LOGINRaymond D-nya apa? dodol emang >_<
Tubuh Laras mendadak ditarik kuat ke dalam pelukan hangat yang beraroma melati lembut dan cashmere musk. Pelukan itu sangat erat hingga Laras hampir kehabisan napas."Ma-Mama! Kenapa Mama ke sini malam-malam begini? Ada apa—" Laras mencoba melepaskan diri, tetapi Mama Dewi, malah makin membenamkan wajahnya di bahu menantunya itu."Mama khawatir banget, Nak. Setelah mendengar Dirga dirawat, Mama nggak bisa tenang." Dewi terisak pelan. “Sekarang kalian udah balik ke sini rasanya kayak mimpi,” tuturnya agak tercekat.Dewi akhirnya melepas pelukan, tetapi tangannya yang dingin menangkup wajah sang menantu. Mata sipitnya meneliti setiap inci wajah wanita kesayangan Dirga ini. Ia mencari tanda-tanda kelelahan. Tangan Dewi turun, dan tanpa aba-aba langsung diletakkan di perut rata Laras.“Umm, Ma.” Laras terkesiap dan mundur sedikit sekali."Dashel telepon Mama. Katanya ... kamu hamil?" tanya Dewi, matanya yang sembab kini memancarkan harapan dan kekagetan yang luar biasa.Ekor mata
Tanpa butuh waktu lama, meskipun hanya beberapa jam dengan imbalan ribuan dolar asisten Raymond kembali ke kamar perawatan. Pria itu memegang sebuah tabung kecil yang berisi sisa darah merah gelap. Sedikit memang, tetapi cukup untuk keperluan analisis."Ini dia, Pak Raymond. Sedikit, tapi ini adalah sisa darah yang digunakan untuk transfusi Bapak terakhir. Saya sampai harus membayar staf medis $5.000 agar mereka mau mengambil ini sebelum dimusnahkan," lapor asisten itu dengan sedikit terengah.Raymond menghela napas panjang, antara lega dan tegang. "Bagus. Tidak masalah. Uangku di negara ini masih banyak. Sekarang, dengarkan aku. Cari laboratorium yang bisa kita percaya. Lakukan tes DNA sekarang juga! Aku ingin hasilnya paling lambat besok pagi!" perintah Raymond dengan tidak sabaran.“Baik, Pak. Tapi bagaimana jika—”“Tidak ada jika dan tapi. Berangkat sekarang!!” tegas Raymond sekali lagi.Asisten itu segera bergegas pergi.Bersamaan dengan kepergian sang asisten. Istri Raymos
Setelah dua hari dirawat dan memastikan kondisi Laras stabil, Dirga diizinkan pulang. Pagi ini, mereka semua bersiap untuk kembali ke Jakarta. Draven dan Dashel telah mengatur pesawat pribadi keluarga agar perjalanan pemulihan Dirga dan kehamilan Laras berjalan nyaman.Bahkan kabin pesawat telah diubah menjadi ruang perawatan kecil yang mewah. “Makasih, Mas Dokter udah kembali sama saya,” lirih Laras, mencium punggung tangan suaminya berulang kali.Dirga duduk bersandar pada punggung kursi.“Iya, Mami Sayang.” Senyum di bibirnya ini menjadi berkat bagi Laras, bahwa suaminya baik-baik saja.Sedangkan Laras bersandar di sampingnya. Satu tangan Dirga mengusap lembut perut sang istri yang masih rata."Mami mau makan apa? Dari tadi Papi lihat makannya cuma sedikit, apa karena mual?" tanya Dirga lemah lembut, mata karamelnya menunjukkan kekhawatiran.Laras menggelengkan tegas. "Nggak mual, Mas. Cuma ... takut mulas kalau kekenyangan, ‘kan mau perjalanan jauh. Sebentar lagi juga ada ma
Malam hari menyelimuti ruang perawatan Dirga. Alih-alih dipenuhi tawa dan cerita, suasana terasa berat. Draven, Dashel , dan Randy berkumpul. Namun topik pembicaraan mereka tidak jauh dari kondisi Raymond. Sedangkan Dinda yang masih lemas akibat donor darah, sudah tertidur pulas di sofa panjang. Berbeda dengan Laras berbaring hati-hati di ranjang suaminya, bersandar pada lengan Dirga, dan memeluk erat suaminya.Dirga mendengkus kasar. "Jadi dia hampir mati Randy? Bagaimana kabar Raymond sekarang? Apa dia sudah sadar?" tanya pria itu dengan nada menggebu. Meskipun masih ada emosi kebencian di sana, dan lebih dari sekadar rasa ingin tahu.Dashel menjawab sambil menghela napas, "Sudah, Bang. Tapi kondisinya ... prihatin. Dokter serumah sakit sudah tahu dia histeris hari ini, kaki kirinya harus diamputasi. Tadi sempat meronta sampai lukanya berdarah lagi.""Amputasi?" Dirga tersentak. Matanya memejam sesaat.Dashel kembali melanjutkan, "Kemungkinan Raymond harus dirawat di sini seki
Siang harinya, setelah kondisi Dirga agak stabil dan ia diizinkan keluar ruangan. Kini pioritas utamanya adalah memastikan Laras baik-baik saja. Ia bersikeras membawa sang istri untuk pemeriksaan mendesak ke dokter kandungan di rumah sakit yang sama.Bahkan ia menolak bantuan perawat untuk mendorong kursi rodanya. Tidak ingin ada yang mengganggunya bersama Laras.Sekarang di ruang pemeriksaan, Laras terlihat sangat tegang. Tubuh wanita itu tampak kaku di atas ranjang pemeriksaan. Rasa cemas yang menumpuk selama insiden kecelakaan masih terasa.Dokter kandungan yang melihat kegelisahan Laras, mencoba tersenyum menenangkan."Tenang, Bu Laras. Santai saja," imbuh dokter itu lemah lembut. "Kalau ibunya tegang terus, nanti rahimnya ikut tegang, jadi sulit diperiksa."Dirga langsung merunduk. Ia membisikkan kata-kata penghiburan tepat di telinga istrinya, "Sayang ... tenang, ya. Ada saya di sini. Tarik napas, embuskan perlahan ... semua akan baik-baik saja, kesayangan Papi.” Suara pria
“Darah gue,” gumam Dinda yang merasakan sensasi dingin dan hampa setelah tim medis selesai mengambil sebagian darahnya. Entah mengapa ia sedikit bersyukur kala dokter menyatakan darahnya sesuai dengan Raymond.Mungkin itu karena nalurinya sebagai dokter, yang dituntut menyelamatkan nyawa.Kini, kantong darah itu, yang kini berlabel O- langka, membawa serta sebagian kekuatan hidupnya untuk menyembuhkan Raymond.Dinda melihat sekilas saat perawat buru-buru membawanya menuju ruang operasi.‘Semoga aja darah gue nggak sia-sia,’ batin Dinda penuh harap, meskipun ada sedikit rasa pahit. ‘Sembuh, ya, Pak Ray. Terus tobat! Jangan ganggu hidup Laras lagi.’Dengan tubuh yang terasa lemas, Dinda kembali menghampiri Laras.Dari kursi tunggu, Laras menyambutnya dengan tatapan cemas. Ia mengulurkan tangan."Gimana, Din? Lu nggak apa-apa?" tanya Laras, sambil memperhatikan gadis itu.Dinda menggeleng tipis, lalu menyengir. "Gue lemes banget, Ras. Tapi lega ... gue udah donorin."Laras langsung memel







