Masuk“Maaf, pembayaran harus segera dilakukan.”
Sampai di akhir masa perawatan, kedua orang tua Fiore masih juga tidak datang. Fiore sudah mencoba menghubungi ayah dan ibunya lewat telepon rumah sakit, tapi panggilannya selalu tidak terjawab. Sekarang, Fiore harus melunasi tagihan rumah sakit. Ia kebingungan setengah mati. Selain nomor kontak kedua orang tuanya, Fiore tak mengingat nomor siapa-siapa lagi. “Paling lambat, siang ini sudah dilunasi.” “Berisik!” Fiore membentak perawat yang ada di depannya. “Enggak perlu diulang. Aku sudah dengar!” Fiore juga tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Ia mau pulang, tapi bagaimana caranya? Tak ingin terus ditatap sinis oleh perawat, Fiore beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan ke koridor, lalu duduk di ruang tunggu. Di sana, ada sebuah televisi besar yang menyala. “Jaya Food Industries dikabarkan akan melakukan ekspansi….” Fiore tersentak. Mendengar nama Jaya Food Industries, ia langsung teringat dengan perusahaan sang Ayah. “Kenapa enggak kepikiran dari kemarin?” gumam Fiore dalam suara yang hanya bisa ia dengar sendiri. Fiore langsung berdiri. Ia menghampiri meja perawat untuk meminjam telepon rumah sakit. Jarinya menekan tombol. “Selamat pagi, dengan Jaya Food Industries. Saya–” Fiore menyela salam hangat yang menjadi ciri khas perusahaan. “Sambungkan ke Pak Rudi Wijaya.” Jika Fiore tidak bisa menghubungi handphone sang ayah secara langsung, ia bisa mencari jalan lain. Rudi pasti ada di kantor. “Maaf, apakah Ibu mau disambungkan dengan Pak Direktur, Rudi Wijaya?” “Iya!” Fiore membentak kesal. “Cepat sambungkan! Bilang dari Fiore! Pasti langsung dijawab!” Kaki Fiore menghentak kesal. Ia tidak bisa sabar, terlebih saat perawat di depannya memandang sinis. Fiore baru meminjam telepon satu menit! Kenapa ia harus mendapat decih menghina dari perawat di depannya ini?! “Baik. Silakan ditunggu.” Fiore mendengar nada tunggu yang lama sebelum akhirnya panggilannya terputus. Kedua matanya membulat heran. Bibirnya berdecak dan memaki. Ia kembali menekan tombol untuk menghubungi perusahaan. “Selamat pa–” “Sambungkan ke Pak Rudi Wijaya. Aku Fiore, anaknya!” Kesabaran Fiore habis. Emosinya sudah menggunung sampai ke leher. Ia memaki dan menyumpah. Namun, hasil yang Fiore dapatkan tetap sama. Panggilan yang diputuskan sepihak. “Apa sudah selesai?” Perawat di depan Fiore menadahkan tangan, meminta gagang telepon yang masih ada dalam genggaman Fiore. “Jangan terlalu lama. Teleponnya juga mau dipakai!” sinis sang perawat. Fiore balas mendelik tajam. Ia mendesis keras sebelum berucap dingin. “Sekali lagi. Ini yang terakhir!” Fiore mengabaikan tatapan keberatan perawat yang ada di depannya. Ia tetap menekan nomor. Nomor yang sama, tapi tujuannya berbeda. Panggilan tersambung kembali. Fiore berdehem sekali, menyesuaikan suaranya sebelum mulai bicara. “Sambungkan dengan Pak Joshua. Katakan dari Queen,” ucap Fiore. Joshua adalah salah satu manajer di Jaya Food Industries yang mengenal Fiore. Salah satu penjilat yang selalu mengambil kesempatan untuk dekat dengan ayahnya. Orang yang memujanya dengan panggilan Queen. “Halo, Pak Joshua. Bagaimana kabarmu? Ya, Ayah sedang sibuk, jadi aku mau meminta sedikit bantuan darimu.” Senyum miring terukir di wajah Fiore. Ia merangkai kebohongan untuk membuat Joshua membayar tagihannya. “Terima kasih banyak! Aku selalu bisa mengandalkanmu! Aku akan bilang pada Ayah untuk memberimu promosi bulan depan!” Fiore mengakhiri panggilan. Ia bisa melihat perawat yang ada di depannya memandang dengan tatapan jijik. Fiore mendengus dengan satu alis terangkat. “Apa?” Fiore balas menantang. “Aku sudah lunasi tagihannya. Aku mau keluar dari rumah sakit bobrok ini sekarang juga!” Fiore melangkah angkuh. Proses administrasi berjalan cepat dan ia sedang berada di dalam taksi untuk pulang ke rumah. Tak lama, Fiore tiba di depan kediaman keluarga Wijaya. “Bayar taksinya,” ujar Fiore saat satpam membuka gerbang untuknya. Di kediaman keluarga Wijaya, Fiore adalah ratunya. Tak ada siapapun yang bisa membantahnya di sini. “Fiore?” Rudi menyambut Fiore di pintu masuk. Fiore tersenyum lebar. Ia berlari menghampiri sang ayah untuk sebuah pelukan. Namun, Rudi menepisnya. “Ayah?!” Fiore tersungkur di lantai karena penolakan Rudi. Ia menatap sang ayah dengan pandangan tak percaya. “Kenapa?” Fiore tak mengerti apa yang salah. Ia bisa memaafkan ayah dan ibunya yang tidak datang ke rumah sakit karena ketidaktahuan, tapi penolakan yang sekarang maksudnya apa?! “Pergi! Keluar dari sini!” Pengusiran Rudi membuat Fiore bingung. Kenapa Rudi begitu marah padanya? Kesalahan apa yang Fiore buat? Apa karena ia menipu Joshua? “Ayah, aku bisa jelaskan–” Fiore baru mulai bicara saat ia mendengar suara langkah yang mendekat. Yeni, ibunya, berjalan menghampiri. “Ada apa?” Yeni menoleh dan melihat Fiore. Seketika, wajahnya berubah penuh kebencian. “Kenapa dia ada di sini?!” Fiore diusir untuk kedua kalinya. Kali ini, Yeni malah meminta pelayan untuk mendorongnya keluar. “Ibu!” Fiore memekik panik. Ia mengulurkan tangan berusaha menggapai tangan Yeni. “Kenapa Ibu usir aku? Aku salah apa?!” Semuanya terasa membingungkan semenjak Fiore terbangun di rumah sakit. Semua kejanggalan ini, tak ada yang bisa ia mengerti. Namun, Yeni tak peduli. Ia menepis tangan Fiore kasar. “Jangan panggil aku Ibu! Kamu bukan anakku!” Fiore diseret paksa, ditinggalkan di depan pagar kediaman Wijaya. Terduduk di tanah yang kotor, Fiore berucap lirih. “Sekarang, aku harus ke mana?”“Om!” Fiore tak tahu ini sudah ronde yang keberapa, tapi ia sudah sangat lelah. Ranjang yang mereka tempati berantakan seperti tersapu badai. Namun, tak ada tanda-tanda jika Ethan akan berhenti. “Kenapa? Kamu mau menolak?” Fiore meringis saat Ethan menggigit bahunya. “Aku mau istirahat!” Ethan mendelik tidak senang. Ia menatap tajam Fiore, mencari tahu apa Fiore hanya sedang menggoda atau serius dengan ucapannya. “Aku harus!” Fiore berdalih. Ia perlu istirahat meski semenit. Setelah Ethan melepaskan dirinya, Fiore memakai gaun tidur cepat. Ia bersusah payah berjalan ke dapur. Segelas air akhirnya bisa membasahi tenggorokan Fiore. Saat ia hendak duduk untuk beristirahat sebentar, Ethan menangkapnya. “Ide yang bagus,” ucap Ethan seraya menaikkan tubuh Fiore ke atas meja. Fiore memekik kaget. Ia sempat mencoba untuk menolak, tapi Ethan sama sekali tidak mendengar. Entah apa yang merasuki pria itu. “Bisa lakukan di tempat lain?” Fiore tak ingin berbaring di atas meja. Punggungn
“Maaf, tidak ada pegawai bernama Kania di sini.” Ini sudah club kesekian yang Fiore datangi. Ia tidak ingat karena sedikit mabuk. Setiap kali masuk ke dalam klub, Fiore akan membeli minuman. Dan itu cukup untuk membuat jalannya tidak lurus. “Ck!” Fiore berdecak keras melihat klub terakhir di depannya. “Kalau di sini enggak ada juga, aku enggak tau lagi!” Sudah tiga hari Fiore berkeliling dan mencari. Ia jadi lelah. Uangnya sudah habis untuk memesan minuman di meja bar. “Harusnya uang itu cukup untuk sebulan!” Fiore meracau geram. Namun, ucapan Ethan terus mengganggunya. Fiore merasa benar-benar diremehkan. Ia akan memastikan dirinya menepati janji, meski Ethan tak berharap apapun padanya. “Aku cari temanku. Apa ada pegawai bernama Kania di sini?”Bartender di depan Fiore menyajikan minuman, lalu menggeleng. Sudah Fiore duga. Hasilnya akan sama.Kesal, Fiore menenggak isi gelas dalam satu tegukan. Kepalanya jadi melayang sekarang. “Minuman ini enak juga,” ujar Fiore seraya menat
Sudah hari kelima dan Fiore tidak mendapatkan hasil apapun. Ia sudah bertanya ke setiap pabrik, menggunakan banyak uang untuk menyuap petugas keamanan agar bisa masuk. Namun, tetap saja Kania tidak ditemukan. Temannya itu bagai ditelan bumi. Fiore jadi menyesal karena tidak langsung mengamankan sendiri videonya. Keadaan waktu itu memang tidak memungkinkan. “Aku butuh rencana cadangan.” Fiore merasa jika ia tidak akan berhasil. Menghadapi kenyataan, Fiore memilih untuk mencoba mencari pekerjaan lagi. Kali ini, pekerjaan yang benar. Dengan laptop yang baru saja ia beli, Fiore berkutat di kamarnya semalaman. Ia mencari lowongan pekerjaan sampai tak sadar tertidur entah sejak kapan. “Loh?” Fiore mendapati tubuhnya tertutup selimut. Padahal ia yakin sejuta persen jika dirinya tak menggunakan selimut semalam. “Apa aku terlalu capek sampai lupa?”Berkeliling seharian mencari Kania memang menguras tenaga Fiore. Dan ia melakukannya lima hari berturut-turut.“Ah, ya. Ini sudah hari keenam
Fiore menarik napas dalam sebelum mengulas senyum lebar di bibir. Ia melompat memeluk Ethan. “Aku juga sayang, Om!” serunya tanpa ragu. Ethan berdecih. Ia menepis tangan Fiore yang melingkar di pinggangnya sembarangan. Fiore bahkan mendapatkan tatapan tajam.“Jika kamu tidak punya video itu, pergilah dari sini.”Fiore memasang wajah cemberut. Ia kira Ethan akan sedikit berbasa-basi setelah semua yang mereka lakukan bersama. Namun, pria itu tetap kaku seperti biasanya. “Berikan aku waktu, Om!” Fiore terpaksa memohon. Ia tak ingin meninggalkan tempat Ethan. Fiore sudah nyaman di sini. “Seminggu! Aku bakal temuin temenku secepatnya!” Fiore mengucapkan janji. Ia bahkan menjelaskan keadaan yang ia hadapi meski Ethan tidak bertanya. Fiore mengeluhkan kesulitannya saat mencari Kania. “Lima hari.” Ethan memberikan keputusan final. “Kalau kamu enggak bisa bawa bukti itu padaku dalam lima hari, kamu keluar dari rumah ini tanpa perlu aku usir.”Bibir Fiore mencebik. Ethan masih saja tega
“Om, aku pergi keluar dulu ya.” Fiore meminta izin pada Ethan. Setelah tinggal bersama, Fiore mulai terbiasa. Ia mulai menganggap dirinya sebagai bagian dari hidup Ethan, sampai repot-repot meminta izin. “Aku usahakan pulang sebelum pagi,” ujar Fiore sambil melambaikan kartu debit di tangannya. Ethan sudah memberikan bayaran Fiore, dan Fiore memang berniat menggunakannya. Ia ingin membeli beberapa hal. “Kamu mau ke mana?”Ethan mengulurkan tangan, mencegah Fiore beranjak. “Apa kamu mau menemui om-om lain?” Nada rendah suara Ethan penuh kecemburuan.Fiore mengulum senyum seketika. Ia menahan diri untuk tidak tertawa senang. “Apa yang kemarin kurang, Om?” Fiore menunjukkan bahunya yang masih terasa nyeri. Ethan memang menyerang Fiore tanpa henti. Mereka melakukannya di mana saja, di setiap sudut rumah ini. “Nanti setelah aku pulang, kita bisa melakukannya lagi,” ujar Fiore seraya mengedip menggoda. Rayuan Fiore dijawab oleh Ethan dengan sebuah decak sinis. Pria itu membuang muk
“Aku punya buktinya.” Fiore tersenyum lebar. Ia merasa ada di atas awan karena telah memegang apa yang Ethan inginkan. Namun, bukannya tertarik, Ethan malah mengabaikan Fiore. Pria itu seperti tidak menganggap serius apa yang Fiore katakan. “Aku benar-benar memiliki bukti itu, Om!” Fiore kesal karena Ethan tak percaya padanya. “Akan aku bawa pada Om sekarang!” seru Fiore keras. Ia merasa tidak dipercaya, jadi ia akan membuktikannya. Namun, baru mengambil satu langkah, Fiore malah terduduk di lantai. Suara jatuhnya begitu keras, sampai Ethan yang sebelumnya cuek jadi menoleh. Pria itu langsung menghampiri Fiore yang malah tertegun bingung. “Kamu kenapa?” Ethan mengulurkan tangan, berniat membantu. Saat itu, Fiore langsung merespon. Namun, saat tangannya yang terulur, Fiore merasakan jarinya yang gemetar. “Si kecil yang sombong,” ledek Ethan. Dalam satu tarikan, tubuh Fiore ada dalam dekapan Ethan. Pria itu menggendongnya seperti biasa. “Jangan banyak berlagak. Sadari batasan







