Semalam, mobil rental yang dipakai Rama ditinggal di depan rumah kontrakan. Sebelum benar-benar ke desa, pria itu lebih dulu mengambil kendaraannya. Hari masih sangat gelap hingga orang-orang tidak menyadari pergerakannya, dan lagi ia memiliki kunci secara resmi.**Sementara itu di tempat lain, tubuh Laras berkeringat, embus napasnya terdengar kasar dan perutnya sedikit kram.“Akh!” pekiknya.Dirga yang terbaring di sampingnya langsung bangun dan membelalak melihat betapa gelisah sang kekasih. Ia lantas meraih tas darurat medis yang dibawa Laras, memeriksa suhu tubuh dan detak jantungnya. Cukup demam.“Sayang, bangun … Laras,” panggil Dirga, suaranya pelan dan lembut.Perlahan Laras mengerjap dan pandangannya bersirobok dengan Dirga. Seketika ia memeluk pria itu kencang, melepas kecemasan yang mendadak hadir dalam jiwa.“Dok … saya takut,” bisik Laras, tepat di depan dada bidang. Biasanya cukup dengan mendengar detak jantung Dirga sudah menenangkan, tetapi kali ini tidak.“Sayang … k
Dengan wajah bingung, Rama menerima uang dari pemilik kontrakan. Ia menatap dua orang pria di depannya. Matanya mengedar ke parkiran mobil. Di sana ada satu mobil mewah berpelat nomor tak asing.“Bilang sama Papi, jangan paksa gue nyerah!” berontak pria itu, lalu hendak masuk ke dalam. Namun dua pengawal berbadan besar dan lebih tinggi darinya sigap menahan.“Maaf, Den Rama. Atas perintah Pak Dirga, Anda harus pulang ke rumah utama.”“Apaan, sih? Gue bukan anak kecil lagi yang bisa seenaknya diatur!” teriak Rama. Beberapa penghuni kontrakan di sekitar mengintip melalui celah tirai, tak ada yang berani menolong.Pria itu diangkat paksa menuju Alphard putih. Ia bisa melihat siapa sosok yang duduk di balik kemudi.“Randi, berengsek lu! Gue anggap lu kakak dari kecil, tapi malah ngelawan gue!” Rama terus memberontak.“Sebaiknya Den Rama ikuti saja perintah Bapak. Tinggal di rumah utama jauh lebih baik daripada ngontrak di mana-mana,” tutur Randi dengan sopan dan mulai menjalankan mobil.“
Setelah beberapa saat mematung di balik pintu, akhirnya Laras melangkah mendekati ranjang. Ujung-ujung jemarinya menyapu halus sprei ungu muda hingga menyentuh lingeri ungu tua berbahan satin. Entah kapan dibelinya, Laras sadar Dirga selalu punya cara mengejutkannya.“Jadi baju ini yang disiapkannya?” gumam Laras. Pipinya masih memerah dan miliknya pun mulai berkedut. Ia ingat pernah membeli pakaian minim bahan seperti itu, tetapi belum sempat ia pakai, suaminya sudah ketahuan mempermainkan pernikahan. Sekarang ia harus menggunakan lingeri untuk menyenangkan hati ayah mertua.Laras pun duduk di tepi ranjang. Ia membelai perutnya dengan pelan. Matanya menerawang lurus membayangkan nasib apa yang akan terjadi setelah ini. Ia menarik napas panjang.“Semoga … kita tetap bersama Papi, ya, Baby,” lirihnya. Ia segera membersihkan diri dengan teliti, menggunakan wewangian yang telah dibawanya dari rumah. Dengan tubuh polos Laras kembali ke samping ranjang, diraihnya lingeri ungu tua satin itu
Suasana siang hari ini sangat kontras dengan percakapan mendebarkan tadi pagi saat sarapan. Sejak klinik dibuka, pasien anak berdatangan, ada yang dari desa lain bahkan kecamatan lain. Laras dengan telaten memeriksa mereka, termasuk berusaha menenangkan anak kecil yang takut suntik.“Bu Dokter minta maaf, ya, Sayang. Ini memang sakit sedikit, tapi supaya kamu cepat sembuh.” Suara Laras mengalun merdu di telinga. Bahkan setiap sentuhannya terasa lembut dan ringan. Ia merasa mungkin ini karena dirinya yang akan menjadi seorang ibu.Sikapnya itu tidak luput dari pengamatan Dirga yang duduk di kursi kerjanya. Ada senyum hangat di sudut bibir pria itu. Mata karamelnya memancarkan penuh puja.Setelah pasien terakhir siang ini keluar dari ruangan, dan klinik sepi, gegas Laras mengunci pintu dan menutup tirai.Dirga lalu memberikan Laras sebotol air mineral.“Terima kasih, Dokter.” Laras tersenyum manis, sengaja menyentuh jemari Dirga sebelum cepat-cepat menariknya kembali.“Sayang, jangan me
Di desa Wanasari.Malam ini, Dirga meringis karena melewatkan waktu makan siang dan makan malam. Semua jelas karena Laras yang sibuk sehingga tidak memperhatikannya. Ia juga tak ingin membuat wanita itu kelelahan, tetapi justru dirinya yang menjadi korban. Dilema memang.Akhirnya Dirga memaksakan diri untuk menyuap nasi dan sayur.“Laras … saya butuh kamu sekarang juga,” keluh Dirga sambil menatap isi mangkuk. Tidak ada selera untuk menyantapnya lagi, semua terasa hambar.Ia juga tidak bisa ke rumah Laras malam ini, trauma seperti kemarin izin kerja dan seharian tidak bertemu gadisnya. Itu jauh lebih menyiksa, karena waktu jadi sangat panjang.Untuk membuang sepi ia berniat membuat video edukasi kesehatan untuk para pengikutnya di media sosial. Ia meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja.Ada satu notifikasi pesan yang ia buka. Pupilnya melebar dan otot perut sixpack-nya menegang, membuat rasa mual makin parah. Dirga membaca pesan dari Rama. Ia tersenyum miris setelahnya
Rama terus berusaha membuka pintu unit apartemennya. Berulang kali ia menempelkan kartu akses, tetap saja panel pada pintu berwarna merah.“Argh … pintu sialan!” hardiknya sambil menendang-nendang pintu yang tetap bergeming, tidak tergoyahkan dengan guncangan itu.Rama yang hampir frustrasi pun menuju bagian informasi. Matanya merah menyala dan saraf-saraf di tubuhnya tampak tegang.“Pintu nggak bisa dibuka!” bentaknya sambil melempar kartu akses itu ke meja informasi dengan kasar.Pihak pengawas yang sudah ada di meja informasi menatap Rama dengan ekspresi tegang, sambil menempelkan telapak tangannya.“Kami mohon maaf, Pak Rama. Mulai hari ini Anda tidak bisa menempati unit apartemen yang dimaksud,” jelas sang pengawas dengan bahasa hati-hati dan nada yang sopan.Mata Rama membelalak dan urat di lehernya seolah membeku. Tangannya menggebrak meja informasi itu.“Apa maksudnua?! Ini apartemen gue! Lu pikir bisa buang gue seenaknya?!” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk pengawas, lalu lang