Petir menyambar tanpa peduli. Fiore terduduk di depan gerbang dengan pakaian lusuh. Sudah semalaman ia menunggu, tapi tak ada seorang pun yang menghampiri.
Seluruh badannya sakit, dan ia kelaparan. Fiore menggigil kedinginan, dan matahari hampir terbenam lagi. “Aku sebenarnya punya salah apa?” Berulang kali Fiore memikirkannya. Namun, ia tak menemukan petunjuk apapun. Semuanya baik-baik saja sebelum kecelakaan. Apa ada yang terjadi saat ia tak sadarkan diri? “Atau Ayah udah tau aku bohongin Pak Joshua?” Fiore mengacak rambutnya asal. Gerakannya terhenti saat hujan tiba-tiba turun. Fiore bergegas mencari tempat berteduh. Saat itulah, ia melihat gerbang terbuka. Mobil ayahnya keluar dari kediaman Wijaya. Fiore yang gelap mata langsung berlari mengejar. Apalagi saat ia melihat sosok Rudi dan Yeni di dalam mobil. Fiore melajukan kedua kakinya secepat yang ia bisa. “Ayah! Ibu!” Fiore melebarkan tangan tepat di depan mobil yang melaju. Decit ban mobil terdengar nyaring. Teriakan kasar terdengar setelahnya. Pintu mobil terbuka. Rudi turun dengan wajah memerah menahan amarah. “Kau gila?!” Ia memaki keras. Fiore tidak tersinggung. Ia malah tersenyum. Dengan suka cita, Fiore menghampiri sang ayah dan mengajaknya bicara. “Ayah! Maafkan aku!” Fiore memohon. Di bawah hujan, dengan badan basah kuyup dan wajah memelas, Fiore berusaha membuat Rudi iba padanya. Harusnya, sehari semalam dihukum sudah cukup. “Aku janji akan jadi anak yang baik, Ayah!” Fiore menarik lengan Rudi, membujuk sekuat tenaga. Namun, ia malah mendapat pandangan jijik. “Menjauh dariku! Aku bukan Ayahmu!” Fiore menolak saat Rudi mencoba melepaskan tangannya dari genggaman. Meski Rudi membentak, memaki, atau memukulnya, Fiore bertahan. Ia tidak mau diusir. Di luar sendirian itu mengerikan. “Ayah!” Sebuah suara menyela perdebatan mereka. Di bawah derasnya hujan, seorang gadis turun dari mobil dengan berlindung pada sebuah payung. Yeni berdiri di samping gadis itu, menggandengnya. “Reina!” Rudi balas memanggil. Dalam satu kedipan mata, Rudi sudah berpindah dari sisi Fiore ke samping gadis itu. Gadis yang bernama Reina. Gadis yang memanggil ayahnya dengan sebutan ayah juga. “Si-siapa dia?” Fiore menunjuk kebingungan. Gadis yang bernama Reina itu sekarang berdiri di antara Rudi dan Yeni, tempat yang seharusnya milik Fiore! “Kenapa dia bersama Ayah dan Ibu?! Kenapa dia mengambil tempatku?!” berang Fiore. Apa gadis ini alasannya? Apa Reina adalah penyebab dari semua keanehan yang muncul dalam hidup Fiore? “Jangan bicara sembarangan!” Rudi menghardik kasar. Ia mendorong Fiore menjauh. Rudi tak peduli saat Fiore mengaduh kesakitan saat terjatuh karena ulahnya. Ia lebih mengkhawatirkan Reina yang sempat tersentuh oleh ujung jari Fiore. “Kamu yang mengambil tempatnya! Reina itu anak kami!” Fiore seketika membatu. Ia membelalak tak percaya. Apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya tadi? “Anak?” Fiore pasti salah dengar. Ia menunjuk dirinya sendiri. “Aku anak kalian! Queen Fiore Wijaya! Dia siapa?!” Fiore berusaha berdiri dengan kaki gemetar. Derasnya hujan, juga dingin yang menusuk kulit, ia abaikan sempurna. Fiore memaksa kakinya melangkah. Ia berjalan mendekat pada Rudi dan Yeni. “Dia Reina. Mulai sekarang dan seterusnya, Reina adalah satu-satunya putri keluarga Wijaya, bukan kau!” ujar Rudi angkuh. “Kalau sudah mengerti, pergilah dari sini, sebelum aku panggil polisi!” Sebelum Fiore bisa berpikir, Rudi dan Yeni sudah beranjak pergi. Bersama dengan Reina, mereka masuk kembali ke dalam mobil dan berkendara menjauh, meninggalkan Fiore. Di bawah deras hujan, berbalut gelapnya malam, Fiore menggumam sendirian. “Reina adalah putri dari Wijaya. Bukan aku.” Setelah 21 tahun, Fiore baru tahu jika dirinya bukanlah bagian dari Wijaya. Ia bukanlah anak dari Rudi dan Yeni. Lalu, sebenarnya siapa dirinya? Bruk. Tubuh Fiore meluruh ke atas tanah yang becek. Ia meringkuk di bawah hujan tanpa harapan. Tubuhnya gemetar hebat. Telinganya berdengung dan pandangannya perlahan kabur. Fiore hampir memejamkan mata saat suara klakson mobil nyaring terdengar. Silau cahaya lampu mobil tertuju lurus padanya, dan Fiore melihat seseorang turun dari sana. “Kamu enggak apa-apa?” Fiore berkedip beberapa kali. Derasnya hujan, dan kesadarannya yang tersisa separuh, membuat ia tidak yakin. Apakah sosok yang di depannya nyata? “Fiore? Kamu Fiore, kan?” Sentuhan tangan hangat di pipi membuat Fiore tersadar. Ia tidak sedang berkhayal. Fiore mengenali sosok berdiri di depannya. Badan tegap dengan postur tubuh sempurna yang tak kalah dari model majalah mancanegara, juga wajah tampan bak pahatan tanpa cela. Itu adalah Ethan, suami dari tantenya. “O-Oom….” lirih Fiore dengan suara serak. “Kenapa kamu di luar?” Ethan bertanya dengan wajah bingung. Fiore membiarkan Ethan membantunya berdiri. Ia mendapatkan tatapan bingung dari Ethan. Penampilannya memang jauh dari kata baik. “Ayo aku antar ke dalam.” Ethan mencoba membawa Fiore kembali masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Namun, Fiore menolak. Ia menggeleng sambil mengeraskan kedua kakinya. “Ayah sama Ibu lagi marah banget sama aku. Aku enggak boleh masuk.” Fiore menjawab dengan suara terbata. Tubuhnya gemetar karena kedinginan. Bibirnya membiru dan ujung-ujung jarinya membeku. “Oom, aku mau ikut sama om.” Fiore melilitkan tangannya di lengan Ethan. “Oom tega liat aku tidur di jalanan?”“Enggak perlu menyiapkan sarapan.” Ethan mengangkat tangan. Dalam sekejap, ada seorang wanita paruh baya yang mendekat. Fiore menatap sinis wanita yang berpenampilan seperti asisten rumah tangga itu. Ia langsung menyadari, jika Ethan sedang membuat pembatas di antara mereka semakin jelas. “Oke,” sahut Fiore singkat. Di saat seperti ini, Fiore tahu jika dirinya harus pintar bermain tarik ulur. Ia tidak seharusnya menarik terlalu keras di saat Ethan sedang muak padanya. “Aku sudah menghubungi Ayah dan Ibumu, tapi mereka mengatakan jika mereka sedang berlibur,” ujar Ethan sembari menarik kursi ruang makan. Bibi asisten langsung menyiapkan makanan di atas meja. Fiore yang tadinya tak suka dengan kehadiran wanita itu, sekarang jadi tersenyum. Ia tidak bisa menolak makanan enak. “Apa kamu enggak pernah menghubungi Ayah dan Ibumu?” Entah Ethan sedang benar-benar lupa atau berpura-pura lupa. Atau bisa saja pria itu memang tidak tahu apa-apa. “Aku enggak punya handphone, Oom,” jawab Fi
“Akh!” Fiore meringis saat Ethan menempelkan wajahnya di ceruk leher. Ia mencoba menggeser posisi Ethan yang menimpa bahunya. Namun, Ethan tampak terlalu sibuk mengecup leher Fiore. Kedua mata pria itu tertutup kilatan gairah. “Baiklah,” ucap Fiore sembari melebarkan kedua tangan. “Asalkan Om tanggung jawab sama aku nanti.” Malam itu tidak bisa dilewati Fiore dengan mudah. Ia harus melawan rasa sakit di saat yang sama dengan hasrat yang menggigit. Ranjang Ethan yang sebelumnya selalu dingin, kini membara, terbakar dengan hasrat mereka berdua. Fiore tak sadar kapan ia tertidur. Rasanya baru satu jam ia menutup mata saat Ethan bergerak dalam pelukannya. “Apa yang terjadi?” Suara serak Ethan menyapa telinganya Fiore. Fiore sengaja mengintip sedikit. Ia berpura-pura tidur sambil menikmati kepanikan Ethan lewat sudut mata. “Kenapa dia ada di sini?” Fiore tahu Ethan sedang membicarakan dirinya. Ia mengulum senyum dalam diam saat Ethan memaki.“Enggak mungkin aku sama Fiore–”Ethan
“Selamat pagi, Om.” Fiore meletakkan omelette yang baru saja ia buat untuk Ethan. Rumah Ethan yang besar itu tidak memiliki asisten rumah tangga yang menetap. Hanya tenaga pembersih yang kadang dipanggil saat dibutuhkan. Tidak banyak stok makanan yang ada, jadi Fiore hanya membuat menu seadanya. “Om mau minum kopi atau susu?” Fiore dengan sigap menawarkan. Meski Ethan hanya menggumam pelan dengan wajah tak tertarik, pria itu tetap duduk di meja makan. “Enak enggak?” Fiore bertanya saat Ethan mengunyah suapan pertama. Ethan tidak menjawab, hanya berdehem singkat. “Kamu sudah sembuh?”Tak mau menjawab, Fiore mengalihkan pandang. Ia berpura-pura tidak mendengar, dan malah sok sibuk menyendok makanan. “Kalau sudah sembuh, nanti malam aku antar kamu pulang setelah kerja.”Fiore berhenti bergerak seketika. Ia menarik napas dalam dan mulai mengunyah dengan tidak bersemangat. Makanan yang sudah payah ia buat langsung terasa hambar. “Bukankah kamu harus kuliah? Kamu enggak bolos kuliah
“Bawa aku, Oom.” Fiore merengek. Ia terus mendesak Ethan, membuat Ethan tak punya pilihan. “Ayah sama Ibu udah pergi. Enggak tau ke mana,” ujar Fiore. “Enggak ada siapa-siapa di rumah. Om datang mau cari Tante, kan? Tante enggak ada di sini.” Fiore tahu kedatangan Ethan untuk mencari istrinya, Natasha, adik Rudi. Ethan dan Natasha terkadang berselisih, dan Natasha biasanya kembali ke kediaman keluarga Wijaya saat mereka sedang bertengkar. “Om, aku sakit.” Fiore menunjuk arm sling yang masih setia di bahunya, kalau-kalau Ethan tidak melihat. “Ini lebih sakit dari keliatannya.” Fiore menarik ujung baju Ethan manja. Ia sengaja memejamkan mata, dan bersandar pada Ethan. “Di sini dingin….” Fiore menggumam dengan suara yang semakin pelan. Ia berniat untuk membuat Ethan iba, tapi ternyata tubuhnya memang sudah tak mampu berdiri. Ethan menopangnya, lalu membawa Fiore ke dalam pelukan. “Makasih, Om Ethan,” bisik Fiore tepat di telinga Ethan. Tak banyak yang Fiore ingat setelahnya. Ia
Petir menyambar tanpa peduli. Fiore terduduk di depan gerbang dengan pakaian lusuh. Sudah semalaman ia menunggu, tapi tak ada seorang pun yang menghampiri. Seluruh badannya sakit, dan ia kelaparan. Fiore menggigil kedinginan, dan matahari hampir terbenam lagi. “Aku sebenarnya punya salah apa?” Berulang kali Fiore memikirkannya. Namun, ia tak menemukan petunjuk apapun. Semuanya baik-baik saja sebelum kecelakaan. Apa ada yang terjadi saat ia tak sadarkan diri?“Atau Ayah udah tau aku bohongin Pak Joshua?” Fiore mengacak rambutnya asal. Gerakannya terhenti saat hujan tiba-tiba turun. Fiore bergegas mencari tempat berteduh. Saat itulah, ia melihat gerbang terbuka. Mobil ayahnya keluar dari kediaman Wijaya. Fiore yang gelap mata langsung berlari mengejar. Apalagi saat ia melihat sosok Rudi dan Yeni di dalam mobil. Fiore melajukan kedua kakinya secepat yang ia bisa.“Ayah! Ibu!” Fiore melebarkan tangan tepat di depan mobil yang melaju. Decit ban mobil terdengar nyaring. Teriakan kasar
“Maaf, pembayaran harus segera dilakukan.”Sampai di akhir masa perawatan, kedua orang tua Fiore masih juga tidak datang. Fiore sudah mencoba menghubungi ayah dan ibunya lewat telepon rumah sakit, tapi panggilannya selalu tidak terjawab. Sekarang, Fiore harus melunasi tagihan rumah sakit. Ia kebingungan setengah mati. Selain nomor kontak kedua orang tuanya, Fiore tak mengingat nomor siapa-siapa lagi. “Paling lambat, siang ini sudah dilunasi.”“Berisik!” Fiore membentak perawat yang ada di depannya. “Enggak perlu diulang. Aku sudah dengar!”Fiore juga tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Ia mau pulang, tapi bagaimana caranya?Tak ingin terus ditatap sinis oleh perawat, Fiore beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan ke koridor, lalu duduk di ruang tunggu. Di sana, ada sebuah televisi besar yang menyala. “Jaya Food Industries dikabarkan akan melakukan ekspansi….”Fiore tersentak. Mendengar nama Jaya Food Industries, ia langsung teringat dengan perusahaan sang Ayah. “Kenapa enggak ke