LOGIN“Di mana Laras?” tanya Dirga. Ia baru saja masuk ruangan praktek. Matanya menyipit tidak mendapati apa pun tentang anak didiknya itu. Biasanya Laras meletakkan tas ungu mudanya di sudut. Sekarang, bahkan aroma segar dari tubuh gadis itu saja tak tercium.
Langit memang lebih gelap dari biasanya. Namun, ini bukan malam melainkan senja hari. Jam masih menunjukkan pukul lima. Seharusnya Laras ada di klinik. “Umm … itu … Dokter Laras dan Dokter Amanda keliling,” jawab seorang perawat yang menaruh botol air mineral dan camilan untuk Dirga di atas meja. “Ke mana?” tanyanya. “Maaf, Dok. Saya—” Tiba-tiba saja terdengar suara melengking dari arah depan. “Ya, ampun Dokter Amanda!” Gegas Dirga berlari menuju sumber suara. Namun, langkahnya menjadi pelan tatkala tidak menemukan Laras bersama Amanda. Mata karamelnya beralih pada gerbang klinik. Kosong. Dirga mendekati Amanda yang dibopong perawat. “Apa yang terjadi? Di mana Laras?” berondongnya. Amanda menggeleng dan terisak. Tubuhnya gemetar. “Laras hilang, Ga. Aku udah cari, tapi nggak ketemu.” “Di mana?” Suara Dirga dingin dan sorot matanya seketika menggelap. Amanda tak menjawab. Dalam sekali gerakan Dirga meraih tubuh Amanda dari dua perawat. Wanita itu terhuyung tepat ke dada bidangnya. Sebelum sempat menempel, Dirga lebih dulu mencengkeram lengan rekannya ini. “Ke mana kamu bawa dia? Jawab!” Gema suara tegas Dirga memenuhi lobi. Matanya berkilat, rahangnya berkedut dan napasnya berembus kasar. Tangis Amanda terhenti, ia gelagapan. Matanya tidak lagi fokus pada Dirga. “Dia … hi–hilang di … hutan jati,” cicit Amanda yang langsung membungkam mulutnya sendiri. Detik itu juga Dirga melepaskan Amanda. Membiarkan wanita itu luruh ke atas lantai. Tak peduli dengan tubuh yang menggigil. “Obati dia!” titahnya pada kedua perawat. Gegas ia masuk mobilnya. Raga yang lelah setelah perjalanan ke kota tidak ia hiraukan. Hujan deras mengguyur Land Cruiser hitamnya, menerjang tanah merah lengket. “Laras,” geramnya, seraya mencengkeram setir kuat-kuat. Dirga seolah lupa caranya menggunakan rem. Hanya menginjak pedal gas. Hingga ia tiba di depan hutan jati. Diraihnya ransel hitam darurat dari jok belakang. Ia menggunakan mantel dan helm khusus. Lalu turun dengan cepat. Boots hitamnya menginjak ilalang. Senter di helm-nya menyorot setiap semak dan batang pohon. “Laras!” panggilnya. Tidak ada sahutan. Lebih dari lima tahun mengabdikan diri di pedesaan, membuatnya peka dan terbiasa dengan lingkungan. Namun, ia tidak gegabah. Dirga meninggalkan jejak supaya mudah mencari jalan. Ia menyusuri jalan setapak, memanggil lagi. Suara kerasnya tertelan deras hujan. Sesekali, Dirga berhenti, menajamkan telinga. Masih sama, tak ada suara Laras. Hampir saja ia berputar ke arah lain, sampai sorot dari senternya mengenai botol ungu pecah di tanah. Napasnya tercekat. “Laras … kamu pasti dekat sini.” Ia masuk lebih dalam, menembus ilalang basah yang menampar wajah tampannya. Jantung pria itu berpacu lebih kencang dari langkahnya. Tak sampai sepuluh menit terlewati, mata elang Dirga menemukan ransel berlogo kliniknya tergeletak di atas tanah. Ia mempercepat langkah dan …. “Laras!” pekiknya. Melihat tubuh gadis itu terbaring lemah dengan pakaian yang basah bercampur tanah. Gegas Dirga menggendong Laras. Kakinya setengah berlari, keluar dari hutan ini. Napasnya tersengal dan wajahnya menegang. Sesekali ia juga memastikan gadis itu tetap bernapas. “Bertahanlah, Laras,” gumamnya, diselimuti rasa bersalah. Sampai di mobil, Dirga meraba nadi Laras. Terasa lemah. Lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis itu. “Demam …,” gumamnya. Syukurlah pupil Laras masih bereaksi saat dicek. Dirga menyalakan pemanas mobil. Sebelum pulang, dari kotak P3K, ia menusukkan jarum infus kecil ke lengan Laras, cairan hangat perlahan menetes. Jalan menuju klinik tergenang dan terlalu jauh dalam kondisi hujan seperti ini. Sedangkan rumah pribadinya lebih dekat dan aman. Ia tak punya pilihan selain membawa Laras ke rumahnya. Begitu tiba, Dirga membaringkan Laras di atas ranjang. Tangannya cekatan melepas pakaian basah sang gadis. Kedua matanya tak berkedip sesaat menatap kemolekan gadis itu. Kulit kuning langsat yang kontras dengan seprai navy dan rambut lembab yang tergerai tak beraturan. Dirga menelan air liurnya. Ia menahan hasrat yang menggelora, sambil mengeringkan tubuh Laras menggunakan handuk. Lalu menutupinya dengan selimut tebal. “Apa kamu bisa mendengarku, Laras?” Suara Dirga berubah parau. Jemarinya menyentuh kulit Laras yang dingin. Laras mengerjap pelan. “Kamu …?” lirihnya. “Ya, ini saya. Bangunlah.” Dirga menjeda ucapannya. “Apa yang kamu butuhkan?” tanyanya. “Dingin.” Nada Laras terdengar pelan. “Tunggu. Saya ambil selimut lagi.” Dirga berdiri dari tepi ranjang. Namun, sebelum sempat melangkah tiba-tiba Laras meraih jari kelingkingnya. “Jangan pergi … temani di sini.” Suara Laras lembut dan lirih. Matanya setengah terbuka. Dirga menoleh, menatap jemari mungil yang melingkar di kelingkingnya. Detak jantungnya berdentam makin liar. “Kalau saya tetap di sini … kamu siap menanggung risikonya?” Jemari Laras masih memerangkap jari kelingking Dirga. Menahan tubuh tinggi nan atletis. Bibirnya sedikit terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya desahan samar yang terdengar. Tatapannya yang sayu terkunci pada pria itu. “Jangan pergi,” lirihnya lagi. “Laras ….” Suara pria itu tertahan di tenggorokan. Dirga seolah lupa ingatan untuk mengambil selimut. Perlahan ia naik ke atas ranjangnya.Aroma khas masakan premium memenuhi ruang VVIP eksklusif di restoran milik keluarga. Dirga memotong potongan daging steak premium di piringnya, sementara Laras menikmati hidangan ikan yang disajikan dengan mewah dan indah di sampingnya. Sebenarnya ia sayang untuk menyantap makanan ini, tetapi perutnya yang lapar tidak bisa diajak negosiasi.Tawa Dewi dan Denver sesekali menggema, menciptakan suasana yang begitu hangat, membuat Laras merasa benar-benar menjadi bagian dari keluarga Bradley. Keluarga yang bahkan tak berani ia impikan, karena ia sadar statusnya hanyalah orang biasa.‘Terima kasih, Tuhan. Sudah mengirim Papa Denver dan Mama Dewi yang baik, juga suamiku, Mas Dirga. Jaga mereka semua, Tuhan. Semoga suamiku selalu sehat, aku ingin memberinya keturunan yang lucu, sehat dan pintar,’ batin Laras, lalu melirik suaminya dengan wajah memerah. ‘Jangan dulu menua, ya, Mas. Pokoknya harus menemani saya membesarkan anak-anak kita nantinya.’Ia sadar perbedaan usia yang jauh membuatn
Hari terus berjalan, Raina tidak pernah menyangka hidupnya jatuh sehina ini. Tinggal di rumah reot di desa terpencil yang minim fasilitas. Tubuhnya makin kurus dan kulitnya tidak terawat. Kerutan di wajahnya tampak makin nyata. Bahkan setiap malam, ia harus bertarung melawan nyamuk dan udara dingin. Ia hanya tahu, Raymond-lah yang meninggalkannya di sini, dan ia berniat membalas dendam.Setelah berpikir masak-masak, wanita itu memutuskan keluar rumah pagi-pagi sekali. Nahasnya dalam guyuran hujan yang dingin, mantan istri Dirgantara itu gagal mendapatkan tumpangan kembali ke Jakarta. Setiap penolakan mobil yang lewat meruntuhkan tekadnya. "Raymond, Dirga dan kamu cewek kampung harus membayar mahal! Tapi yang pertama ... Laras. Aku bakal datang ke tempatmu dan merebut semua yang kamu miliki!" raungnya, kembali dengan langkah gontai ke rumah reot, tubuhnya sudah menggigil.**Siangnya, di tempat yang berbeda, Dirga baru saja selesai mena
Ragil masih gemetar di mobil, tatapannya tak percaya saat Randy membawanya ke sebuah rumah kontrakan sederhana dan bersih, meskipun itu di pinggiran kota. Ia disuguhi makanan lezat dan hangat, bahkan label restoran bintang lima menempel di segelnya. Tak hanya itu, ada juga pakaian ganti yang layak, diinstruksikan untuk segera membersihkan diri. Mandi air hangat pertama setelah berhari-hari di pulau asing membuat air mata Ragil menetes. Ternyata, musuh bebuyutan tuannya jauh lebih manusiawi dibandingkan Raymond atau Raina yang tega membuangnya seperti sampah. Rasa terharu bercampur dendam membakar hatinya. Begitu Ragil selesai berpakaian dan makan, Randy sudah siap dengan perekam suara di depannya. "Sekarang, Ragil," kata Randy tanpa basa-basi. "Ceritakan semua yang kamu tahu tentang penukaran obat JB Pharmacy." Randy mensetting kamera ke arah wajah Ragil. Pria tambun itu menarik napas panjang, lalu menunduk dalam-dalam. "Ini sudah berlangsung lima tahun, Randy. Awalnya, Raina h
Menunggu hari pertama Dirga kembali praktik memang melelahkan. Laras sampai tertidur, karena pasien anak dan ibu terlalu betah berlama-lama di ruang pemeriksaan.Tidak ingin membangunkan istrinya, Dirga menggendong Laras, kembali ke hotel. Sejak dari rumah sakit, semua orang memerhatikannya. Tentu saja wajahnya viral hari ini.Di kamar, Dirga sempat memeriksa sosial media. Membaca beberapa komentar warganet.[Gila, beruntung banget istrinya. Siapa sih? Jadi penasaran?][Kayaknya cewek itu menantunya, deh.][Dicerai suami, dinikahi papa mertua hot. Buset mirip judul novel online BESTie.]Dirga tersenyum tipis. "Kamu membuatku jadi pria paling iri di dunia, Sayang," bisiknya. Dirga langsung mengambil foto selfie dengan Laras, mengecup lembut pipi Laras yang masih terlelap. Wajah Laras tampak tenang dan damai dalam tidurnya. Ia mengunggahnya ke semua akun media sosialnya dengan cepat.[Selesai praktik pertama, ditemani istriku. Wanita satu-satunya yang kupilih untuk menaklukkan
Pagi harinya Raymond sudah berpakaian rapi. Ia meminta salah seorang asistennya membawakan pakaian ganti. Wajahnya lebih segar dibanding semalam. Sebelum meninggalkan klub, Raymond melempar dua puluh lembar uang ratusan ribu. “Nih, bonus untukmu. Kamu beneran masih perawan. Rasanya nikmat sekali. Sekarang kamu pulang dan jangan bersetubuh sama pria mana pun. Ingat itu!” Raymond menarik tengkuk gadis muda, memaksanya berciuman. Gadis itu pasrah sambil memegang erat selimut. Raymond bersenandung sambil keluar kamar. Setidaknya beban di pikiran sedikit berkurang. Meskipun hari ini ia harus kembali menghadapi semua masalah. Hari yang masih cukup gelap ini, digunakan Raymond untuk hal lain. Ia tidak pulang ke rumah atau mengunjungi kantor. Mobil pribadinya melesat cepat mendekati salah satu rumah mewah bergaya Eropa. Lampu-lampu masih menyala, dan petugas keamanan menjaga ketat di sana. Ia bukan ingin menerobos masuk, melainkan memantau situasi. “Pasti perempuan itu tinggal di
Helahan napas panjang terdengar dari dalam telepon genggam. Raymond basah oleh keringat. Dingin AC ruangan sama sekali tak membantu. Jemarinya mencengkeram ponsel begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Setiap detik terasa memanjang, ia ditikam oleh rasa cemas yang menusuk luar biasa. Dalam benaknya, ia melihat satu wajah yaitu Dirgantara.“Cepat katakan kenapa kamu diam saja, hah?!” hardiknya, suara pria itu menggema dalam ruang kerja.“Apartemen Reza terkunci rapat, Pak. Tidak ada yang membobolnya. Tapi—” Raymond memotong cepat, “Katakan saja intinya! Reza ada atau tidak?!”Tangannya yang menggenggam ponsel itu mulai bergetar. “Tidak ada, Pak. Menurut resepsionis, Reza berangkat dini hari ini dan belum kembali,” jelas anak buah itu dengan nada hati-hati. “Tidak mungkin Reza ikut dengan Raina ke luar negeri. Ada yang tidak beres,” gumam Raymond. Sebelah tangannya mengetuk-ngetuk pada meja kaca. “Cari tahu ke rumah Raina. Apa yang terjadi di sana. Laporkan padaku se







