tahu, itu kendaraan direktur utama.Dibantu perawat yang berjaga, tubuh wanita itu dikeluarkan dari mobil. Sigap Laras dan petugas Puskesmas ikut mendorong brankar, memasuki IGD. Sementara Petugas Puskesmas yang tadi ikut cemas.Wajah Laras seketika pucat, tangannya gemetar melihat banyaknya darah. Bahkan kemeja ungu mudanya ternkda cairan amis itu.“Mau ke ruangan saya? Kamu bisa mandi, dan pakai kemeja bersih saya di sana,” tawar Dirga, melihat istrinya kotor. “Iya, Mas nanti aja. Saya mau tahu keadaan perempuan itu dulu,” jawab Laras, matanya melirik pada tirai bergoyang. Di sana, tim gawat darurat sedang melakukan penanganan.“Baik, gimana nyamannya saja,” sambung Dirga, tak ingin memaksa.Dirga berdiri tegak di samping sang istri. Matanya sangat tajam, memberikan instruksi cepat kepada perawat IGD tanpa menunjukkan sedikit pun kegugupan. “Hubungi Dokter Devi, minta dia tang
Sepanjang perjalanan pulang, Dirga terdiam. Pandangannya tajam ke depan, fokus pada jalan. Ia tidak melirik Laras sedetik pun. Ini membuat wanita itu berkeringat dingin, tangannya meremas jas putih di atas paha.“Mas?” panggil Laras, pelan dan lemah lembut.“Diam dulu! Kita bicarakan ini di apartemen. Saya lagi fokus nyetir! Bahaya!” tegas pria tampan yang kini wajahnya menjadi garang. Hati Laras seketika mencelos mendengar nada itu. Ya, ia tahu suaminya benar-benar marah. Kesedihan pun menusuk, Dirga yang biasa lembut kini seperti orang asing menakutkan. Tak ingin menambah masalah lagi, Laras patuh, menggigit bibir, dan memilih diam. Ketenangan seorang Dirgantara saat marah justru jauh lebih menyeramkan daripada bentakan kerasnya waktu itu. Laras hanya bisa pasrah.Porsche hitam memasuki area parkir apartemen. Dirga turun lebih dulu, membanting pintu mobilnya dengan keras. Sontak Laras terperanjat, dan memegangi dadanya. Kala ia sudah siap dicampakkan dan hendak membuka pintunya
Laras buru-buru menekan ikon panggilan saat nama ‘suamiku Dirgantara’ muncul di layar ponselnya. Nahas sebelum sambungan telepon sempat terhubung, wanita tambun yang mendorong kursi roda itu—istri Raymond melihat gerak tangan Laras. Dalam sekali gerakan cepat dan penuh amarah, wanita itu menepis kuat pergelangan tangan Laras. Ponsel dalam genggaman Laras terlepas dan jatuh membentur lantai marmer rumah sakit. Parahnya lagi, layar ponsel itu langsung retak. Laras terpekik, “Ya, ampun. Ibu!” “Jadi kamu istrinya Dokter Dirga? Dasar pengganggu! Beraninya kamu! Pasti mau merekam kami, iya ‘kan? Biar nama … kamu viral,” desis wanita itu, matanya menyorot tajam. Sedangkan Raymond di kursi roda hanya bisa menunduk pasrah. Tenaganya belum pulih 100%. “Rekam?” ulang Laras, suaranya tegas. “Ibu salah sangka. Saya hanya menelepon suami saya. Kenapa Ibu panik sekali sampai merusak Hp saya, begitu?” lanjutnya lagi. Ia berusaha tetap tenang, meskipun tangannya gemetar menahan amarah karena
Satu bulan telah berlalu. Hari-hari Laras kini jauh lebih sibuk dibandingkan sebelumnya. Pagi-pagi ia harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit ke Puskesmas, yang terletak cukup jauh dari apartemen mereka. Kesibukan ini cukup menjadi pengalih yang efektif. Ia bahkan sampai tidak ingat melakukan tes kehamilan, baru menyadari hal itu setelah datang bulan. Namun, kesedihannya berangsur hilang, berganti dengan fokus pada tanggung jawab baru di dunia medis. Siang ini, saat giliran istirahat, Laras menerima bungkusan makanan dari ojek online. Tanpa memutus panggilan video masuk dari Dirga. Wajah lelah pria itu langsung berubah hangat kala melihat ekspresi ceria sang istri. “Suka, Sayang? Saya pesan makanan kesukaan kamu. Jangan sampai telat, ya. Ingat pesan saya, kamu harus sehat,” tutur Dirga lembut. Meskipun bukan kali pertama, Laras tetap berbunga-bunga. Menghargai usaha suaminya membuat rumah tangga mereka tetap hangat, sekaligus menghiburnya karena selalu merasa kerdil tatkal
Wanita itu termenung sesaat, kelopak matanya menyempit seakan tengah mempertimbangkan usulan Dirga. Jemarinya yang berhiaskan cincin berlian mengepal, membuat cincin itu saling bergesekan.Dirga masih memperhatikannya. “Tes DNA?” gumam wanita itu. Pikirannya seakan berisik, tetapi Dirga tak mampu menebak apa isi kepala wanita itu.Dirga menegaskan lagi, “Ya, saya akan lakukan tes DNA terhadap Raymond dan istri saya.”“Kalau hasilnya positif, bagaimana?” tanya wanita itu dengan suara yang terdengar ragu. Tahu maksud istri Raymond, Dirga geleng-geleng. Padahal sebelumnya ia sudah bilang jika terbukti Laras adalah putri kandung Raymond dan Lastri, ia tak akan menuntut materi sepeser pun. Untuk apa? Toh, dirinya masih sangat mampu memberikan apa pun yang sang istri inginkan.“Itu artinya Laras anak kandung Raymond. Dan istri saya berhak tahu asal usul keluarganya, Bu!” terang Dirga lagi. Ia sudah bertekad tidak akan menutupinya jika kelak terbukti Laras adalah darah daging musuhn







