Pagi itu, kantor masih lengang. Jam baru menunjukkan pukul tujuh, namun Nayara sudah duduk di ruangannya. Wajah cantiknya tampak letih, meski riasan tipis berusaha menutupi semburat pucat di pipinya. Jemarinya mengetuk meja kayu berulang kali, irama kecil yang memantulkan gelisah dalam kepalanya.Di sampingnya, sebuah ponsel tergeletak diam. Layar hitam itu tak menampilkan notifikasi apa pun, tapi Nayara menatapnya seolah benda itu bisa hidup kapan saja dan membawa kabar yang ia tunggu.“Huft…” helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Pandangannya menerobos kaca jendela besar, menatap langit pucat yang masih malu-malu diterpa cahaya pagi. Tubuhnya ada di ruangan ini, tapi pikirannya jauh melayang—ke satu nama, ke satu sosok yang tak pernah benar-benar meninggalkannya.BRUK.Sebuah clear holder jatuh di atas meja, membuat Nayara terlonjak.“Ah! Brima! Hampir saja jantungku copot,” serunya refleks.Pria berkacamata itu berdiri tegak, ekspresinya datar, suaranya dingin.“Saya sudah meng
Ponsel Selina terus berdering di meja kaca. Layar menyala, menampilkan nama yang membuat rahang Raka semakin mengeras.Bagas.“Apa maunya dia menelepon Selina?” gumam Raka lirih, tatapannya menusuk layar itu.Selina sudah terlelap, wajahnya pucat, tubuhnya masih melemah karena efek barang narkotik yang ia hirup. Raka menatapnya sebentar, memastikan napasnya teratur, lalu dengan geram ia meraih ponsel itu. Satu sentuhan pada tombol hijau, dan suara Raka terdengar ketus.“Apa urusanmu menelepon Selina?”Di ujung sana, Bagas sempat terdiam satu detik, sebelum tawa meledak dari bibirnya. “Oh, jadi yang angkat justru kakakku yang sempurna itu? Luar biasa, Raka. Kau benar-benar tahu cara menguasai dua wanita cantik sekaligus. Nayara yang anggun, Selina yang liar. Hebat sekali, hmm?”Gigi Raka terkatup keras. “Aku sedang tidak ingin main-main. Katakan saja tujuanmu. Kalau tidak penting, aku akan matikan sekarang juga.”Tapi Bagas justru menertawakan sikap dinginnya. Suaranya penuh racun. “Ka
“Jangan angkat.”Suara Selina terdengar manja, nyaris seperti bisikan yang memohon sekaligus menuntut. Jemarinya yang lentik dengan kuku berwarna merah marun menahan ponsel Raka yang bergetar di meja kaca. Nama Rei terpampang jelas di layar.Raka terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, sorot matanya suram. Panggilan itu bukan sekadar telepon biasa—ia tahu, setiap kali Rei muncul, selalu ada sesuatu yang mengganggu keseimbangannya.Namun, semakin lama dering itu berlanjut, semakin ia merasa tidak punya pilihan. Dengan satu tarikan napas berat, Raka menepis tangan Selina lalu meraih ponselnya.“Aku harus angkat.”Ia menekan tombol hijau.“Tuan Rei. Ada apa telepon malam-malam? Sepertinya tadi urusan kita sudah selesai di kantor bukan?” Suaranya dingin, berlapis sarkasme.Hening sejenak di ujung sana. Raka menunggu, menahan napas. Namun sebelum Rei sempat menjawab, Selina menyelipkan kepalanya ke bahu Raka dan berbisik manja, cukup keras untuk terdengar.“Jangan tinggalkan aku.”Raka sontak
Suara pintu elektronik berbunyi pelan, lalu terbuka perlahan. Raka melangkah masuk ke dalam penthouse Selina. Jas hitamnya masih menempel di tubuh letih itu, dasinya longgar seolah ikut menanggung beban pikirannya. Bahunya tegang, pikirannya kusut. Sejak beberapa minggu terakhir, hampir seluruh waktunya habis di ruang rapat dan meja negosiasi—hingga tanpa sadar ia mengabaikan Selina. Malam ini, rasa bersalah mendorong langkahnya ke sini.Namun, begitu pintu tertutup kembali di belakangnya, alis Raka langsung berkerut.Suram.Seluruh penthouse elit di lantai 15 itu tenggelam dalam kegelapan yang tidak wajar. Pendingin ruangan mati, udara terasa pengap. Hanya aroma menusuk yang langsung menampar indra penciumannya—bau rokok yang tajam, dingin, dan sedikit pahit, bercampur dengan wangi parfum Selina yang samar.“Selina?” panggil Raka, suaranya rendah tapi terdengar waspada.Tidak ada jawaban.Ia melangkah lebih dalam. Sepatu kulitnya beradu dengan marmer lantai, memantul di ruang hampa.
Ruangan rapat lantai tiga puluh lima terasa terlalu sunyi setelah hiruk pikuk lelang barusan. Cahaya senja menetes masuk lewat kaca setinggi langit-langit, memantul di meja marmer hitam yang dingin. Bayangan panjang membuat suasana ruangan kaku, seolah setiap tarikan napas bisa terdengar jelas.Di balik meja itu, Nayara duduk tegak. Ekspresinya tenang, tetapi jemarinya saling bertaut di atas meja, menahan getaran halus yang hanya ia rasakan sendiri. Di hadapannya berdiri pria yang baru saja membuat satu gedung terdiam—Reinhardt Aldebaran, atau yang diperkenalkan singkat sebagai Rei, pemilik baru 10% saham senilai 1 miliar dolar.Di sisi Nayara, Raka berusaha menjaga wajah diplomatis. Sementara itu, Brima, asisten pribadi Nayara, bergerak cepat dengan map cokelat di tangannya. Suara ketukan sepatunya di lantai bergema, seolah menambah tekanan yang sudah cukup mencekik.Brima menaruh map di atas meja, lalu menunduk sedikit.“Ini, Bu Nayara. Draf perjanjian peralihan saham sudah disiapka
Lampu sorot menyorot panggung, menyilaukan ruangan yang menahan napas.Moderator berdiri tegak, palu kayu di tangannya mengetuk meja sekali.“Apakah ada yang ingin menawar lebih tinggi dari… satu miliar dolar?”Hening. Tak seorang pun berani membuka suara. Semua kepala saling menoleh, namun tak ada tangan yang terangkat. Atmosfer berubah mencekam, seakan seluruh gedung berhenti bernafas.“Baik,” suara moderator terdengar mantap, “jika tidak ada lagi yang menawar, saya persilakan penawar tertinggi maju ke panggung.”Semua mata langsung beralih.Langkah pria itu terdengar mantap, bergema di lantai marmer yang berkilau. Setelan hitamnya jatuh sempurna di tubuhnya, wajahnya tenang tapi penuh wibawa. Aura dingin menyapu ruangan.Ia berdiri di tengah panggung, suaranya berat, jelas, menusuk telinga semua orang.“Saya, Reinhardt Aldebaran, pemilik Aldebaran Grup.”Seperti ledakan, ruangan bergemuruh. Bisik-bisik pecah, wartawan berusaha maju, kilatan kamera berdesakan.“Reinhardt? Aldebaran