Share

6. Pilih Arin atau Cici?

[Andre POV]

Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.

Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.

Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!

Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati aku berharap Arina sampai di kantor pagi juga. Aku berucap dalam hati kalau aku ketemu Arina pagi ini berarti kami jodoh. Norak betul diriku ini. Hehehe

Aku berjalan menuju kantor sambil bersiul. Dari kejauhan aku mendengar suara tawa seseorang dari dalam kantor. Seulas senyum mengembang di bibirku.

"Hahaha, ya ampun lucunya. Arthur bikin gemes, pingin peluk... Iya iya, kapan-kapan deh ke sana lagi. Titip cium dong... emuaah. Hahaha."

Astaga! Pembicaraan macam apa itu tadi? Siapa pula itu Arthur? Saat aku masuk ruang kantor si pemilik suara tawa tampak kaget melihatku, dan buru-buru bicara lagi di ponselnya, "Eh, sudah dulu ya. Pak Mandor sudah datang. Kamu buruan berangkat, telat nanti. Bye!"

Dia mengakhiri panggilan suaranya, lalu melihat ke arahku sambil tersenyum dan menyapa, "Selamat pagi, Tuan Muda. Apa kabar? Rajin sekali pagi-pagi sudah sampai kantor."

Tadi aku disebut 'Pak Mandor', sekarang dipanggil 'Tuan Muda'. Mungkin dia punya penyakit 'naming mania', penyakit suka ngasih nama atau sebutan ke orang. "Hai, Arina. Kenapa harus diakhiri teleponnya? Santai saja, belum waktunya mulai kerja, masih pagi," kataku seraya mendekati mejanya dan duduk di kursi tidak jauh dari situ.

"Memang sudah saatnya pembicaraan kami diakhiri. Time is up, Bro," kata Arin santai.

"Oh, memang teleponan sama siapa sih tadi? Ngomongin siapa? Asyik banget kayaknya," tanyaku sambil berupaya tidak kelihatan penasaran.

Yang ditanya langsung memandangku sambil tersenyum menggoda, "Uuh, kepo ya? Mau tahu aja atau mau tahu bulat? Kalau mau tahu aja beli di warung, kalau mau tahu bulat beli di mas-mas yang keliling naik mobil. Hahaha."

"Hahaha...," aku tertawa nggak ikhlas mendengar gurauannya yang tidak bermutu. Masih penasarannya sebenarnya, tapi jaim dulu lah.

"Eh iya," katanya lalu mengambil sesuatu dari bawah meja, sebuah tas kertas. Ia menyerahkannya padaku sambil berkata, "Ini bajunya, Tuan Muda. Sudah saya cuci, bersih, wangi, rapi. Boleh dicek. Jangan lupa tipsnya dong."

"Wah, cepat sekali. Ibumu buka laundry kah? Makasih, Arin." Aku melihat isi tas itu, bajuku yang sudah bersih lagi dan tercium aroma pewangi pakaian. "Ini sungguhan diberi pewangi satu botol?"

"Dua botol malahan. Hahaha," candanya. "Dan sekadar informasi, ibuku nggak buka laundry ya. Ibuku seorang penjahit. Yang jadi tukang cuci itu saya, Pak."

"Oh, kamu sungguh calon ibu rumahtangga yang baik," lontarku sedikit menggodanya. "Ah, Bapak bisa saja," katanya sambil mengayunkan tangan kanannya, kemudian menutupi mukanya seperti orang yang sedang malu. Entah ini malu sungguhan atau malu jadi-jadian, aku tidak tahu. Tapi kalau manisnya memang sungguhan, nggak bosan aku melihatnya, sungguh.

"Ini deh tipsnya," ujarku sambil memberinya satu bungkus onigiri yang tadi kebetulan aku beli untuk sarapan. Biasanya aku hanya beli satu, tapi tadi aku beli dua. Maksudku mau berbagi dengan Mas Fajar, tapi karena ada Arin aku berikan ke Arin saja. Mas Fajar bisa beli sendiri. Toh dia pasti sudah diberi sarapan oleh istrinya. Hehehe

Arin menerimanya dengan mata berbinar, "Wah, ini kesukaanku. Makasih, Andre."

"Oh jadi makanan kesukaan kamu onigiri ya?"

"Arin mah makanan kesukaannya semua yang bisa dimakan. Kalau meja bisa dimakan, pasti sudah habis dari dulu," kata seseorang yang tiba-tiba ikut nimbrung pembicaraan kami. Mas Fajar sudah datang, dan di belakangnya ada Mbak Rere yang melambaikan tangan dan tersenyum ke arah kami.

"Mas, kalau Mbak Rere bisa dimakan sudah aku makan dari dulu loh, biar Mas Fajar nggak punya istri cantik kayak Mbak Rere lagi," ucap Arin dengan nada serius, tapi terlihat sekali dari wajahnya dia menahan tawa.

"Waduh, kanibalisme," seru Mas Fajar.

"Kok malah aku yang mau dimakan? Makan Andre saja itu yang tulangnya masih muda," seloroh Mbak Rere.

Aku yang masih berupaya mencerna candaan mereka jadi kaget mendengar namaku disebut sebagai makanan. Gaya bercanda karyawan Famili Advertising ternyata semacam ini. Baiklah.

"Nggak doyan ah, pahit," kata Arin sambil memasang raut muka seolah sedang makan sesuatu yang pahit.

"Yang pahit gitu kan bikin nafsu...," kata Mas Fajar. "Nafsu makan maksudnya, Rin. Kayak jamu daun pepaya, pahit tapi bikin nafsu makan. Hehehe," tandas Mas Fajar setelah melihat Arin melotot.

"Males ah, ngomong sama Mas Fajar. Nggak ada yang benar, absurd," ucap Arin dengan nada putus asa.

"Nanti kalau omonganku benar mesti diturut loh ya," pesan Mas Fajar. Arina memandangnya dengan muka cemberut, mulutnya kembali mengucapkan kata 'males' tapi kali ini tanpa bersuara.

"Sudah sana pergi, Mas, kesiangan kamu nanti," kata Mbak Rere menengahi pembicaraan childish tak berujung ini.

"Oke deh, Honey. Ayo Andre," kata Mas Fajar kepada istrinya dengan nada mesra, yang dijawab dengan cubitan mesra pula. Weleh, pagi-pagi sudah mesra-mesraan di kantor, nggak sadar ada pria tanpa cinta di sini.

Aku pun menjawab, "Siap, Mas."

"Pergi dulu ya, Mbak," aku pamit ke Mbak Rere. "Dadah, Arin. Makasih bajunya." Yang terakhir ini aku tambah senyuman manis.

Arin hanya menjawab dengan lambaian tangan dan membalas senyumku. Mbak Rere juga melambaikan tangan seraya berpesan, "Hati-hati ya, Andre. Tolong jaga suamiku baik-baik."

"Beres, Mbak. Tenang saja."

Kami baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Mas Fajar berhenti lagi, dia menengok ke arah Arin dan berkata, "Arin mau nitip nggak?"

Arin melihatnya dengan rasa penasaran lalu bertanya, "Wah, bisa nitip nih? Enaknya nitip apa ya, Mas?" Dia menanti jawaban Mas Fajar dengan penuh pengharapan.

"Nitip jagain Andre," kata Mas Fajar kalem.

"Mas Fajaaaaar," teriak Arin sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah Mas Fajar seolah akan memukulnya.

Mbak Rere tertawa mendengar keributan yang mereka buat. Sedangkan aku hanya terpukau melihat muka Arin yang memerah karena kesal dan malu. Perempuan ini jadi terlihat makin imut.

"Sudah, Ndre. Jangan ngelihatin Arin terus, nggak jadi pergi nanti," kata Mas Fajar sambil meringis. Aku pun ikut meringis.

Akhirnya kami benar-benar meninggalkan ruangan kantor menuju tempat parkir sepeda motor. Kami sempat berpapasan dengan Cici yang baru datang. Dia menyapa kami sambil senyum-senyum, "Pagi, Mas Fajar. Pagi, Andre. Hihihi." Aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyum sopan. Lebih baik tidak memberi harapan palsu, menempatkan diri sepatutnya saja, supaya Cici juga tahu diri.

Untung dia sudah tidak memaksa untuk memanggil aku dengan sebutan 'mas'. Risi aku mendengarnya.

"Jadi... kamu pilih Arin atau Cici?" Mas Fajar tiba-tiba bertanya padaku setelah Cici sudah tidak nampak lagi.

"Maksudnya gimana, Mas?" tanyaku pura-pura bego.

Mas Fajar menyeringai sambil geleng-geleng kepala. "Baiklah, lupakan saja, Nak Andre," katanya sambil menaikkan kedua alisnya dan menepuk-nepuk pundakku, lalu kembali berjalan untuk mengambil helmnya.

"Eh, kalau Arin gimana, Mas?" sahutku cepat-cepat. Sayang banget kalau kesempatan untuk dapat info gratis begini dilewatin. Mas Fajar kembali menyeringai seperti seorang pemancing yang kegirangan karena ada ikan yang nyangkut di kailnya.

"Jadi Arin nih...?" tanyanya lagi. "Iya iya, Arin. Gimana, Mas?" desakku tidak sabar seperti kucing disodori ikan. Sudah terlanjur, tanggung kalau mundur. Lagian Mas Fajar yang membuka pembicaraan ke situ, bukan aku.

"Kalem, Bro. Traktir makan siang yang enak dulu dong, baru dapat info. Hehehe," kata Mas Fajar. Wah, rupanya saya berurusan dengan anggota kelompok oportunis nih.

"Beres, Mas. Mau makan apa? Nasi? Mie? Bakso? Ikan? Masakan Jawa? Manado? Padang? Chinese food? Atau western food? Saya traktir sampai kenyang," ujarku yakin.

"Wuih, keren! Arin nggak salah pilih kalau dia naksir kamu."

"Serius, Mas? Arin naksir aku?," tanyaku antusias.

"Kalau, Ndre... Aku bilang kalau. Hahaha," Mas Fajar tertawa menggodaku. "Sudah ayo berangkat dulu. Arin masih menanti, tenang saja. Belum ada yang punya kok. Hehehe... Naik motormu ya."

"Siap, Mas!" ujarku bersemangat sambil menghidupkan sepeda motor. Jadi Arina belum punya kekasih? Baguslah!

Walaupun oportunis, setidaknya Mas Fajar bermanfaat untuk jadi nara sumber. Pokoknya traktiran makan siangnya mesti dapat imbal balik yang layak. Dan satu lagi, aku mesti dapat dukungan dari Mas Fajar, jadi langkahku untuk mendekati Arin lebih mudah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
IndoATlanta
bagus ...bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status