[Arina POV]
Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria.
"Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini.
"Pagi, Cici," kataku.
"Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.
Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia."
"Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik.
"Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa riasannya.
Aku dan Mbak Rere saling pandang, teman kami yang satu itu memang kadang masih bersikap seperti ABG. Lalu bibir Mbak Rere menyebutkan nama Andre tanpa bersuara. Oh, pantas saja. Belum lama Andre pergi dari sini ke tempat parkir, pasti sempat berpapasan dengan Cici. Cici sedang kesemsem sama Andre, makanya jadi begitu.
Dari arah luar terdengar suara klakson motor. Mas Fajar dan Andre sudah berangkat. Mas Fajar melambaikan tangan, sedangkan Andre hanya menengok sebentar ke arah kantor karena dia yang memegang kemudi. Dan Cici kembali tersipu-sipu, lalu bersenandung layaknya orang sedang jatuh cinta.
Aku tersenyum. Luar biasa ya pengaruh perasaan suka, hanya dengan melihat orang yang disukai, walau sebentar, bisa membawa perasaan bahagia. Mungkin hal yang sama dirasakan cewek-cewek sewaktu melihat artis idolanya. Ada senyawa kimia dalam tubuh yang menimbulkan euforia.
Beberapa saat kemudian Santi datang... bersama Bang Ucok yang mengekor di belakangnya. Dua mahkluk ini mencurigakan.
"Hai, Arin. Eh ada onigiri. Buat aku ya," kata Santi yang baru datang langsung berniat merampok orang.
"Nggak boleh!" kataku tegas.
"Huu, pelit! Biasanya juga punya makanan dikasih ke aku. Ayolah, Arin cantik, Arin manis, buat aku ya... ya...," dia kini merayu.
"Yang ini nggak boleh, Non!"
"Pengertian dikit dong, San. Itu onigiri kan dapat dari seseorang," Mbak Rere ikutan nimbrung, sambil memberi kode ke Santi.
Wah, kok dia bisa tahu kalau ini pemberian? Tadi kan waktu aku dikasih onigiri, Mbak Rere belum datang. Oh, dia pasti lihat Andre juga bawa onigiri. Detektif Rere Edogawa memang jeli.
Santi manggut-manggut sambil bilang, "Oh iya iya, Mbak." Entah dia benar-benar mengerti atau tidak. Santi kan sudah biasa begitu, angguk-angguk kepala macam anak metal. Walau nggak paham, yang penting angguk-angguk.
Hari ini sepertinya karyawan Famili Advertising dalam suasana hati yang baik. Pekerjaan lancar, tidak terdengar ada yang mengeluh. Makan siang kami pilih pesan antar saja, sepertinya semua orang enggan meninggalkan kantor. Kursi kami seperti punya magnet yang selalu menarik kami untuk duduk di sana.
Dan akhirnya aku bisa memakan onigiri gratisan yang aku simpan sejak pagi tadi. Sebenarnya ingin aku simpan saja seperti barang berharga, tapi nanti jadi basi. Nanti saja bungkusnya disimpan, pemberian orang ganteng gitu loh. Lebay banget ya. Enggak lah, bungkusnya tetap dibuang nanti.
Santi melihat aku makan onigiri, dia langsung mupeng. Dia memang sebenarnya yang paling suka onigiri. Dia memasang puppy face-nya. Aku sebenarnya ingin makan ini sendiri, tapi tidak tega melihat muka Santi yang memelas.
"Mukamu kayak Arthur minta makan. Hahaha," kataku sambil tertawa. Aku tidak tega, lalu berbagi dengannya, "satu gigitan ya... gigitan Santi, jangan gigitan monster."
Santi mengangguk lalu menggigit onigiri yang aku sodorkan. "Makasih, Arin manis," katanya lalu mencium pipiku.
"Ih, jijik. Mulutnya masih penuh makanan gitu," seruku sambil menyeka pipiku yang baru saja dicium oleh Santi. "Bang Ucok, Santi minta cium itu."
Santi langsung mendelik, mencubit lenganku dan berseru, "Arin vulgar banget sih omongannya." Muka Santi memerah. Bang Ucok hanya diam tapi kelihatannya dia juga merona lalu memalingkan muka. Aha! Mereka ini memang kayaknya saling suka, tapi nggak ada yang berani maju. Santi juga biasanya terbuka, tapi ini masih diem-diem bae.
"Makanya jangan asal nyosor saja!" kataku kepada Santi dengan suara pelan. Santi cemberut tapi mengangguk juga tanda mengerti. Lalu kami menyelesaikan makan siang dan kembali bekerja.
Sampai akhirnya waktu untuk pulang tiba. Satu per satu karyawan meninggalkan kantor. Santi juga pulang sambil senyum-senyum, dan Bang Ucok mengekor lagi. Hmm... dua insan ini butuh diselidiki. Atau mungkin lebih tepatnya butuh bantuan untuk dijodohkan.
Mbak Rere masih di meja resepsionis, dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sepertinya itu suaminya.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku setelah Mbak Rere meletakkan ponselnya.
"Mas Fajar bakalan telat deh. Dia nyuruh aku pesan ojol saja untuk pulang," kata Mbak Rere.
"Bareng aku saja yuk, Mbak," aku menawarkan diri.
"Rumahmu kan beda arah, Rin."
"Nggak apa-apa, biar aku sekalian bisa beli martabak buat ibu," jawabku dengan senyum lebar.
"Ah, anak baik. Martabak yang dekat rumah itu ya. Memang enak sih. Ya sudah ayo kita berangkat. Aku siap-siap ya."
Aku menunggu Mbak Rere memasukkan ponsel dan beberapa barang di tas, lalu mengenakan jaket. Setelah siap dia memandangku sambil berkata, "Yuk, berangkat."
Kami pun meninggalkan kantor. Rumah Mbak Rere agak jauh, sekitar 20 menit naik motor, itu pun kalau jalanan lancar. Hari ini ramai, tapi untunglah lancar-lancar saja.
Kami mampir ke tempat penjual martabak yang tidak jauh dari rumah Mbak Rere. Benar saja banyak yang antri, karena martabak di sini memang enak. Tapi penjualnya cekatan banget, jadi pembeli tidak perlu mengantri terlalu lama.
"Tiga ya, Pak. Spesial," aku menyebutkan pesanan. Martabak di sini dijual per paket. Satu kardus sudah berisi dua macam martabak, manis dan telur. Martabak manisnya yang paling enak, tapi martabak telurnya juga nggak kalah enak.
Akhirnya pesanan siap, aku segera menerima dan membayarnya, juga tak lupa mengucapkan terima kasih ke penjualnya.
Aku menyerahkan dua bungkus martabak ke Mbak Rere, "Ini, Mbak. Buat Rena dan Reno."
"Waduh, kok malah jadi repot, Rin? Aku bayar ya," kata Mbak Rere.
"Sudah, nggak usah. Ini buat Rena dan Reno, dari tante Rin," ucapku meyakinkan dia untuk menerimanya.
"Wah, makasih loh, Rin. Sudah diantar pulang, dibeliin martabak pula. Aku doakan kamu dapat pacar ganteng dan kaya ya," kata Mbak Rere sambil menyeringai. Orang ini benar-benar setali tiga uang dengan suaminya. Aku tertawa dan mengatakan, "Amin."
"Kamu langsung pulang saja, Rin, nggak usah antar sampai rumah. Mas Fajar mau ke sini... nah, itu dia yang diomongin datang, panjang umur benar suamiku ini."
Kami melihat motor Mas Fajar mendekat ke arah kami. Dia sendirian, Andre pasti sudah pulang.
Mbak Rere menunjukkan bungkusan martabak kepada Mas Fajar sambil berkata, "Dibeliin sama Arin, buat Rena sama Reno katanya."
"Wah, Arin baik banget. Makasih ya, Rin," kata Mas Fajar.
"Sama-sama, Mas".
"Tadi Andre juga beliin aku makan siang. Kalian memang cocok ya, sama-sama baik, jodoh kayaknya. Hehehe," Mas Fajar mulai menggodaku lagi. Mbak Rere mengangguk-angguk dan tertawa kecil mendengarnya.
"Mulai lagi. Aku pulang loh, Mas," ucapku dengan nada mengancam.
"Lah, kan memang sudah sore, kamu harus cepat pulang. Bu Darman menunggu loh. Sudah sana cepat pulang. Hati-hati, Rin. Kalau belok ke kanan atau kiri ya," kata Mas Fajar.
Karyawan di kantor kami memang nggak ada yang mulutnya diem, paling Bang Ucok yang agak pendiam. Biarpun cowok Mas Fajar ini cerewetnya kadang bisa melebihi cewek. Mungkin efek dari seringnya ketemu klien, harus pinter ngomong jadi terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Tapi menurutku sih dia memang cerewet dari lahir. Saat keluar dari rahim ibunya, suara tangisannya pun sudah mengandung gosip.
Mau tak mau aku tertawa juga, nggak bisa pura-pura ngambek lagi. "Ya sudah, aku pulang beneran loh ini. Dadah... sampai besok ya," ujarku sambil melambaikan tangan.
"Hati-hati, Rin," kata mereka berdua kompak.
Hari ini cerah, dan langit tampak indah menemani perjalananku pulang. Lalu aku sampai di area persawahan, langit sore berwarna jingga terpampang begitu luas.
"Wah, indah sekali," ucapku kepada diri sendiri. Aku menepi dan menghentikan sepeda motorku. Pemandangan seperti ini harus dinikmati, seperti kata Cici. Aku pun tersenyum.
Aku mengambil ponsel mencoba mengambil gambar senja ini. Aku melihat hasilnya. Ah, tidak terlalu bagus. Ponselku memang tidak punya kamera super bagus, jadi untuk menangkap warna langit sore seperti ini hasilnya kurang maksimal.
"Memang lensa mata manusia yang paling bisa menangkap keindahan seperti ini. Jadi lebih baik dipandang saja, diabadikan dalam pikiran," kataku pada diri sendiri.
Aku masih memandang langit sore, tenggelam dalam pikiranku sendiri selama beberapa saat, lalu aku mendengar suara jepretan kamera.
Aku kaget ketika menengok ke kiri, sudah ada orang lain di sana. Spontan aku menggerutu, "Dia lagi, dia lagi."
Orang itu tersenyum kepadaku sambil berkata, "Hai, Arin." Kemudian tanpa basa-basi dia mengarahkan kamera ke arahku dan memotretku.
[Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."
[Arina POV]"Santi...,""Hmm....""Ada apa dengan Santi dan Abang Ucok Baba?"Itu pertanyaan yang aku ajukan pada Santi ketika kami berdua ke luar untuk makan siang hari ini. Dan bukan Santi namanya kalau langsung menjawab. Hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum tersipu-sipu."Sudah seberapa jauh pendekatannya?" aku coba bertanya lagi."Ah, apaan sih, Rin? Belum ada apa-apa juga. Paling kalau ketemu cuma saling pandang, senyum-senyuman gitu.""Kalian sudah kerja bareng sekian tahun, tapi kok ya tidak ada yang inisiatif untuk bergerak? Kalian memang perlu dijodohkan, perlu dikompori, perlu dicomblangi," kataku dengan terus terang.Santi hanya plintat-plintut tidak jelas. Akhirnya aku bertanya, "Kamu sendiri suka sama Bang Ucok?" Dia tersipu-sipu lagi. "Baiklah, tidak usah dijawab. Saya sudah tahu jawaban Tuan Pu
[Arina POV] Hari ini indah sekali. Matahari bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, bunga-bunga bermekaran. Anak-anak riang bermain bola di lapangan rumput. Aku merentangkan tangan menikmati kebebasan. Hembusan angin begitu menyegarkan jiwa, menerbangkan rambutku yang terurai lepas. Senyum pun tak henti menghiasi wajahku. "Arin...," suara yang begitu hangat memanggil namaku. Aku menengok dan melihat Andre yang sedang berjalan ke arahku dengan senyuman manisnya. Dia menyembunyikan tangannya di belakang punggung, seperti sedang membawa sesuatu. Dia tampak begitu tampan dengan setelan celana putih, dan kemeja putihnya. Aku membalas senyumannya. Saat dia sudah mendekat akhirnya dia menunjukkan apa yang selama ini dia sembunyikan di belakang punggungnya; seikat bunga. Bunga lily warna putih yang masih segar dan cantik. Dia memberikan bunga itu kepadaku, dan aku menerimanya. Wanginya membuat sen
[Andre POV] Bu Reni Darmanto ternyata menurunkan 90% sifatnya ke anak perempuannya. Mereka betul-betul mirip, keramahannya, kelucuannya, juga sifat murah hatinya. Dan baru sebentar aku kenal Bu Reni, aku bisa melihat bahwa dia adalah ibu yang sangat baik. Tak heran, walaupun tidak lagi memiliki ayah, Arin bisa tumbuh dengan baik. Kali pertama mengenal Bu Reni aku sudah bisa langsung akrab dengannya. Aku bisa merasakan bahwa Bu Reni menyukaiku, dan seperti ada kode tersembunyi bahwa dia ingin aku dekat dengan anak perempuannya. Sebuah langkah bagus untuk mendekati Arin. Dan hari ini akhirnya untuk kali pertama aku bisa pergi dengan Arina, mengerjakan proyek buku tahunan untuk SMA Cakrawala. Jika kemarin aku kurang menikmati pekerjaanku dan hanya fokus untuk segera selesai, hari ini aku bahkan rela seandainya aku harus bekerja sampai malam. Hitung-hitung one day with Arin. Kemarin ketika bersam
[Arina POV] Ya ampun! Andre apa-apaan sih tadi? Ngajak ribut di tempat umum, bikin malu saja. Apa coba alasan dia marah-marah padaku? Perundungan? Yang benar saja. Kami berada di sekolah yang sedang melangsungkan kegiatan belajar mengajar, masih banyak orang di dalam kelas, bahkan ada beberapa guru yang tampak di luar ruangan. Kalau memang aku dirundung, aku bisa berteriak minta tolong, atau aku bisa lari, atau bahkan aku bisa memukul anak-anak itu untuk sekadar membela diri. Jadi itu tidak mungkin sekali. Memangnya aku bodoh? Atau jangan-jangan Andre cemburu? Ya ampun! Cemburu dengan bocah macam mereka? Anak SMA yang masih bergantung pada orang tua mereka, yang belum tahu bagaimana cari uang sendiri? Sangat tidak masuk akal! Memang tadi sewaktu kami bertemu di ruang pemotretan ketiga anak itu menggodaku. Juga setelah aku hendak kembali dari toilet mereka me
[Arina POV] Akhirnya urusan kami beres. Kami menyimpan catatan dan berkas yang tadi ditambahkan oleh Bu Kristina untuk dimasukkan ke buku tahunan mereka nanti. Kami pun berpamitan, dan segera keluar dari kantor Kepala Sekolah. "Mau makan lagi nggak?" tanya Andre. "Eh, kamu tadi makan sebegitu banyak, masih belum kenyang? Itu perut apa karet?" "Ya kan merayakan kesuksesan saya sebagai fotografer di Famili Advertising, sekaligus kerja sama kita yang petama," kilahnya sambil tersenyum sok polos. "Idih, pintar sekali Bapak membuat alasan ya," cibirku. "Ada satu tempat yang bagus, aku yakin kamu pasti akan suka tempat ini. Aku pingin mengajak kamu ke sana," katanya. Lalu ia menambahkan lagi, "Kan kemarin Bu Bos bilang kita bisa sekalian dinner," kekeh Andre. Aku menyonyong, tapi kemudian bertanya penasaran, "Memang mau kemana sih