Kebayang gak gimana Laras sekarang? nahan mau muntah T.T udah Laras terima aja bantuan Pak Dokter >
Setelah beberapa saat mematung di balik pintu, akhirnya Laras melangkah mendekati ranjang. Ujung-ujung jemarinya menyapu halus sprei ungu muda hingga menyentuh lingeri ungu tua berbahan satin. Entah kapan dibelinya, Laras sadar Dirga selalu punya cara mengejutkannya.“Jadi baju ini yang disiapkannya?” gumam Laras. Pipinya masih memerah dan miliknya pun mulai berkedut. Ia ingat pernah membeli pakaian minim bahan seperti itu, tetapi belum sempat ia pakai, suaminya sudah ketahuan mempermainkan pernikahan. Sekarang ia harus menggunakan lingeri untuk menyenangkan hati ayah mertua.Laras pun duduk di tepi ranjang. Ia membelai perutnya dengan pelan. Matanya menerawang lurus membayangkan nasib apa yang akan terjadi setelah ini. Ia menarik napas panjang.“Semoga … kita tetap bersama Papi, ya, Baby,” lirihnya. Ia segera membersihkan diri dengan teliti, menggunakan wewangian yang telah dibawanya dari rumah. Dengan tubuh polos Laras kembali ke samping ranjang, diraihnya lingeri ungu tua satin itu
Suasana siang hari ini sangat kontras dengan percakapan mendebarkan tadi pagi saat sarapan. Sejak klinik dibuka, pasien anak berdatangan, ada yang dari desa lain bahkan kecamatan lain. Laras dengan telaten memeriksa mereka, termasuk berusaha menenangkan anak kecil yang takut suntik.“Bu Dokter minta maaf, ya, Sayang. Ini memang sakit sedikit, tapi supaya kamu cepat sembuh.” Suara Laras mengalun merdu di telinga. Bahkan setiap sentuhannya terasa lembut dan ringan. Ia merasa mungkin ini karena dirinya yang akan menjadi seorang ibu.Sikapnya itu tidak luput dari pengamatan Dirga yang duduk di kursi kerjanya. Ada senyum hangat di sudut bibir pria itu. Mata karamelnya memancarkan penuh puja.Setelah pasien terakhir siang ini keluar dari ruangan, dan klinik sepi, gegas Laras mengunci pintu dan menutup tirai.Dirga lalu memberikan Laras sebotol air mineral.“Terima kasih, Dokter.” Laras tersenyum manis, sengaja menyentuh jemari Dirga sebelum cepat-cepat menariknya kembali.“Sayang, jangan me
Di desa Wanasari.Malam ini, Dirga meringis karena melewatkan waktu makan siang dan makan malam. Semua jelas karena Laras yang sibuk sehingga tidak memperhatikannya. Ia juga tak ingin membuat wanita itu kelelahan, tetapi justru dirinya yang menjadi korban. Dilema memang.Akhirnya Dirga memaksakan diri untuk menyuap nasi dan sayur.“Laras … saya butuh kamu sekarang juga,” keluh Dirga sambil menatap isi mangkuk. Tidak ada selera untuk menyantapnya lagi, semua terasa hambar.Ia juga tidak bisa ke rumah Laras malam ini, trauma seperti kemarin izin kerja dan seharian tidak bertemu gadisnya. Itu jauh lebih menyiksa, karena waktu jadi sangat panjang.Untuk membuang sepi ia berniat membuat video edukasi kesehatan untuk para pengikutnya di media sosial. Ia meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja.Ada satu notifikasi pesan yang ia buka. Pupilnya melebar dan otot perut sixpack-nya menegang, membuat rasa mual makin parah. Dirga membaca pesan dari Rama. Ia tersenyum miris setelahnya
Rama terus berusaha membuka pintu unit apartemennya. Berulang kali ia menempelkan kartu akses, tetap saja panel pada pintu berwarna merah.“Argh … pintu sialan!” hardiknya sambil menendang-nendang pintu yang tetap bergeming, tidak tergoyahkan dengan guncangan itu.Rama yang hampir frustrasi pun menuju bagian informasi. Matanya merah menyala dan saraf-saraf di tubuhnya tampak tegang.“Pintu nggak bisa dibuka!” bentaknya sambil melempar kartu akses itu ke meja informasi dengan kasar.Pihak pengawas yang sudah ada di meja informasi menatap Rama dengan ekspresi tegang, sambil menempelkan telapak tangannya.“Kami mohon maaf, Pak Rama. Mulai hari ini Anda tidak bisa menempati unit apartemen yang dimaksud,” jelas sang pengawas dengan bahasa hati-hati dan nada yang sopan.Mata Rama membelalak dan urat di lehernya seolah membeku. Tangannya menggebrak meja informasi itu.“Apa maksudnua?! Ini apartemen gue! Lu pikir bisa buang gue seenaknya?!” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk pengawas, lalu lang
Garis wajah Laras menegang. Tenggorokannya mendadak kering dan pedih. Ia menggeleng pelan. “Jangan dieksekusi, Dok,” cicitnya. Sungguh ia tidak mau Dirga tertimpa masalah berat hanya karena berusaha menolongnya. “Kenapa? Kamu masih cinta sama anakku?” tanya Dirga, bukannya menjawab pertanyaan Laras malah balik bertanya. “Saya serius, Dok!” Laras menahan geraman dalam mulutnya. Ia lantas menjauh dari pria itu, sambil memalingkan wajah. “Dan saya udah nggak cinta sama dia,” katanya getir. “Lihat saya, Sayang, jangan pikirin Rama lagi.” Dirga menarik pinggang gadisnya lagi dengan satu tangan. Lalu ia berbisik, “Mau kamu marah, nangis, atau mendesah, saya tetap nafsu dekat kamu.” Laras memutar bola mata dengan malas, lali kembali menatapnya. “Jelasin eksekusi apaan!” “Maksudnya … saya bikin Rama tertekan karena materi. Kalau anak itu kembali ke rumah utama, otomatis pergerakannya bisa saya pantau. Seperti itu,” terang Dirga, sambil menyentil kening Laras. Sebelum Laras mengaduh kesa
Setelah memastikan Dirga baik-baik saja, Devi dan Dinda turut mengajak Laras pulang. Terpaksa gadis itu ikut karena tak mau dicurigai lebih lama. Namun semalaman ini dia kesal karena teringat bagaimana seniornya menyentuh sang kekasih dengan begitu mudah.Apakah Devi sengaja? Laras mendecak di atas ranjang. Inikah yang namanya cemburu? Bahkan lebih sakitnya lagi karena ia mengandung anak dari pria yang bahkan belum ia miliki secara sah. Bagaimana kalau direbut wanita lain?Pikiran-pikiran itu membuat Laras kusut di atas ranjang. Ia memeluk guling sambil memejamkan mata. Sebelum benar-benar terlelap, ia bergumam, “Dokter Dirga … nyebelin.”Esok harinya, Laras melakukan kegiatan seperti biasa. Ia tahu sejak pagi Dirga mengamatinya dengan intens. Parahnya lagi pria itu tidak mengatakan apa pun untuk menjelaskan masalah kemarin.Bahkan saat memasuki jam istirahat, Laras bergegas menemui Dinda dan temannya yang lain.“Tumben dikasih istirahat cepet?” tanya Dinda, nadanya sedikit menyindir