Share

7. Keindahan Ciptaan Tuhan

[Arina POV]

Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria.

"Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini.

"Pagi, Cici," kataku.

"Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.

Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia."

"Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik.

"Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa riasannya.

Aku dan Mbak Rere saling pandang, teman kami yang satu itu memang kadang masih bersikap seperti ABG.  Lalu bibir Mbak Rere menyebutkan nama Andre tanpa bersuara. Oh, pantas saja. Belum lama Andre pergi dari sini ke tempat parkir, pasti sempat berpapasan dengan Cici. Cici sedang kesemsem sama Andre, makanya jadi begitu.

Dari arah luar terdengar suara klakson motor. Mas Fajar dan Andre sudah berangkat. Mas Fajar melambaikan tangan, sedangkan Andre hanya menengok sebentar ke arah kantor karena dia yang memegang kemudi. Dan Cici kembali tersipu-sipu, lalu bersenandung layaknya orang sedang jatuh cinta.

Aku tersenyum. Luar biasa ya pengaruh perasaan suka, hanya dengan melihat orang yang disukai, walau sebentar, bisa membawa perasaan bahagia. Mungkin hal yang sama dirasakan cewek-cewek sewaktu melihat artis idolanya. Ada senyawa kimia dalam tubuh yang menimbulkan euforia.

Beberapa saat kemudian Santi datang... bersama Bang Ucok yang mengekor di belakangnya. Dua mahkluk ini mencurigakan.

"Hai, Arin. Eh ada onigiri. Buat aku ya," kata Santi yang baru datang langsung berniat merampok orang.

"Nggak boleh!" kataku tegas.

"Huu, pelit! Biasanya juga punya makanan dikasih ke aku. Ayolah, Arin cantik, Arin manis, buat aku ya... ya...," dia kini merayu.

"Yang ini nggak boleh, Non!"

"Pengertian dikit dong, San. Itu onigiri kan dapat dari seseorang," Mbak Rere ikutan nimbrung, sambil memberi kode ke Santi.

Wah, kok dia bisa tahu kalau ini pemberian? Tadi kan waktu aku dikasih onigiri, Mbak Rere belum datang. Oh, dia pasti lihat Andre juga bawa onigiri. Detektif Rere Edogawa memang jeli.

Santi manggut-manggut sambil bilang, "Oh iya iya, Mbak." Entah dia benar-benar mengerti atau tidak. Santi kan sudah biasa begitu, angguk-angguk kepala macam anak metal. Walau nggak paham, yang penting angguk-angguk.

Hari ini sepertinya karyawan Famili Advertising dalam suasana hati yang baik. Pekerjaan lancar, tidak terdengar ada yang mengeluh. Makan siang kami pilih pesan antar saja, sepertinya semua orang enggan meninggalkan kantor. Kursi kami seperti punya magnet yang selalu menarik kami untuk duduk di sana.

Dan akhirnya aku bisa memakan onigiri gratisan yang aku simpan sejak pagi tadi. Sebenarnya ingin aku simpan saja seperti barang berharga, tapi nanti jadi basi. Nanti saja bungkusnya disimpan, pemberian orang ganteng gitu loh. Lebay banget ya. Enggak lah, bungkusnya tetap dibuang nanti.

Santi melihat aku makan onigiri, dia langsung mupeng. Dia memang sebenarnya yang paling suka onigiri. Dia memasang puppy face-nya. Aku sebenarnya ingin makan ini sendiri, tapi tidak tega melihat muka Santi yang memelas.

"Mukamu kayak Arthur minta makan. Hahaha," kataku sambil tertawa. Aku tidak tega, lalu berbagi dengannya, "satu gigitan ya... gigitan Santi, jangan gigitan monster."

Santi mengangguk lalu menggigit onigiri yang aku sodorkan. "Makasih, Arin manis," katanya lalu mencium pipiku.

"Ih, jijik. Mulutnya masih penuh makanan gitu," seruku sambil menyeka pipiku yang baru saja dicium oleh Santi. "Bang Ucok, Santi minta cium itu."

Santi langsung mendelik, mencubit lenganku dan berseru, "Arin vulgar banget sih omongannya." Muka Santi memerah. Bang Ucok hanya diam tapi kelihatannya dia juga merona lalu memalingkan muka. Aha! Mereka ini memang kayaknya saling suka, tapi nggak ada yang berani maju. Santi juga biasanya terbuka, tapi ini masih diem-diem bae.

"Makanya jangan asal nyosor saja!" kataku kepada Santi dengan suara pelan. Santi cemberut tapi mengangguk juga tanda mengerti. Lalu kami menyelesaikan makan siang dan kembali bekerja.

Sampai akhirnya waktu untuk pulang tiba. Satu per satu karyawan meninggalkan kantor. Santi juga pulang sambil senyum-senyum, dan Bang Ucok mengekor lagi. Hmm... dua insan ini butuh diselidiki. Atau mungkin lebih tepatnya butuh bantuan untuk dijodohkan.

Mbak Rere masih di meja resepsionis, dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sepertinya itu suaminya.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku setelah Mbak Rere meletakkan ponselnya.

"Mas Fajar bakalan telat deh. Dia nyuruh aku pesan ojol saja untuk pulang," kata Mbak Rere.

"Bareng aku saja yuk, Mbak," aku menawarkan diri.

"Rumahmu kan beda arah, Rin."

"Nggak apa-apa, biar aku sekalian bisa beli martabak buat ibu," jawabku dengan senyum lebar.

"Ah, anak baik. Martabak yang dekat rumah itu ya. Memang enak sih. Ya sudah ayo kita berangkat. Aku siap-siap ya."

Aku menunggu Mbak Rere memasukkan ponsel dan beberapa barang di tas, lalu mengenakan jaket. Setelah siap dia memandangku sambil berkata, "Yuk, berangkat."

Kami pun meninggalkan kantor. Rumah Mbak Rere agak jauh, sekitar 20 menit naik motor, itu pun kalau jalanan lancar. Hari ini ramai, tapi untunglah lancar-lancar saja.

Kami mampir ke tempat penjual martabak yang tidak jauh dari rumah Mbak Rere. Benar saja banyak yang antri, karena martabak di sini memang enak. Tapi penjualnya cekatan banget, jadi pembeli tidak perlu mengantri terlalu lama.

"Tiga ya, Pak. Spesial," aku menyebutkan pesanan. Martabak di sini dijual per paket. Satu kardus sudah berisi dua macam martabak, manis dan telur. Martabak manisnya yang paling enak, tapi martabak telurnya juga nggak kalah enak.

Akhirnya pesanan siap, aku segera menerima dan membayarnya, juga tak lupa mengucapkan terima kasih ke penjualnya.

Aku menyerahkan dua bungkus martabak ke Mbak Rere, "Ini, Mbak. Buat Rena dan Reno."

"Waduh, kok malah jadi repot, Rin? Aku bayar ya," kata Mbak Rere.

"Sudah, nggak usah. Ini buat Rena dan Reno, dari tante Rin," ucapku meyakinkan dia untuk menerimanya.

"Wah, makasih loh, Rin. Sudah diantar pulang, dibeliin martabak pula. Aku doakan kamu dapat pacar ganteng dan kaya ya," kata Mbak Rere sambil menyeringai. Orang ini benar-benar setali tiga uang dengan suaminya. Aku tertawa dan mengatakan, "Amin."

"Kamu langsung pulang saja, Rin, nggak usah antar sampai rumah. Mas Fajar mau ke sini... nah, itu dia yang diomongin datang, panjang umur benar suamiku ini."

Kami melihat motor Mas Fajar mendekat ke arah kami. Dia sendirian, Andre pasti sudah pulang.

Mbak Rere menunjukkan bungkusan martabak kepada Mas Fajar sambil berkata, "Dibeliin sama Arin, buat Rena sama Reno katanya."

"Wah, Arin baik banget. Makasih ya, Rin," kata Mas Fajar.

"Sama-sama, Mas".

"Tadi Andre juga beliin aku makan siang. Kalian memang cocok ya, sama-sama baik, jodoh kayaknya. Hehehe," Mas Fajar mulai menggodaku lagi. Mbak Rere mengangguk-angguk dan tertawa kecil mendengarnya.

"Mulai lagi. Aku pulang loh, Mas," ucapku dengan nada mengancam.

"Lah, kan memang sudah sore, kamu harus cepat pulang. Bu Darman menunggu loh. Sudah sana cepat pulang. Hati-hati, Rin. Kalau belok ke kanan atau kiri ya," kata Mas Fajar.

Karyawan di kantor kami memang nggak ada yang mulutnya diem, paling Bang Ucok yang agak pendiam. Biarpun cowok Mas Fajar ini cerewetnya kadang bisa melebihi cewek. Mungkin efek dari seringnya ketemu klien, harus pinter ngomong jadi terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Tapi menurutku sih dia memang cerewet dari lahir. Saat keluar dari rahim ibunya, suara tangisannya pun sudah mengandung gosip.

Mau tak mau aku tertawa juga, nggak bisa pura-pura ngambek lagi. "Ya sudah, aku pulang beneran loh ini. Dadah... sampai besok ya," ujarku sambil melambaikan tangan.

"Hati-hati, Rin," kata mereka berdua kompak.

Hari ini cerah, dan langit tampak indah menemani perjalananku pulang. Lalu aku sampai di area persawahan, langit sore berwarna jingga terpampang begitu luas.

"Wah, indah sekali," ucapku kepada diri sendiri. Aku menepi dan menghentikan sepeda motorku. Pemandangan seperti ini harus dinikmati, seperti kata Cici. Aku pun tersenyum.

Aku mengambil ponsel mencoba mengambil gambar senja ini. Aku melihat hasilnya. Ah, tidak terlalu bagus. Ponselku memang tidak punya kamera super bagus, jadi untuk menangkap warna langit sore seperti ini hasilnya kurang maksimal.

"Memang lensa mata manusia yang paling bisa menangkap keindahan seperti ini. Jadi lebih baik dipandang saja, diabadikan dalam pikiran," kataku pada diri sendiri.

Aku masih memandang langit sore, tenggelam dalam pikiranku sendiri selama beberapa saat, lalu aku mendengar suara jepretan kamera.

Aku kaget ketika menengok ke kiri, sudah ada orang lain di sana. Spontan aku menggerutu, "Dia lagi, dia lagi."

Orang itu tersenyum kepadaku sambil berkata, "Hai, Arin." Kemudian tanpa basa-basi dia mengarahkan kamera ke arahku dan memotretku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status