[Andre POV]
"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.
Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi."
"Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."
Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja.
"Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."
[Arina POV]"Santi...,""Hmm....""Ada apa dengan Santi dan Abang Ucok Baba?"Itu pertanyaan yang aku ajukan pada Santi ketika kami berdua ke luar untuk makan siang hari ini. Dan bukan Santi namanya kalau langsung menjawab. Hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum tersipu-sipu."Sudah seberapa jauh pendekatannya?" aku coba bertanya lagi."Ah, apaan sih, Rin? Belum ada apa-apa juga. Paling kalau ketemu cuma saling pandang, senyum-senyuman gitu.""Kalian sudah kerja bareng sekian tahun, tapi kok ya tidak ada yang inisiatif untuk bergerak? Kalian memang perlu dijodohkan, perlu dikompori, perlu dicomblangi," kataku dengan terus terang.Santi hanya plintat-plintut tidak jelas. Akhirnya aku bertanya, "Kamu sendiri suka sama Bang Ucok?" Dia tersipu-sipu lagi. "Baiklah, tidak usah dijawab. Saya sudah tahu jawaban Tuan Pu
[Arina POV] Hari ini indah sekali. Matahari bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, bunga-bunga bermekaran. Anak-anak riang bermain bola di lapangan rumput. Aku merentangkan tangan menikmati kebebasan. Hembusan angin begitu menyegarkan jiwa, menerbangkan rambutku yang terurai lepas. Senyum pun tak henti menghiasi wajahku. "Arin...," suara yang begitu hangat memanggil namaku. Aku menengok dan melihat Andre yang sedang berjalan ke arahku dengan senyuman manisnya. Dia menyembunyikan tangannya di belakang punggung, seperti sedang membawa sesuatu. Dia tampak begitu tampan dengan setelan celana putih, dan kemeja putihnya. Aku membalas senyumannya. Saat dia sudah mendekat akhirnya dia menunjukkan apa yang selama ini dia sembunyikan di belakang punggungnya; seikat bunga. Bunga lily warna putih yang masih segar dan cantik. Dia memberikan bunga itu kepadaku, dan aku menerimanya. Wanginya membuat sen
[Andre POV] Bu Reni Darmanto ternyata menurunkan 90% sifatnya ke anak perempuannya. Mereka betul-betul mirip, keramahannya, kelucuannya, juga sifat murah hatinya. Dan baru sebentar aku kenal Bu Reni, aku bisa melihat bahwa dia adalah ibu yang sangat baik. Tak heran, walaupun tidak lagi memiliki ayah, Arin bisa tumbuh dengan baik. Kali pertama mengenal Bu Reni aku sudah bisa langsung akrab dengannya. Aku bisa merasakan bahwa Bu Reni menyukaiku, dan seperti ada kode tersembunyi bahwa dia ingin aku dekat dengan anak perempuannya. Sebuah langkah bagus untuk mendekati Arin. Dan hari ini akhirnya untuk kali pertama aku bisa pergi dengan Arina, mengerjakan proyek buku tahunan untuk SMA Cakrawala. Jika kemarin aku kurang menikmati pekerjaanku dan hanya fokus untuk segera selesai, hari ini aku bahkan rela seandainya aku harus bekerja sampai malam. Hitung-hitung one day with Arin. Kemarin ketika bersam
[Arina POV] Ya ampun! Andre apa-apaan sih tadi? Ngajak ribut di tempat umum, bikin malu saja. Apa coba alasan dia marah-marah padaku? Perundungan? Yang benar saja. Kami berada di sekolah yang sedang melangsungkan kegiatan belajar mengajar, masih banyak orang di dalam kelas, bahkan ada beberapa guru yang tampak di luar ruangan. Kalau memang aku dirundung, aku bisa berteriak minta tolong, atau aku bisa lari, atau bahkan aku bisa memukul anak-anak itu untuk sekadar membela diri. Jadi itu tidak mungkin sekali. Memangnya aku bodoh? Atau jangan-jangan Andre cemburu? Ya ampun! Cemburu dengan bocah macam mereka? Anak SMA yang masih bergantung pada orang tua mereka, yang belum tahu bagaimana cari uang sendiri? Sangat tidak masuk akal! Memang tadi sewaktu kami bertemu di ruang pemotretan ketiga anak itu menggodaku. Juga setelah aku hendak kembali dari toilet mereka me
[Arina POV] Akhirnya urusan kami beres. Kami menyimpan catatan dan berkas yang tadi ditambahkan oleh Bu Kristina untuk dimasukkan ke buku tahunan mereka nanti. Kami pun berpamitan, dan segera keluar dari kantor Kepala Sekolah. "Mau makan lagi nggak?" tanya Andre. "Eh, kamu tadi makan sebegitu banyak, masih belum kenyang? Itu perut apa karet?" "Ya kan merayakan kesuksesan saya sebagai fotografer di Famili Advertising, sekaligus kerja sama kita yang petama," kilahnya sambil tersenyum sok polos. "Idih, pintar sekali Bapak membuat alasan ya," cibirku. "Ada satu tempat yang bagus, aku yakin kamu pasti akan suka tempat ini. Aku pingin mengajak kamu ke sana," katanya. Lalu ia menambahkan lagi, "Kan kemarin Bu Bos bilang kita bisa sekalian dinner," kekeh Andre. Aku menyonyong, tapi kemudian bertanya penasaran, "Memang mau kemana sih
[Arina POV] "Wow, keren banget," seruku saat kami tiba di tempat yang sedari tadi dibanggakan oleh Andre. "Bagus kan?" Andre bertanya dengan antusias. Aku menjawab dengan anggukan dan senyum lebar. Ternyata dia membawaku ke sebuah kafe yang benama Magnolia. Ukuran kafe ini lumayan besar, dan terlihat nyaman. Andre mengajakku melihat-lihat kafe itu lebih dekat. Ia menerangkan, "Kafe ini memiliki dua bagian. Bagian luar ini biasanya dipakai untuk tempat nongkrong di malam hari. Kamu lihat di situ...," Andre menunjuk ke area di tepi halaman, "nanti kalau sudah agak malam, akan ada beberapa stan yang menjual bermacam-macam makanan dan minuman. Jadi kafe ini bisa membantu para pedagang kaki lima yang mungkin kebingungan mencari tempat untuk berjualan, mereka bisa ikut membuka usaha di sini. Di halaman ada meja dan kursi untuk pengunjung yang ingin menikmati makanan sambil ngobrol." Gaya Andre suda