Nayara duduk di ruang kerjanya, menekan pelipis dengan jemari. Kepalanya berdenyut hebat, dihantam pusing akibat laporan keuangan yang tak kunjung beres.Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama Raka Mahendra terpampang di layar."Apaan, tumben banget orang ini nelepon," gumam Nayara heran. Tapi ia tak berniat mengangkat. Kepalanya sudah nyut-nyutan, ditambah mendengar suara Raka bisa bikin suasana makin kacau.Panggilan itu terus berdering, sampai lima kali. Nayara tetap bergeming. Saat panggilan keenam masuk, Nayara meraih ponselnya dengan kesal. Tapi bukan nama Raka yang muncul kali ini.Selena."Halo?" sapa Nayara dengan suara dingin."Kamu tuh gila ya, Nayara!" suara Selena langsung melengking, penuh emosi. "Berani-beraninya kamu ngancurin bisnis suami kamu sendiri! Dasar perempuan sakit jiwa!""Hah? Ngomong apaan sih kamu?" Nayara mengernyit, bingung sekaligus jengkel.Selena makin menjadi. "Mahendra Grup sekarang lagi kacau balau gara-gara virus yang kamu kasih lewat flashdisk itu! K
Nayara masih kesal sejak pagi. Wajahnya masam, matanya sayu karena tidur tak nyenyak, ditambah insiden flashdisk yang hilang tanpa jejak. Meski begitu, tak ada pilihan lain. Ia tetap harus masuk kerja ke Adinata Grup. Statusnya sebagai karyawan baru membuat Nayara tak bisa seenaknya absen, apalagi divisinya tengah kacau balau sejak dua minggu terakhir.Begitu sampai di lantai lima, Nayara langsung menuju ruangannya. Langkahnya cepat, tanpa senyum, tanpa sapa. Begitu pintu terbuka, pemandangan meja kerjanya yang berantakan seketika menyambut.Tumpukan map memenuhi hampir seluruh permukaan meja. Beberapa di antaranya terbuka, berisi print out laporan keuangan yang penuh coretan stabilo merah. Post-it berwarna-warni menempel di sana-sini, bertuliskan keluhan hingga permintaan revisi.Nayara mendesah panjang.“Ah, pusing…,” gumamnya lirih sambil menjatuhkan tubuh ke kursi.Ia sempat menutup mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai meraih map paling atas.“Kerja… kerja… ya kerja…,” ucap
Cahaya matahari pagi mulai menyusup masuk melalui celah tirai jendela kamar hotel. Nayara perlahan membuka mata, lalu menggeliat malas. Begitu menyadari kamar itu terasa sepi, Nayara mengerutkan kening.Tak ada suara televisi menyala. Tak ada suara orang berbicara. Sofa di pojok kamar kosong. Handuk yang biasanya digantung di belakang pintu kamar mandi pun sudah tidak ada.Nayara tersenyum kecil.Syukurlah. Artinya Raka sudah pergi dan tak akan mengganggunya pagi ini.Ia pun bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi. Sekitar dua puluh menit kemudian, Nayara keluar dengan tubuh yang sudah bersih, mengenakan piyama santai, dan rambut yang masih basah terbalut handuk.Saat hendak mengambil hairdryer, tiba-tiba ingatan tentang sesuatu menyelinap di benaknya. Matanya membelalak kecil.Map cokelat.Pemberian dari Rei semalam.Tanpa menunggu lama, Nayara langsung berjalan ke meja rias. Tangannya membuka laci paling atas dengan cepat. Namun isinya kosong. Dahinya berkerut. I
Malam itu, kamar Nayara yang biasanya sepi mendadak jadi medan perang kecil. Raka duduk santai di sofa pojok ruangan dengan laptop terbuka di pangkuannya, sementara Nayara mondar-mandir di depan ranjang sambil memelototi suaminya itu.“Aku bilang enggak, Ra! Jadi nyonya Mahendra enggak harus berarti sekamar sama kamu!” Nayara berseru, nadanya tinggi.Raka mendesah, lalu menutup laptopnya perlahan. Tatapannya tajam, dingin tapi tetap menawan. “Kamu kira aku mau sekamar sama kamu karena aku suka, Nay? No. Aku di sini karena perintah. Lebih tepatnya, ancaman dari Bram Adinata.”Nayara menghentikan langkahnya. “Ancaman?”“Iya,” Raka berdiri, menghampiri Nayara dengan pelan, ekspresinya datar. “Tadi siang, ayahmu itu ngasih ultimatum… kalau aku enggak mulai ‘memperlakukan’ kamu sebagai istri sah sekaligus Nyonya Mahendra di depan semua orang, termasuk di rumah ini, aku bakal kehilangan kontrak utama yang jadi nyawa perusahaan.”Nayara mengepalkan tangan. “Konyol.”“Konyol?” Raka terkekeh s
Sepulang dari Adinata Grup, Raka langsung pulang ke kediamannya. Kebetulan, di saat yang sama Nayara juga baru tiba. Keduanya turun dari mobil masing-masing hampir bersamaan.Begitu melihat Nayara, Raka menatap wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu mendesah pelan sebelum akhirnya berjalan masuk tanpa sepatah kata pun.Nayara yang diperlakukan begitu hanya bisa memutar bola matanya.“Ini orang kesambet setan mana sih?” gerutunya pelan sambil ikut melangkah masuk ke rumah, berjalan tepat di belakang Raka.Begitu masuk rumah, Raka yang biasanya langsung ke kamarnya sendiri, justru berjalan ke arah kamar Nayara.“Heh? Apa-apaan ini?” Nayara langsung panik melihat arah langkah Raka.“Kita sekamar mulai sekarang,” ucap Raka datar sambil memegang knop pintu kamar Nayara.“Heh?! Kamu gila, ya?! Aku nggak mau sekamar sama bajingan tukang selingkuh kayak kamu!” Nayara spontan menolak mentah-mentah.“Ck! Dengerin dulu, Nay!” Raka menatap Nayara dengan wajah lelah.“Apa?!” Nayara m
Nayara memutuskan untuk mengirim pesan kepada Rei."Aku lihat Selena." tulis Nayara.Tak lama, balasan Rei masuk."Terus??"Nada malas Rei di pesan itu sukses membuat Nayara mendengus kesal. Matanya melotot ke layar ponsel."Selena barusan teriak-teriak di telpon, katanya Mayunda diculik. Maksudnya apa itu?!" balas Nayara cepat.Beberapa detik kemudian, pesan Rei masuk lagi."Kamu udah buka amplop coklat yang aku kasih tadi?"Nayara mengerutkan kening. Amplop coklat itu… dia ingat masih ada di dalam tasnya, belum sempat dibuka karena terlalu sibuk kesal sama Rei."Belum." Nayara mengetik balasan singkat."Dasar keras kepala." balas Rei, lalu pesan berikutnya menyusul."Buka sekarang. Itu jawaban dari kenapa Selena panik."Nayara merogoh tasnya, mengambil amplop coklat yang tadi diberikan Rei di resto Jepang. Ia membuka pelan, menemukan beberapa lembar dokumen dan satu flashdisk kecil di dalamnya.Pandangan Nayara langsung menajam saat membaca lembaran pertama."Apa-apaan ini…?" desis