[Andre POV]
Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.
Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.
Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!
Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati aku berharap Arina sampai di kantor pagi juga. Aku berucap dalam hati kalau aku ketemu Arina pagi ini berarti kami jodoh. Norak betul diriku ini. Hehehe
Aku berjalan menuju kantor sambil bersiul. Dari kejauhan aku mendengar suara tawa seseorang dari dalam kantor. Seulas senyum mengembang di bibirku.
"Hahaha, ya ampun lucunya. Arthur bikin gemes, pingin peluk... Iya iya, kapan-kapan deh ke sana lagi. Titip cium dong... emuaah. Hahaha."
Astaga! Pembicaraan macam apa itu tadi? Siapa pula itu Arthur? Saat aku masuk ruang kantor si pemilik suara tawa tampak kaget melihatku, dan buru-buru bicara lagi di ponselnya, "Eh, sudah dulu ya. Pak Mandor sudah datang. Kamu buruan berangkat, telat nanti. Bye!"
Dia mengakhiri panggilan suaranya, lalu melihat ke arahku sambil tersenyum dan menyapa, "Selamat pagi, Tuan Muda. Apa kabar? Rajin sekali pagi-pagi sudah sampai kantor."
Tadi aku disebut 'Pak Mandor', sekarang dipanggil 'Tuan Muda'. Mungkin dia punya penyakit 'naming mania', penyakit suka ngasih nama atau sebutan ke orang. "Hai, Arina. Kenapa harus diakhiri teleponnya? Santai saja, belum waktunya mulai kerja, masih pagi," kataku seraya mendekati mejanya dan duduk di kursi tidak jauh dari situ.
"Memang sudah saatnya pembicaraan kami diakhiri. Time is up, Bro," kata Arin santai.
"Oh, memang teleponan sama siapa sih tadi? Ngomongin siapa? Asyik banget kayaknya," tanyaku sambil berupaya tidak kelihatan penasaran.
Yang ditanya langsung memandangku sambil tersenyum menggoda, "Uuh, kepo ya? Mau tahu aja atau mau tahu bulat? Kalau mau tahu aja beli di warung, kalau mau tahu bulat beli di mas-mas yang keliling naik mobil. Hahaha."
"Hahaha...," aku tertawa nggak ikhlas mendengar gurauannya yang tidak bermutu. Masih penasarannya sebenarnya, tapi jaim dulu lah.
"Eh iya," katanya lalu mengambil sesuatu dari bawah meja, sebuah tas kertas. Ia menyerahkannya padaku sambil berkata, "Ini bajunya, Tuan Muda. Sudah saya cuci, bersih, wangi, rapi. Boleh dicek. Jangan lupa tipsnya dong."
"Wah, cepat sekali. Ibumu buka laundry kah? Makasih, Arin." Aku melihat isi tas itu, bajuku yang sudah bersih lagi dan tercium aroma pewangi pakaian. "Ini sungguhan diberi pewangi satu botol?"
"Dua botol malahan. Hahaha," candanya. "Dan sekadar informasi, ibuku nggak buka laundry ya. Ibuku seorang penjahit. Yang jadi tukang cuci itu saya, Pak."
"Oh, kamu sungguh calon ibu rumahtangga yang baik," lontarku sedikit menggodanya. "Ah, Bapak bisa saja," katanya sambil mengayunkan tangan kanannya, kemudian menutupi mukanya seperti orang yang sedang malu. Entah ini malu sungguhan atau malu jadi-jadian, aku tidak tahu. Tapi kalau manisnya memang sungguhan, nggak bosan aku melihatnya, sungguh.
"Ini deh tipsnya," ujarku sambil memberinya satu bungkus onigiri yang tadi kebetulan aku beli untuk sarapan. Biasanya aku hanya beli satu, tapi tadi aku beli dua. Maksudku mau berbagi dengan Mas Fajar, tapi karena ada Arin aku berikan ke Arin saja. Mas Fajar bisa beli sendiri. Toh dia pasti sudah diberi sarapan oleh istrinya. Hehehe
Arin menerimanya dengan mata berbinar, "Wah, ini kesukaanku. Makasih, Andre."
"Oh jadi makanan kesukaan kamu onigiri ya?"
"Arin mah makanan kesukaannya semua yang bisa dimakan. Kalau meja bisa dimakan, pasti sudah habis dari dulu," kata seseorang yang tiba-tiba ikut nimbrung pembicaraan kami. Mas Fajar sudah datang, dan di belakangnya ada Mbak Rere yang melambaikan tangan dan tersenyum ke arah kami.
"Mas, kalau Mbak Rere bisa dimakan sudah aku makan dari dulu loh, biar Mas Fajar nggak punya istri cantik kayak Mbak Rere lagi," ucap Arin dengan nada serius, tapi terlihat sekali dari wajahnya dia menahan tawa.
"Waduh, kanibalisme," seru Mas Fajar.
"Kok malah aku yang mau dimakan? Makan Andre saja itu yang tulangnya masih muda," seloroh Mbak Rere.
Aku yang masih berupaya mencerna candaan mereka jadi kaget mendengar namaku disebut sebagai makanan. Gaya bercanda karyawan Famili Advertising ternyata semacam ini. Baiklah.
"Nggak doyan ah, pahit," kata Arin sambil memasang raut muka seolah sedang makan sesuatu yang pahit.
"Yang pahit gitu kan bikin nafsu...," kata Mas Fajar. "Nafsu makan maksudnya, Rin. Kayak jamu daun pepaya, pahit tapi bikin nafsu makan. Hehehe," tandas Mas Fajar setelah melihat Arin melotot.
"Males ah, ngomong sama Mas Fajar. Nggak ada yang benar, absurd," ucap Arin dengan nada putus asa.
"Nanti kalau omonganku benar mesti diturut loh ya," pesan Mas Fajar. Arina memandangnya dengan muka cemberut, mulutnya kembali mengucapkan kata 'males' tapi kali ini tanpa bersuara.
"Sudah sana pergi, Mas, kesiangan kamu nanti," kata Mbak Rere menengahi pembicaraan childish tak berujung ini.
"Oke deh, Honey. Ayo Andre," kata Mas Fajar kepada istrinya dengan nada mesra, yang dijawab dengan cubitan mesra pula. Weleh, pagi-pagi sudah mesra-mesraan di kantor, nggak sadar ada pria tanpa cinta di sini.
Aku pun menjawab, "Siap, Mas."
"Pergi dulu ya, Mbak," aku pamit ke Mbak Rere. "Dadah, Arin. Makasih bajunya." Yang terakhir ini aku tambah senyuman manis.
Arin hanya menjawab dengan lambaian tangan dan membalas senyumku. Mbak Rere juga melambaikan tangan seraya berpesan, "Hati-hati ya, Andre. Tolong jaga suamiku baik-baik."
"Beres, Mbak. Tenang saja."
Kami baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Mas Fajar berhenti lagi, dia menengok ke arah Arin dan berkata, "Arin mau nitip nggak?"
Arin melihatnya dengan rasa penasaran lalu bertanya, "Wah, bisa nitip nih? Enaknya nitip apa ya, Mas?" Dia menanti jawaban Mas Fajar dengan penuh pengharapan.
"Nitip jagain Andre," kata Mas Fajar kalem.
"Mas Fajaaaaar," teriak Arin sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah Mas Fajar seolah akan memukulnya.
Mbak Rere tertawa mendengar keributan yang mereka buat. Sedangkan aku hanya terpukau melihat muka Arin yang memerah karena kesal dan malu. Perempuan ini jadi terlihat makin imut.
"Sudah, Ndre. Jangan ngelihatin Arin terus, nggak jadi pergi nanti," kata Mas Fajar sambil meringis. Aku pun ikut meringis.
Akhirnya kami benar-benar meninggalkan ruangan kantor menuju tempat parkir sepeda motor. Kami sempat berpapasan dengan Cici yang baru datang. Dia menyapa kami sambil senyum-senyum, "Pagi, Mas Fajar. Pagi, Andre. Hihihi." Aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyum sopan. Lebih baik tidak memberi harapan palsu, menempatkan diri sepatutnya saja, supaya Cici juga tahu diri.
Untung dia sudah tidak memaksa untuk memanggil aku dengan sebutan 'mas'. Risi aku mendengarnya.
"Jadi... kamu pilih Arin atau Cici?" Mas Fajar tiba-tiba bertanya padaku setelah Cici sudah tidak nampak lagi.
"Maksudnya gimana, Mas?" tanyaku pura-pura bego.
Mas Fajar menyeringai sambil geleng-geleng kepala. "Baiklah, lupakan saja, Nak Andre," katanya sambil menaikkan kedua alisnya dan menepuk-nepuk pundakku, lalu kembali berjalan untuk mengambil helmnya.
"Eh, kalau Arin gimana, Mas?" sahutku cepat-cepat. Sayang banget kalau kesempatan untuk dapat info gratis begini dilewatin. Mas Fajar kembali menyeringai seperti seorang pemancing yang kegirangan karena ada ikan yang nyangkut di kailnya.
"Jadi Arin nih...?" tanyanya lagi. "Iya iya, Arin. Gimana, Mas?" desakku tidak sabar seperti kucing disodori ikan. Sudah terlanjur, tanggung kalau mundur. Lagian Mas Fajar yang membuka pembicaraan ke situ, bukan aku.
"Kalem, Bro. Traktir makan siang yang enak dulu dong, baru dapat info. Hehehe," kata Mas Fajar. Wah, rupanya saya berurusan dengan anggota kelompok oportunis nih.
"Beres, Mas. Mau makan apa? Nasi? Mie? Bakso? Ikan? Masakan Jawa? Manado? Padang? Chinese food? Atau western food? Saya traktir sampai kenyang," ujarku yakin.
"Wuih, keren! Arin nggak salah pilih kalau dia naksir kamu."
"Serius, Mas? Arin naksir aku?," tanyaku antusias.
"Kalau, Ndre... Aku bilang kalau. Hahaha," Mas Fajar tertawa menggodaku. "Sudah ayo berangkat dulu. Arin masih menanti, tenang saja. Belum ada yang punya kok. Hehehe... Naik motormu ya."
"Siap, Mas!" ujarku bersemangat sambil menghidupkan sepeda motor. Jadi Arina belum punya kekasih? Baguslah!
Walaupun oportunis, setidaknya Mas Fajar bermanfaat untuk jadi nara sumber. Pokoknya traktiran makan siangnya mesti dapat imbal balik yang layak. Dan satu lagi, aku mesti dapat dukungan dari Mas Fajar, jadi langkahku untuk mendekati Arin lebih mudah.
[Arina POV]Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria."Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini."Pagi, Cici," kataku."Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia.""Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik."Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa ria
[Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."
[Arina POV]"Santi...,""Hmm....""Ada apa dengan Santi dan Abang Ucok Baba?"Itu pertanyaan yang aku ajukan pada Santi ketika kami berdua ke luar untuk makan siang hari ini. Dan bukan Santi namanya kalau langsung menjawab. Hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum tersipu-sipu."Sudah seberapa jauh pendekatannya?" aku coba bertanya lagi."Ah, apaan sih, Rin? Belum ada apa-apa juga. Paling kalau ketemu cuma saling pandang, senyum-senyuman gitu.""Kalian sudah kerja bareng sekian tahun, tapi kok ya tidak ada yang inisiatif untuk bergerak? Kalian memang perlu dijodohkan, perlu dikompori, perlu dicomblangi," kataku dengan terus terang.Santi hanya plintat-plintut tidak jelas. Akhirnya aku bertanya, "Kamu sendiri suka sama Bang Ucok?" Dia tersipu-sipu lagi. "Baiklah, tidak usah dijawab. Saya sudah tahu jawaban Tuan Pu
[Arina POV] Hari ini indah sekali. Matahari bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, bunga-bunga bermekaran. Anak-anak riang bermain bola di lapangan rumput. Aku merentangkan tangan menikmati kebebasan. Hembusan angin begitu menyegarkan jiwa, menerbangkan rambutku yang terurai lepas. Senyum pun tak henti menghiasi wajahku. "Arin...," suara yang begitu hangat memanggil namaku. Aku menengok dan melihat Andre yang sedang berjalan ke arahku dengan senyuman manisnya. Dia menyembunyikan tangannya di belakang punggung, seperti sedang membawa sesuatu. Dia tampak begitu tampan dengan setelan celana putih, dan kemeja putihnya. Aku membalas senyumannya. Saat dia sudah mendekat akhirnya dia menunjukkan apa yang selama ini dia sembunyikan di belakang punggungnya; seikat bunga. Bunga lily warna putih yang masih segar dan cantik. Dia memberikan bunga itu kepadaku, dan aku menerimanya. Wanginya membuat sen
[Andre POV] Bu Reni Darmanto ternyata menurunkan 90% sifatnya ke anak perempuannya. Mereka betul-betul mirip, keramahannya, kelucuannya, juga sifat murah hatinya. Dan baru sebentar aku kenal Bu Reni, aku bisa melihat bahwa dia adalah ibu yang sangat baik. Tak heran, walaupun tidak lagi memiliki ayah, Arin bisa tumbuh dengan baik. Kali pertama mengenal Bu Reni aku sudah bisa langsung akrab dengannya. Aku bisa merasakan bahwa Bu Reni menyukaiku, dan seperti ada kode tersembunyi bahwa dia ingin aku dekat dengan anak perempuannya. Sebuah langkah bagus untuk mendekati Arin. Dan hari ini akhirnya untuk kali pertama aku bisa pergi dengan Arina, mengerjakan proyek buku tahunan untuk SMA Cakrawala. Jika kemarin aku kurang menikmati pekerjaanku dan hanya fokus untuk segera selesai, hari ini aku bahkan rela seandainya aku harus bekerja sampai malam. Hitung-hitung one day with Arin. Kemarin ketika bersam
[Arina POV] Ya ampun! Andre apa-apaan sih tadi? Ngajak ribut di tempat umum, bikin malu saja. Apa coba alasan dia marah-marah padaku? Perundungan? Yang benar saja. Kami berada di sekolah yang sedang melangsungkan kegiatan belajar mengajar, masih banyak orang di dalam kelas, bahkan ada beberapa guru yang tampak di luar ruangan. Kalau memang aku dirundung, aku bisa berteriak minta tolong, atau aku bisa lari, atau bahkan aku bisa memukul anak-anak itu untuk sekadar membela diri. Jadi itu tidak mungkin sekali. Memangnya aku bodoh? Atau jangan-jangan Andre cemburu? Ya ampun! Cemburu dengan bocah macam mereka? Anak SMA yang masih bergantung pada orang tua mereka, yang belum tahu bagaimana cari uang sendiri? Sangat tidak masuk akal! Memang tadi sewaktu kami bertemu di ruang pemotretan ketiga anak itu menggodaku. Juga setelah aku hendak kembali dari toilet mereka me