[Arina POV]
Akhirnya urusan kami beres. Kami menyimpan catatan dan berkas yang tadi ditambahkan oleh Bu Kristina untuk dimasukkan ke buku tahunan mereka nanti. Kami pun berpamitan, dan segera keluar dari kantor Kepala Sekolah.
"Mau makan lagi nggak?" tanya Andre.
"Eh, kamu tadi makan sebegitu banyak, masih belum kenyang? Itu perut apa karet?"
"Ya kan merayakan kesuksesan saya sebagai fotografer di Famili Advertising, sekaligus kerja sama kita yang petama," kilahnya sambil tersenyum sok polos.
"Idih, pintar sekali Bapak membuat alasan ya," cibirku.
"Ada satu tempat yang bagus, aku yakin kamu pasti akan suka tempat ini. Aku pingin mengajak kamu ke sana," katanya. Lalu ia menambahkan lagi, "Kan kemarin Bu Bos bilang kita bisa sekalian dinner," kekeh Andre.
Aku menyonyong, tapi kemudian bertanya penasaran, "Memang mau kemana sih
[Arina POV] "Wow, keren banget," seruku saat kami tiba di tempat yang sedari tadi dibanggakan oleh Andre. "Bagus kan?" Andre bertanya dengan antusias. Aku menjawab dengan anggukan dan senyum lebar. Ternyata dia membawaku ke sebuah kafe yang benama Magnolia. Ukuran kafe ini lumayan besar, dan terlihat nyaman. Andre mengajakku melihat-lihat kafe itu lebih dekat. Ia menerangkan, "Kafe ini memiliki dua bagian. Bagian luar ini biasanya dipakai untuk tempat nongkrong di malam hari. Kamu lihat di situ...," Andre menunjuk ke area di tepi halaman, "nanti kalau sudah agak malam, akan ada beberapa stan yang menjual bermacam-macam makanan dan minuman. Jadi kafe ini bisa membantu para pedagang kaki lima yang mungkin kebingungan mencari tempat untuk berjualan, mereka bisa ikut membuka usaha di sini. Di halaman ada meja dan kursi untuk pengunjung yang ingin menikmati makanan sambil ngobrol." Gaya Andre suda
[Arina POV] Aku akui Andre memang charming, tapi hari ini seolah dia mengeluarkan semua pesona yang dia punya untuk menaklukkan aku. Tatapan matanya, sikap tubuhnya, gerakan tangannya, senyumannya, hingga kata-katanya, seolah dia ingin aku tahu semua tentang dirinya. Untung pesanan Andre segera sampai di meja kami; dua gelas jus alpukat dan sepiring kentang goreng yang porsinya minta ampun banyaknya. "Silakan, Mas Andre, Mbak," kata pelayan kafe setelah meletakkan makanan dan minuman kami. "Terima kasih, Mas," kataku. "Makasih, Mas Leo. Pak Martin lagi nggak di sini ya?" Andre bertanya ke pelayan kafe itu, yang rupanya bernama Leo. "Nggak, Mas. Hari ini kayaknya nggak ke sini, ada keperluan di luar kota." "Oke deh. Makasih ya," ujar Andre, lalu Mas Leo berlalu dari hadapan kami. "Pak Martin itu b
[Andre POV] 'Jatuh cinta, berjuta indahnya....' Perkataan itu memang benar adanya. Seperti yang ku rasakan saat ini, ketika akhirnya Arina memberikan aku lampu hijau untuk bisa lebih dekat dengan dia. Semuanya terasa indah. Kalau kata orang sih, bagi orang yang jatuh cinta tahi kucing saja terasa seperti coklat. Weleh! Untung aku masih bisa membedakan benda mana yang benar-benar bisa dimakan dan yang cuma halusinasi. Memang kami belum resmi pacaran, tapi setidaknya aku punya harapan untuk itu. Mas Fajar pernah bilang padaku hati Arina itu seperti pintu lapis baja, yang digembok rangkap tiga. Maksudnya dalam hal hubungan dengan lawan jenis, dia seperti sangat membatasi diri. Arina itu perempuan yang ramah dan baik hati pada siapa saja, tak terkecuali pada lawan jenisnya, hanya saja dia baik hati dalam taraf sebagai sesama manusia, bukan untuk menjalin suatu hubungan romantis. Jadi ketika
[Andre POV] Rumah makan untuk keluarga ini memang nyaman, selain tempatnya luas, bersih, pelayanannya baik dan ramah. Teman-teman yang lebih dahulu sampai sudah berada di tempat duduk yang kami pesan, bahkan mereka sudah mulai memesan. Hanya Mas Fajar, Mbak Rere dan Bang Ucok yang belum kelihatan. Mereka masih menjemput Rena and Reno. Arin mengambil tempat duduk, dan tentu saja aku mengekor. Sayangnya di situ juga ada Cici yang langsung sumringah begitu melihat aku duduk di dekatnya. Aku tidak paham dengan perempuan satu ini. Aku sudah jelas-jelas cuek padanya, bahkan aku sudah secara gamblang menunjukkan dari sikapku bahwa aku menyukai Arin, tapi tampaknya dia belum lelah untuk mengharapkan aku. Justru aku yang jadi capek sendiri. Tepuk jidat! Aku dan Arin segera ikut memesan makanan. Kami bisa makan bersama, beli berbagai macam lauk untuk dimakan bareng. Masing-masing boleh pilih minuman da
[Arina POV] Salah satu klien setia kami adalah Diah Dewandari, penulis novel terkenal yang buku-bukunya selalu laris di pasaran. Bu Dana, bos kami, adalah kenalan baiknya. Pada satu kesempatan sewaktu mereka bertemu, Bu Bos mempromosikan kantor kami, dan menawarkan jasa jika sewaktu-waktu Mbak Diah butuh desain sampul novelnya. Aku jadi orang yang beruntung dalam hal ini. Ketika dia mencoba membuat sampul untuk novelnya yang berjudul Introspeksi, dia meminta setiap staf di kantor kami untuk membuat contoh desain sesuai dengan kreativitas masing-masing. Memang begitulah dia, hanya mau buat satu sampul novel tapi mintanya macam-macam, merepotkan orang sekantor. Tapi kami selalu berupaya untuk profesional, kami pun menyanggupinya. Dan desain buatanku lah yang dipilih oleh Mbak Diah. Suatu kebanggaan tersendiri untukku karena aku termasuk penggemar novel-novel karya M
[Arina POV] "Pak Painooo..., minta air putiiiih..., dua gelaaaas...." Pak Paino terkekeh melihat gayaku yang bernyanyi hanya untuk meminta air putih, seperti orang yang bermain opera saja. "Wah, tadi bernyanyi 'ingin marah', lalu minta air putihnya juga dengan gaya bernyanyi. Non Arin mestinya jadi pemain sandiwara radio saja." "Waduh, Pak. Masih ada ya sandiwara radio? Nggak ada yang dengerin nanti," sanggahku menanggapi usul Pak Paino yang sudah tidak sesuai zaman. Dengan penuh kebanggaan dia menyambung usulannya tadi, "Nanti saya yang dengerin, Non. Istri saya juga. Teman-teman di kantor juga." Aku menanggapi dengan cibiran, bercanda tentunya, "Kalaupun orang kantor pada dengerin, jumlahnya nggak lebih dari sepuluh orang. Stasiun radionya nggak ada yang mau, Pak. Sudah bukan zamannya lagi." Sembari mengambi
[Arina POV] "Santi..., sendirian aja nih?" Kudekati sahabat sekaligus teman kerjaku itu yang sedang sibuk dengan perangkat elektronik di hadapannya. "Enggak, bersama bayang-bayang masa lalu." Gadis itu menjawab dengan gaya dramatis. "Idih, yang nggak mau move-on," cibirku menggoda. "Pantesan nggak jadian juga sama si abang." Dia langsung manyun. "Diam kau, Squidward, atau ku tutup mulutmu pakai kartu kredit," ancam Santi dengan wajah sesinis kasir restoran bawah laut itu. Rupanya bila dia mau, Santi bisa lebih mirip si tokoh kartun itu ketimbang aku. "Uang tunai saja, Ratu. Kartu kredit berat cicilannya," selorohku menanggapi ancamannya yang tidak menakutkan. Santi memajukan bibir bawahnya. Akhirnya ia tersenyum juga. "Yang lain ke luar semua, ya? Mbak Resepsionis juga?" aku bertanya lagi. "Iya, urusan masing-masing. Kamu sudah selesai urusan ke penerbit, Rin?" sahut Santi tanpa melepaskan pandangan dari komputernya. "Sudah beres dong! Sekarang Arina tinggal santai," jawabku
[Arina POV] "Wah...." Santi terpukau ketika melihat wujud kafe Magnolia, seperti aku ketika pertama datang ke sini. Akhirnya aku bisa datang ke sini lagi, sekaligus mengajak sahabatku ke tempat asyik nan romantis ini. Kesampaian juga kami pergi dengan pacar kami, eh bukan ding, gebetan. Jadi ketahuan nih kalau ngarep. Kami berempat datang berboncengan. Awalnya aku mau kami berangkat sendiri-sendiri saja, jadi nanti bisa langsung pulang ke rumah masing-masing. Tapi pria-pria kami keberatan, lebih baik kami berboncengan saja berdua-dua. Oke lah. Aku bilang aku mau berboncengan dengan Santi, tapi gebetan Santi langsung bilang kalau dia tidak setuju. Malu katanya, masa dua pria gagah membiarkan dua wanita cantik pergi sendirian, eh pergi berdua? Cowok harus boncengin cewek, bukan cewek boncengin cewek, apalagi cewek boncengin cowok, nggak boleh! Begitulah gaya bicara Pak Pr