Share

4. Tom and Jerry

[Andre POV]

Astaga! Gadis satu ini menggemaskan sekali. Kepanikannya, niatnya untuk menyelesaikan masalah, dan rasa malu yang datang setelah sadar apa yang sudah dia lakukan. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku lakukan dalam hati saja.

Aku sebenarnya sudah berniat mengatakan, tidak masalah, masih banyak baju di rumah, toh aku juga salah tadi berdiri terlalu dekat dengan dia, tapi entah kenapa aku justru ingin menggodanya. Jadi aku tetap menyerahkan kemeja kotorku agar dicuci olehnya.

"Baik, Tuan Muda. Nanti saya cuci bersih, saya beri pewangi pakaian satu botol," katanya sambil tersenyum sangat manis, tapi dalam hitungan detik senyumnya hilang dan berubah menjadi tatapan penuh permusuhan.

Aku tetap memasang tampang cool, padahal dalam hati ingin tertawa menang. Ingin rasanya ku cubit pipinya yang menggemaskan itu, atau ku acak-acak rambut di kepalanya.

"Sudah sudah, ayo lanjutkan makannya," ujar Tante Dana.

"Sebentar, Bu Bos. Mau tarik napas dulu, habis perang gerilya bersama Pangeran Diponegoro," jawab Arin. Dia malah duduk di samping Santi dan minta disuapi.

Tingkahnya itu sungguh menggelikan. Aku pun mengambil dua piring, masing-masing ku isi dengan nasi dua centong, aku ambil semua sayur dan lauk yang ada di meja masing-masing satu sendok.

"Nih, makan," aku memberikan satu piring berisi makanan itu kepada Arin.

Arin tampak sedikit terkejut, mungkin tidak menyangka kalau aku sebenarnya baik. Dia menerima piring itu sambil protes, "Eh, busyet, banyak bener! Memangnya saya kuli? Tapi terima kasih loh, Tuan. Tuan malahan jadi repot melayani saya, kan saya jadi enak." Omongannya sudah santai lagi. Setidaknya dia menerimanya dan berterimakasih. Rupanya dia tidak menempatkan harga dirinya terlalu tinggi. Walau tampak keras kepala, dia ternyata bisa mengalah.

"Biar bertenaga nanti kalau nyuci baju saya, Bi," candaku. Aku melihat kursi di sebelah Arin kosong jadi aku berniat duduk di situ saja.

Lagi-lagi dia protes dengan wajahnya karena aku panggil 'Bi', tapi dia kemudian menjawab, "Baiklah, Paman." Gayanya santai membalas ku dengan memanggil aku paman. Wah, jadi paman-bibi nih ceritanya, nggak mau disebut Bibi Si Pembantu, maunya kita sejajar. Bolehlah. Saya sih setuju saja.

Dia melihatku duduk di sebelahnya, lalu memandangku dengan muka tidak senang. Tatapan matanya seolah berkata 'ngapain duduk di sini?' Aku hanya mengangkat bahu. Suka-suka gue dong, toh ini rumah tante gue. Makan-makannya juga buat menyambut gue, elo juga makan gratis.

Mbak Rere yang dari tadi memperhatikan kami sambil makan, tiba-tiba ikut nimbrung, "Arin dan Andre baru kenal sudah asyik ya. Sudah berantem-berantem gitu, kayak Tom and Jerry. Jangan-jangan nanti jadi Paman-Bibi beneran loh." Tante Dana tertawa mendengarnya dan menimpali, "Iya ya, Re. Kayak Tom dan Jerry."

Muka Arin memerah lagi, lalu dia bilang, "Klasik itu, Mbak Rere. Lagu lama. Sekarang kan jamannya K-Pop."

"Yang klasik itu tak lekang oleh waktu loh, Rin." Tak disangka Mas Fajar ikut menyahut. Arin mati kutu. Dia hanya bisa memprotes Mas Fajar dengan menunjukkan muka cemberut, dan mata melotot. Sedangkan aku tetap fokus dengan makanan di piringku, walau dalam hati aku ingin melompat-lompat dan tertawa.

Kasihan sebenarnya melihat Arin "diserang" oleh banyak pihak, tapi entah mengapa aku menikmatinya. Malahan aku ingin melihat lagi mukanya yang tersipu seperti saat aku menatapnya di kantor tadi.

Cici yang dari tadi makan sambil diam ternyata juga memperhatikan kami. Mukanya cemberut. Tapi aku tidak peduli. Malah bagus, biar dia tahu kalau aku lebih suka Arin daripada dia, jadi dia nggak akan ganggu-ganggu aku lagi.

Eh, suka Arin? Mikir apa sih aku? Hmmm.... Tapi tampaknya pertanyaan ini harus aku tanyakan pada diriku sendiri. Memang aneh sih, biasanya aku dikejar-kejar cewek, aku cuekin mereka. Sekarang justru aku ketemu cewek yang seolah tak terpengaruh oleh ketampananku, yang cuek padaku, aku malah jadi penasaran. Sebetulnya ingin ku abaikan, tapi ceweknya terlalu menarik, unik. Ibarat produk dia ini edisi terbatas, sayang kalau dilewatkan begitu saja tanpa memperolehnya.

***

[Arin POV]

Untunglah acara makan siang sudah selesai. Aku segera kembali ke ruangan kantor, sambil membawa kemeja kotor milik Tuan Muda. Lebih baik cepat pergi daripada ribut lagi dengan keponakan bos besar. Sebaiknya aku fokus bekerja. Aku nggak mau lagi melirik ke arah Andre, seberapapun kuatnya keinginan untuk itu, seberapapun gantengnya dia, walaupun dia mengawasiku, mengejekku, atau bahkan melemparkan bom molotov ke arahku, aku tidak akan terpengaruh. Aku akan diam saja, ibarat katak dalam tempurung. Eh, kok malah jadi katak dalam tempurung sih?

Tadinya kupikir, 'wah, lumayan, ada yang bening, untuk hiburan mata, bisa lihat cowok ganteng.' Ternyata yang ganteng ini nyebelinnya setengah hidup.

Syukurlah pegawai baru kami masih sibuk dengan training-nya di hari pertama, dan setelah makan siang Mas Fajar mengajak dia keluar kantor. Kata Mas Fajar mungkin besok juga masih akan keluar. Yes! Aku bersorak girang dalam hati.

Namun Cici tampak kesal. Sewaktu makan siang aku sempat melirik ke arahnya. Mukanya mendung saja. Apakah dia cemburu melihat interaksiku dengan Andre tadi? Ah, biarin saja. Aku kan juga tidak sedang berupaya manas-manasin dia, kayak sayur kemarin saja dipanasin. Semua terjadi begitu saja, aku harus bagaimana coba? Andre yang ngajakin berantem, dia yang mulai saya hanya membela diri.

Lebih baik tidak bicara dengan Cici dulu kalau tidak benar-benar perlu. Kalau Cici sedang tidak senang, dia bisa jadi macan walau tidak sedang PMS. Tapi sebenarnya dia baik kok. Cuma mungkin karena dia sudah ingin menikah, makanya ketika ketemu cowok ganteng gitu dia langsung mepet.

Maklum dia anak pertama dari tiga bersaudara, kedua adik perempuannya sudah menikah semua. Tinggal dia sendiri yang belum menikah. Dia pegawai perempuan paling tua di sini, yang belum menikah. Umurnya 28 tahun, satu tahun lebih tua dari aku. Sedangkan Santi yang paling muda, 26 tahun. Meskipun usia kami beda kami sepakat untuk panggil nama saja, biar lebih akrab.

Aku sendiri meskipun sudah 27 tahun, tidak ada tekanan untuk cepat menikah. Ibu orangnya santai. Aku anak Ibu satu-satunya, buat Ibu yang terpenting adalah kebahagianku. Ibu tahu tidak mudah bagiku untuk membuka hati pada sembarang pria. Jadi kalau aku belum ketemu orang yang tepat, Ibu tak memaksaku untuk menikah. Malah senang katanya punya teman di rumah. Kalau aku menikah aku harus ikut suami, dan Ibu harus sendiri.

Tapi tidak demikian halnya dengan Cici yang kedua adiknya sudah menikah, orang tuanya mungkin sering menanyakan soal kapan dia akan menikah. Itu pasti mengesalkan dia. Jadi bisa dimaklumi kalau dia sensitif soal hubungan dengan lawan jenis. Mungkin selama ini Cici punya standar tinggi dalam memilih pasangan, maunya yang ganteng, yang sempurna di luar, dan punya keindahan di dalam. Satu di antara sejuta itu, Ci. Ketemunya besok waktu lebaran kucing.

Siang ini berlalu dengan cepat karena kami fokus dengan pekerjaan masing-masing, hingga tak terasa sudah waktunya kami pulang. Syukurlah Cici banyak pekerjaan, jadi dia bisa fokus ke situ, ketertiban dan keamanan kantor tetap terjaga.

Aku memandangi kemeja kotor milik Andre yang ada di tas plastik. Rasanya ingin aku bakar saja kemeja itu, tapi nanti aku tidak sanggup mengganti dengan yang baru, kan katanya harganya mahal. Lagian nanti dikira aku tidak berperikebajuan. Jadi terpaksa aku membawanya pulang dan nanti aku cuci di rumah.

Aku melewati ruang resepsionis, di sana masih ada Mbak Rere. "Duluan ya, Mbak. Mbak Rere nggak pulang sekarang?" 

"Masih menunggu suami. Jerry nggak nunggu Tom juga?"

"Iih, Mbak Re, ngapain sih tadi ngomentari Tom and Jerry gitu? Aku malu tahu. Nanti dikira aku ngarepin Andre," sungutku.

Mbak Rere tertawa dan berkata, "Habisnya kalian berdua lucu banget, beneran kayak kartun Tom and Jerry. Terus Andre pegang tangan kamu sambil menatap gitu... hihihi. Jadi ingat waktu pacaran sama Mas Fajar dulu."

"Memang Mbak Rere sama Mas Fajar dulu gitu ya? Kayak Arin sama Andre? Wah, berarti kalian jodoh, Rin. Cie cieee," Santi yang juga belum pulang ikutan nimbrung.

"Ini juga anak kecil ikut-ikutan," hardikku. "Weeek..," Santi menjulurkan lidahnya kepadaku.

Masih sambil tertawa kecil Mbak Rere bicara lagi, "Iya, awalnya begitu. Mas Fajar suka ngajak ribut, godain, ngejekin, apa saja lah yang penting dapat perhatianku. Dan ternyata akhirnya begini kan," Mbak Rere memamerkan cincin di jari manisnya. "Buntutnya (anak) sudah dua lagi. Hihihi."

"Tapi kan Andre nggak mungkin suka aku, Mbak. Cowok seganteng dia banyak yang naksir, yang lebih cantik dari aku pasti juga banyak. Umurnya lebih muda dari aku, pasti dia nyari yang seumuran atau lebih muda. Bisa saja dia sudah punya pacar. Kami juga nggak selevel, dia keponakan Bu Bos, orang kaya. Aku cuma orang biasa."

"Rin, nggak ada yang tahu isi hati orang. Apa yang kita lihat dari luar, belum tentu sama dengan yang di dalam. Siapa tahu, dia suka wanita yang lebih tua, bisa memanjakan dia. Hehe... Lagian kamu sudah mikir soal level segala. Jangan-jangan kamu sebenarnya naksir Andre, Rin? Hahaha."

Aduh, Mbak Rere malah mengejek aku. "Bukan begitu, Mbak. Aku cuma realistis. Dan tolong ya, jangan membangkitkan cinta sebelum diinginkannya," kataku diplomatis.

Mbak Rere tergelak. "Hahahaha.... Iya iya. Santai, Non."

"Berarti kalau sudah diinginkan boleh dong dibangkitkan," Santi nyosor lagi.

"Aaaaa.... Aku pulang ya. Dadaaah.... Bye bye," ucapku seraya kabur. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status