[POV Arina]
"Ibuuuu, aku pulang."
"Ya, Rin. Bawa apa itu?"
"Ini tadi Bu Bos ngadain acara makan bareng, masih ada sedikit sisa lauk sama sayur, lalu dibagi-bagi dengan teman-teman yang lain" ujarku sambil menyerahkan makanan dari Bu Bos.
Sebelum pulang tadi dia memberi kami sayur dan lauk dari acara makan siang, katanya sayang kalau dibuang, masih banyak pula, dia sendiri tidak mungkin menghabiskannya. Lumayan lah buat dimakan di rumah.
Ibu membuka bungkusan makanan itu. "Wah, ini sih bukan sedikit. Bu Bos kamu memang murah hati. Terus itu apa?"
Ibu melihat tas plastik berisi kemeja milik Andre di tanganku. "Baju, Bu. Kotor. Mesti dicuci."
"Loh, bukan bajumu kan? Kok kamu yang cuci?"
Baiklah, sesi interogasi dari Ibu Jaksa Agung yang terhormat segera dimulai. Aku menghela napas, lantas menjawab," Tadi aku yang bikin kotor, ketumpahan rica sama rendang. Jadi aku harus bertanggung jawab, harus nyuciin bajunya. Mahal katanya."
"Oh begitu. Tapi mukamu kayak nggak ikhlas gitu, Rin. Hehe, baju siapa itu memangnya? Iwan?"
"Bukan. Baju karyawan baru di kantor, namanya Andre."
"Oh, namanya Andre. Ganteng nggak orangnya?"
"Ah, Ibu. Kalau ngomongin cowok yang pertama ditanyain ganteng nggak."
"Ya mana tahu dia kayak yang di drama Korea itu, Lee Min Ho. Hehehe."
Biarpun ibuku sudah tua dia gaul juga. Kalau kebanyakan ibu-ibu nonton sinetron azab, atau sinetron ABG, atau Drama India, ibuku sukanya nonton Drama Korea. Mungkin ibu kadang lihat aku nonton drama Korea terus ikut-ikutan.
"Iih, Ibu tahunya cuma Lee Min Ho," gerutuku, kemudian dengan kalem menambahkan, "Kim Nam Joon, Kim Seok Jin, Jeon Jung Kook dong, Bu."
"Siapa pula itu, Rin?" Aku menyeringai. Ibu tidak tahu kalau aku menyebutkan nama anggota Boyband Korea, bukan aktor drama. Ibu bertanya lagi, "Jadi Andre ganteng nggak?"
Nah inilah ibuku, kalau nanya terus belum dapat jawaban nggak akan kelar. Dikejar terus. "Iya, ganteng. Tapi nyebelin, hobinya ngajak berantem."
"Loh, pegawai baru ya, baru kenal sudah ngajakin anak Ibu ribut. Mana orangnya? Sini biar Ibu jadiin menantu saja."
"Ibu norak banget. Belum apa-apa sudah mau dijadiin menantu, nggak nanya dulu orangnya mau apa nggak," protesku.
"Kamu mau nggak?"
"Bukan aku, Bu, tapi Andre."
"Ya besok Ibu tanyain Andre mau nggak sama kamu. Tapi kamu sendiri mau nggak sama Andre?" tanya ibu menggodaku.
Memang begitu gaya bercanda ibuku. Antara main-main dan berharap. Dahulu sekali kami pernah ngobrol soal mencari pasangan hidup. Aku pernah beberapa kali dekat dengan cowok, tapi nggak ada yang jadi. Entah apa yang membuat mereka mundur. Mungkin ada hal-hal yang mereka cari tapi tidak ditemukan dalam diriku. Mungkin aku kurang cantik, kurang kaya. Atau aku yang pasif, kurang responsif, kurang menggoda.
Kadang aku tidak paham ketika ada cowok naksir aku karena tidak ada kata suka keluar dari mulutnya, dan karena aku tidak punya rasa apapun kepadanya, aku pasif saja. Akhirnya mereka kabur. Aku memang tidak mau main-main dalam urusan cowok. Kalau ada niat mendekati ya harus serius. Kalau sekadar having fun mending nggak usah; mau having fun ya main ke pantai saja atau ke mall.
Sehubungan dengan hal itu Ibu menasehati aku, 'Rin, cowok yang kayak gitu nggak usah dipikirkan. Kamu anak Ibu yang paling cantik. Kamu pintar, mandiri. Kalau cowok itu nggak mau serius sama kamu, nggak usah dipikirin. Masih banyak yang lain.'
Ibuku ini.... Katanya aku anaknya yang paling cantik. Ya iyalah, anaknya cuma aku.
Atau lebih parah lagi Ibu pernah bilang, 'Rin, kamu cari pacar yang gantengnya kayak Lee Min-ho ya. Jangan kurang dari itu.'
Jadi ketika aku bilang kalau karyawan baru di kantor kami ganteng, Ibu langsung agresif, macam ibu dari Band Wali saja yang nyari jodoh buat anaknya
"Tau ah, Bu. Males sama sikapnya, bikin kesel," jawabku pada akhirnya.
"Tumben nih, anakku ini ditanya soal cowok jawabannya nggak tegas. Biasanya langsung bilang iya atau tidak. Memangnya bagaimana sih anaknya? Ayo dong rumpiin sama Ibu," bujuk ibu sambil senyum-senyum.
Aku memang paling nggak bisa nyimpan rahasia sama ibu. Kami sudah terbiasa terbuka, jika ada masalah atau hal penting yang terjadi pasti kami bicarakan bersama. Jadilah aku menceritakan peristiwa hari ini kepada ibuku. Ibu yang biasanya suka berseloroh sewaktu aku bercerita, kali ini tampak serius mendengarkan.
"Oh jadi begitu ceritanya. Kayaknya Nak Andre tertarik sama kamu, Rin," kata ibu setelah mendengar ceritaku.
"Nggaklah, Bu. Palingan dia cuma bercanda, main-main. Lagian dia berondong, Bu."
Ibu tersenyum, lalu bertanya, "Kamu lupa ya, Bapak dulu kan juga berondong. Hihihi."
"Ya ampun! Iya ya, Bu. Aku baru ingat. Eh, tapi kan Ibu sama Bapak cuma beda dua tahun."
"Memangnya kamu sama Andre beda berapa tahun?"
"Nggak tahu, Bu. Nggak nanya, kayak tukang sensus aja. Tadi sih dia ngomong dia baru lulus kuliah, masih kecil kan."
"Yah, siapa tahu maksudnya mau bilang baru lulus kuliah dua tahun lalu. Hehe," kata Ibu mencoba bercanda. Lalu ia melanjutkan, "Kamu sendiri gimana, Rin? Kamu semangat banget ngomongin Andre. Kamu naksir ya?"
"Entahlah, Bu."
"Kalau naksir juga nggak apa-apa. Kan baru naksir, membuat penilaian, apakah dia baik, apakah dia orang yang tepat buat kamu, juga membuat penilaian terhadap perasaan kamu sendiri, apakah kamu benar-benar tertarik sama dia, atau hanya terpesona sesaat. Dan itu butuh waktu untuk menemukan jawabannya."
"Iya, Bu. Aku tahu."
"Tadi waktu Andre menatap kamu, atau memegang tangan kamu, kamu deg-degan nggak? Ada rasa malu nggak?" Ibu kembali menyelidik.
"Eh, iya, Bu. Habis sikapnya bikin keki," jawabku tersipu-sipu.
"Baguslah! Berarti anak Ibu masih normal, bisa deg-degan waktu didekati cowok. Hehe."
"Ah, Ibu...," aku berkata malu-malu.
"Berarti Andre memang istimewa ya, bisa membuat Arin yang cuek jadi tersipu malu," Ibu menggoda lagi. Kemudia dia berkata, "Yah, kamu jalani saja, Rin. Santai saja, kalian kan baru kenal. Mungkin ada rasa tertarik atau penasaran, tapi perasaan yang sesungguhnya diuji oleh waktu. Yang penting kamu bersikap sewajarnya saja. Kalau ada ketertarikan jangan terlalu ditunjukkan. Jangan cepat-cepat memberikan hatimu. Cewek mesti jual mahal. Tapi di pihak lain jangan terlalu menjaga jarak, tetap profesional sebagai rekan kerja. Jangan membuat suasana kerja jadi tidak nyaman. Arin kan anak Ibu yang baik, pasti bisa. Dan jangan lupa kamu berdoa, meminta petunjuk dari Yang Mahakuasa, biar kamu bisa mendapatkan yang terbaik. Apapun yang terjadi, Ibu hanya ingin kamu bahagia."
"Ibu bikin baper saja," ucapku haru sambil memeluk ibu. Ibu selalu bisa menjadi tempat berkeluh kesah, memberi kesejukan di saat hidup terasa gerah. Mungkin kalau aku harus cerita ke orang lain, aku akan sungkan untuk mengakui bahwa yang terjadi hari ini sudah membuat jantungku dag dig dug. Aku khawatir ditertawakan. Tapi dengan ibu, aku bebas mengutarakan apa saja, termasuk hal yang membuat aku malu.
"Ya sudah. Mandi dulu sana, terus makan."
"Ibu makan saja dulu, aku masih belum lapar. Aku mau mandi sama nyuci baju keponakan bos, biar besok bisa aku kembalikan," kataku.
Aku mengeluarkan kemeja Andre dari tas plastik. Aku lihat noda di baju itu, tidak terlalu parah, cukup diolesi sabun dan dibiarkan sebentar, lalu dikucek, dicuci seperti biasa pasti sudah bersih lagi.
Selain noda dari rica ayam dan rendang sapi, bajunya masih cukup bersih. Kalau biasanya bagian kerah baju cenderung kotor, kemeja ini masih bersih. Dan masih tercium aroma parfum pemiliknya. Ah, jadi ingat kejadian tadi siang. Kalau tadi siang kejadian di ruang makan tadi terasa menyebalkan dan memalukan, sekarang semua jadi terasa lucu. Aku tersenyum sendiri.
"Dilihatin terus, senyum-senyum terus. Lama-lama jatuh cinta beneran loh. Atau kamu lagi mengucapkan mantra biar pemilik bajunya jatuh cinta padamu?" Ibu menggodaku lagi.
Aku memandang ibu sambil memonyongkan bibir. "Memangnya aku ini dukun? Eh, tapi aku punya mantra yang ampuh, Bu."
"Apa mantranya?"
"Perhatikan baik-baik ya. 'Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku....' Hahaha."
Ibu ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala mendengar aku menyanyikan lagu Risalah Hati. "Wah, mesti nyiapin kain pel nih, karena Andre pasti meleleh." Meledak lah tawa kami berdua. Ibu kalau bercanda suka sok muda gitu, garing jadinya.
Yang pasti sesi curhat sama ibu membuat suasana hatiku lebih baik. Aku jadi bisa menentukan sikap, dan tidak perlu malu seandainya aku naksir Andre, walau tetap aku akan simpan hal ini dalam hati. Kan baru naksir, baru menilai. Perkara nanti jadinya bagaimana, kita pikirkan nanti saja.
[POV Andre]"Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita."Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra."Istriku....""Suamiku...."Sekali lagi kami berciuman.Tapi....Itu semua hanya ada dalam khayalanku.Hah!Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri."Nggak mau," tolaknya tegas."Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan.""Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat."Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya.Manyun deh saya!"Senyum dong, Mas Andre. Nanti ga
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[POV Arina]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang bercampur aduk di dalam kalbu.Andre mulai gelisah saat orang-orang yang lewat memperhatikan kami."Sayang, masih lama nggak nangisnya? Orang-orang pada
[POV Arina]"Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu."Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini.Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani.Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar."What's up, Bro?""What's up?"Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga."Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku."Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sama lain. Waduh, statusku sudah dinaikkan?"Jiah, calon istri, Bro!" seru temannya. "Halo, Arina. Aku Bagas, teman Andre." Dia menyapaku ramah."Halo, Mas Bagas. Saya Arina." Kami bersalaman. Lalu selama sesaat
[POV Arina]Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku.Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu.Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar.Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari.Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria muda itu menyuruhku duduk dan membelikan aku minuman."Minum dulu, Arin," katanya sambil menyodorkan botol minuman yang
[POV Arina]Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku."Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu."Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya."Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu.Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah.Memang sudah waktunya makan siang. Aku dan Andre pergi dari pagi, dan sampai di Surabaya hampir tengah hari, tanpa niat untuk berhenti makan sebelum sampai