LOGINDarah Laras serasa berhenti mengalir. Kata-kata Amanda barusan menghantam dadanya.
“Apa maksud Dokter?” tanyanya dengan nada lirih. Jemarinya meremas ujung jas putih yang ia kenakan. Amanda bangkit dari kursi, melangkah angkuh. Ujung hak tinggi sepatunya berdetak di lantai seakan sengaja mengintimidasi Laras. Wajah wanita itu yang dipoles make up tebal mendekat dengan senyum tajam yang menusuk. “Dirga punya urusan lain. Mulai hari ini, aku yang pegang kamu,” tukas Amanda, dengan dagu terangkat. Laras menelan ludah. Perutnya menjadi mulas. Antara takut, bingung, dan marah bercampur jadi satu. Ia ingin membantah, tetapi lidahnya kebas. Yang bisa ia lakukan hanya menunduk, menahan getaran halus di tangannya. Apa mungkin inilah alasan Dirga memerintahnya datang pagi? Sungguh sial memang, ini semua karena ia bangun kesiangan. “Kita ke Desa Sumberjati. Siapin semua barang yang harus dibawa!” titah Amanda, sambil berlalu meninggalkan Laras sendirian di ruangan. Tunggu! Ia belum mendapat briefing apa pun tentang tugasnya bersama Amanda. Bahkan Dirga saja tidak membahasnya, dan nama desa itu tak ada di urutan jobdesk-nya. Sekalipun membantu dokter lain, ia tidak boleh keluar dari Desa Wanasari. Laras mengejar Amanda, lalu berkata, “Kenapa kita ke Desa Sumberjati? Dokter Dirga nggak bilang ke saya?” “Memangnya semua urusan harus bilang ke kamu?!” sinis Amanda. “Tapi—” Amanda menghentikan langkah dan berdecak. “Kamu mau biarin pasien meninggal tanpa pertolongan?! Dokter macam apa pilih-pilih pasien?” bentaknya tepat di tengah koridor. Suara Amanda menggema, sampai beberapa staf dan pasien yang berada di ruang tunggu menoleh pada mereka. Tangan Laras terkepal di samping tubuh. Keringatnya tak henti mengalir. Kulitnya menguarkan hawa panas. Amanda membuatnya tak berkutik. Mengoyak sumpahnya sebagai dokter. Dengan suara gemetar dan penuh keraguan ia menjawab, “Baik, Dok. Saya ikut.” Sudut bibir Amanda berkedut samar. Mata tajamnya bagai pisau dua sisi bagi Laras. “Nggak ada toleransi bagi siapa pun yang bertingkah! Ingat, menolong pasien itu nomor satu.” Pandangan Amanda bergeser pada setiap staf. “Dokter Amanda memang luar biasa,” bisik seorang ibu sambil mengangguk. Laras tercekat. Rasanya ia makin mengecil di tengah sorot kagum orang-orang itu. Sesudah persiapan lengkap, Laras menggendong ransel berisi alat medis dan obat-obatan. Berbeda dengan Amanda yang berjalan santai di depannya. Tanpa membawa apa pun. Laras menghela napas. Setiap langkahnya terasa berat. Beberapa kali ia menoleh ke belakang. Ada denyut sesak dalam dada. Perjalanan ditempuh lebih dari 30 menit dengan kondisi tanah berdebu. Hamparan hutan jati dengan dedaunan kering menyambut mereka. Ilalang menutup jalan hingga setinggi pinggang, membuat langkah Laras terhambat. Rasa was-was mulai menyelinap. “Di mana rumah warga yang sakit?” tanyanya, sambil mengedarkan mata pada semak-semak. “Di dalam sana. Rumahnya memang di tengah hutan. Ikutin aja aku.” Amanda mulai melangkah. “Dokter pernah ke sini sebelumnya?” Suara Laras terdengar waspada. “Ya, kamu pikir aja sendiri.” Amanda menoleh sesaat sebelum mempercepat langkahnya. Laras setengah berlari menerjang ilalang. “Tunggu, Dok.” Punggung Laras mulai sakit, ranselnya cukup berat. Napasnya makin berat. Setiap kali melangkah, bayangan Amanda seakan menjauh. ‘Kenapa rasanya aku malah semakin tersesat?’ pikir Laras. Jantungnya berdegup tak karuan, bukan lelah, tetapi rasa takut yang kian merayap. “Dokter Amanda?” panggilnya. Tidak ada jawaban. Laras merogoh saku jas putih, berharap ponselnya bisa menunjukkan arah. Sayang, layar hanya menampilkan tulisan no signal. Dadanya makin sebak. “Dokter baik-baik aja ‘kan?” Suara Laras melemah. Gerakan bola matanya mengedar ke segala arah. Suara-suara merasuki telinganya. Entah halusinasi atau bukan. Jantungnya berdentam kuat. Pikirannya dipenuhi bayangan binatang-binatang buas. “Dokter?” teriaknya lagi. Ia berjalan mundur. Kakinya menabrak akar pohon. Tubuhnya tersungkur, membentur kerasnya tanah. “Kenapa jadi begini?” lirihnya dengan bibir gemetar. Tempat ini benar-benar asing. Bahkan sejauh mata memandang tidak ada satu pun manusia yang lewat. Laras mencoba bangkit. Ia yakin langkahnya sudah benar. Seingatnya sejak tadi selalu berjalan lurus. Sambil menggendong tas yang berat Laras berlari. Napasnya makin terengah. Namun yang ditemui justru ilalang setinggi dadanya. Ia mencoba jalan lain, tetapi selalu berputar-putar. Hingga tubuhnya lemas, keringat mengalir deras, dan tenggorokan mengering. Saat terjatuh tadi, botol airnya terguling dan retak. Isinya habis seketika. “Tolong!” Suaranya serak. Langit mulai gelap, dan kakinya tak sanggup lagi berjalan. Laras ambruk tepat di tengah kebun jati. Niatnya menjauh dari Rama dan menenangkan hati, ternyata sama beratnya. Rintik gerimis turun, perlahan berubah deras. Ia menyeret tubuhnya bersandar pada batang pohon paling besar. Melindungi kepalanya dengan backpack. Tubuhnya menggigil, pandangannya perlahan menjadi gelap. Tangan yang menopang tas terjatuh ke atas paha. “Dokter Dirga … tolong aku,” lirihnya.Aroma khas masakan premium memenuhi ruang VVIP eksklusif di restoran milik keluarga. Dirga memotong potongan daging steak premium di piringnya, sementara Laras menikmati hidangan ikan yang disajikan dengan mewah dan indah di sampingnya. Sebenarnya ia sayang untuk menyantap makanan ini, tetapi perutnya yang lapar tidak bisa diajak negosiasi.Tawa Dewi dan Denver sesekali menggema, menciptakan suasana yang begitu hangat, membuat Laras merasa benar-benar menjadi bagian dari keluarga Bradley. Keluarga yang bahkan tak berani ia impikan, karena ia sadar statusnya hanyalah orang biasa.‘Terima kasih, Tuhan. Sudah mengirim Papa Denver dan Mama Dewi yang baik, juga suamiku, Mas Dirga. Jaga mereka semua, Tuhan. Semoga suamiku selalu sehat, aku ingin memberinya keturunan yang lucu, sehat dan pintar,’ batin Laras, lalu melirik suaminya dengan wajah memerah. ‘Jangan dulu menua, ya, Mas. Pokoknya harus menemani saya membesarkan anak-anak kita nantinya.’Ia sadar perbedaan usia yang jauh membuatn
Hari terus berjalan, Raina tidak pernah menyangka hidupnya jatuh sehina ini. Tinggal di rumah reot di desa terpencil yang minim fasilitas. Tubuhnya makin kurus dan kulitnya tidak terawat. Kerutan di wajahnya tampak makin nyata. Bahkan setiap malam, ia harus bertarung melawan nyamuk dan udara dingin. Ia hanya tahu, Raymond-lah yang meninggalkannya di sini, dan ia berniat membalas dendam.Setelah berpikir masak-masak, wanita itu memutuskan keluar rumah pagi-pagi sekali. Nahasnya dalam guyuran hujan yang dingin, mantan istri Dirgantara itu gagal mendapatkan tumpangan kembali ke Jakarta. Setiap penolakan mobil yang lewat meruntuhkan tekadnya. "Raymond, Dirga dan kamu cewek kampung harus membayar mahal! Tapi yang pertama ... Laras. Aku bakal datang ke tempatmu dan merebut semua yang kamu miliki!" raungnya, kembali dengan langkah gontai ke rumah reot, tubuhnya sudah menggigil.**Siangnya, di tempat yang berbeda, Dirga baru saja selesai mena
Ragil masih gemetar di mobil, tatapannya tak percaya saat Randy membawanya ke sebuah rumah kontrakan sederhana dan bersih, meskipun itu di pinggiran kota. Ia disuguhi makanan lezat dan hangat, bahkan label restoran bintang lima menempel di segelnya. Tak hanya itu, ada juga pakaian ganti yang layak, diinstruksikan untuk segera membersihkan diri. Mandi air hangat pertama setelah berhari-hari di pulau asing membuat air mata Ragil menetes. Ternyata, musuh bebuyutan tuannya jauh lebih manusiawi dibandingkan Raymond atau Raina yang tega membuangnya seperti sampah. Rasa terharu bercampur dendam membakar hatinya. Begitu Ragil selesai berpakaian dan makan, Randy sudah siap dengan perekam suara di depannya. "Sekarang, Ragil," kata Randy tanpa basa-basi. "Ceritakan semua yang kamu tahu tentang penukaran obat JB Pharmacy." Randy mensetting kamera ke arah wajah Ragil. Pria tambun itu menarik napas panjang, lalu menunduk dalam-dalam. "Ini sudah berlangsung lima tahun, Randy. Awalnya, Raina h
Menunggu hari pertama Dirga kembali praktik memang melelahkan. Laras sampai tertidur, karena pasien anak dan ibu terlalu betah berlama-lama di ruang pemeriksaan.Tidak ingin membangunkan istrinya, Dirga menggendong Laras, kembali ke hotel. Sejak dari rumah sakit, semua orang memerhatikannya. Tentu saja wajahnya viral hari ini.Di kamar, Dirga sempat memeriksa sosial media. Membaca beberapa komentar warganet.[Gila, beruntung banget istrinya. Siapa sih? Jadi penasaran?][Kayaknya cewek itu menantunya, deh.][Dicerai suami, dinikahi papa mertua hot. Buset mirip judul novel online BESTie.]Dirga tersenyum tipis. "Kamu membuatku jadi pria paling iri di dunia, Sayang," bisiknya. Dirga langsung mengambil foto selfie dengan Laras, mengecup lembut pipi Laras yang masih terlelap. Wajah Laras tampak tenang dan damai dalam tidurnya. Ia mengunggahnya ke semua akun media sosialnya dengan cepat.[Selesai praktik pertama, ditemani istriku. Wanita satu-satunya yang kupilih untuk menaklukkan
Pagi harinya Raymond sudah berpakaian rapi. Ia meminta salah seorang asistennya membawakan pakaian ganti. Wajahnya lebih segar dibanding semalam. Sebelum meninggalkan klub, Raymond melempar dua puluh lembar uang ratusan ribu. “Nih, bonus untukmu. Kamu beneran masih perawan. Rasanya nikmat sekali. Sekarang kamu pulang dan jangan bersetubuh sama pria mana pun. Ingat itu!” Raymond menarik tengkuk gadis muda, memaksanya berciuman. Gadis itu pasrah sambil memegang erat selimut. Raymond bersenandung sambil keluar kamar. Setidaknya beban di pikiran sedikit berkurang. Meskipun hari ini ia harus kembali menghadapi semua masalah. Hari yang masih cukup gelap ini, digunakan Raymond untuk hal lain. Ia tidak pulang ke rumah atau mengunjungi kantor. Mobil pribadinya melesat cepat mendekati salah satu rumah mewah bergaya Eropa. Lampu-lampu masih menyala, dan petugas keamanan menjaga ketat di sana. Ia bukan ingin menerobos masuk, melainkan memantau situasi. “Pasti perempuan itu tinggal di
Helahan napas panjang terdengar dari dalam telepon genggam. Raymond basah oleh keringat. Dingin AC ruangan sama sekali tak membantu. Jemarinya mencengkeram ponsel begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Setiap detik terasa memanjang, ia ditikam oleh rasa cemas yang menusuk luar biasa. Dalam benaknya, ia melihat satu wajah yaitu Dirgantara.“Cepat katakan kenapa kamu diam saja, hah?!” hardiknya, suara pria itu menggema dalam ruang kerja.“Apartemen Reza terkunci rapat, Pak. Tidak ada yang membobolnya. Tapi—” Raymond memotong cepat, “Katakan saja intinya! Reza ada atau tidak?!”Tangannya yang menggenggam ponsel itu mulai bergetar. “Tidak ada, Pak. Menurut resepsionis, Reza berangkat dini hari ini dan belum kembali,” jelas anak buah itu dengan nada hati-hati. “Tidak mungkin Reza ikut dengan Raina ke luar negeri. Ada yang tidak beres,” gumam Raymond. Sebelah tangannya mengetuk-ngetuk pada meja kaca. “Cari tahu ke rumah Raina. Apa yang terjadi di sana. Laporkan padaku se







