Kendaraan klasik beroda empat milik Daxon masih berjalan setelah hampir dua jam perjalanan mereka habiskan dengan senda gurau saling menceritakan sisi buruk masing-masing, lalu mengejek lawannya. Sebuah gurauan seru jika dalam perjalanan untuk mengusir rasa kantuk saat berkendara.
Mereka terlalu merasa nyaman hingga tak lagi merasa malu walau untuk mengatakan dirinya tidur begitu berisik dan mendengkur saat tidur. Daxon mengakui Raven sering menceritakan dan mengejeknya demikian. Begitu juga dengan Lexy yang selalu bernyanyi di dalam kamar mandi, walau ibunya sering protes akan suara sumbangnya.
Sudah diceritakan sebelumnya bahwa hubungan keduanya berjalan karena mereka selalu mengutamakan rasa nyaman di atas segalanya. Mereka merasa menjadi diri sendiri adalah rasa nyaman yang tak bisa digantikan dengan materi.
"Well … Tuan mendengkur, kemana kau ingin membawa putri laksamana di kencan pertama kita?" tanya Lexy
Menunjukkan tatapan permohonan agar Daxon mau menjawabnya kali ini setelah lima kali sejak pertama mobil itu melaju, Daxon hanya memberikan tatapan mengerling sambil memasang senyum mematikan sebagai jurus andalannya.
Seperti yang saat ini ia lakukan untuk kesekian kali. Hanya sebuah senyuman tampan hingga si klasik hitam itu akhirnya berbelok dan masuk ke dalam sebuah parkiran yang cukup padat, mungkin karena musim dingin menjadi tempat yang tepat untuk mendatangi arena tersebut.
Wilmington daerah pegunungan White Face menjadi tujuan Daxon mengajak seorang putri laksamana untuk berpetualang di hari pertamanya. Ia yakin momen keberadaan salju di sana dapat merefreshingkan diri bersama wanita luar biasa itu.
Seperti ekspresinya saat ini setelah turun dari mobil, Lexy menatap takjub ke atas yang terdapat sebuah gondolan atau seperti kereta layang yang membawa beberapa pengunjung untuk bermain ski dari tempat terbaik yang disajikan White Face Mountain.
"Hei … Aku menangkap ekspresi terpukau saat ini. Apa ini setimpal untuk kencan pertama kita? Atau ini tak masuk hitungan kencan?" tanya Daxon memutari mobilnya dan bersandar di mobil tepat di hadapan Lexy.
"Oh really, Dalmore! Kau mengajakku ke sini untuk kencan pertama kita?" tanya Lexy memasang raut wajah yang sulit diterka Daxon kali ini.
"A- apa kau tak menyukai tempatnya? Kita bisa pergi jika—"
"No! Aku tak mengatakan itu. Kau …." Lexy menjeda dan menatap stupid face yang Daxon tunjukkan karena merasa menyesal mengajak Lexy ke tempat yang mungkin tak disukai wanita itu.
Lexy menyadari kesalahpahaman Daxon dari raut wajah penyesalan itu. Ia terkekeh cukup puas mengerjai seorang Dalmore. Menepuk lengan pria itu. "Oh c'mon! Aku tak ingin membuang waktu lebih lama untuk bermain ice skating sebelum hari gelap!" ajak Lexy berseru.
Lebih dulu melangkah masuk, membiarkan Daxon berlega hati sejenak.
"Oh sial! Harusnya aku tahu, dia menggodaku!" umpat Daxon. Bergegas mengejar si seksi yang hampir sukses membuat jantungnya berhenti, karena merasa gagal menentukan tempat.
Seperti kata Lexy barusan, bahwa waktu terlalu berharga untuk disia-siakan. Kini mereka telah berputar di atas air yang membeku sebagai lapisan es tebal, menggunakan sepatu ski.
Daxon dan Lexy berpegangan tangan sambil berputar bermain mengelilingi arena tersebut, berbaur dengan pengunjung yang memang kebanyakan pasangan muda mudi, berkencan di musim dingin adalah hal yang sangat dinantikan jiwa muda.
"Dalmore, lihat di belakangmu," pinta Lexy.
Daxon menoleh dan melihat sepasang kekasih yang mampu berputar sambil berciuman.
"Oh, apa itu gaya baru untuk sebuah kompetisi atlet ski—"
"No, can we try?!" sela Lexy, lalu kemudian memegang bahu Daxon.
"What?!"
Pagutan dari Lexy adalah jawabannya, dan secara otomatis tangannya meraih tengkuk Daxon. Begitu juga dengan Daxon yang meraih pinggang Lexy dan mulai membalas pagutan tersebut sambil kedua kaki mereka yang seirama berputar. Menikmati pagutan di atas es adalah hal baru bagi mereka. Memberikan kesan tak terlupakan sampai keduanya hampir menabrak seseorang, hingga menghentikan pagutan. Dengan sigap Daxon memeluk Lexy.
Pekikan keduanya terdengar saat mereka sedikit tergelincir walau tak begitu parah. Namun, bukan rengekan sakit yang mereka keluarkan, melainkan tawa menggelitik yang membuat beberapa pengunjung lain ikut tertawa melihat pasangan unik tersebut.
"Hei Bung, kalian mengingatkan kami akan hari pertama mencoba melakukannya," ujar pria yang tadi dilihat Lexy sebagai ide untuk melakukan ciuman sambil berkeliling.
"Ya … dan kita terjatuh seperti mereka," sahut wanitanya yang kini membantu Lexy berdiri, sementara prianya membantu Daxon.
"Oh, ternyata butuh latihan khusus untuk itu," sambung Daxon.
Mereka terkekeh bersama, lalu kembali melanjutkan aktifitas bermain ice skating sampai salju mulai turun. Awalnya hanya beberapa butir hingga semua pengunjung satu persatu kembali ke losmen, mereka menghentikan permainan.
Begitu juga dengan Daxon dan Lexy yang memilih berteduh di resto terdekat lalu memesan makanan untuk mengisi perut sebelum mereka menempuh perjalanan pulang yang sangat panjang.
"Well … aku yakin perutmu kosong setelah kita melakukan banyak gaya untuk berputar puluhan kali di atas es tersebut." Daxon mendaratkan bokongnya di kursi hadapan Lexy.
Senyum tampan yang selalu memukau tak pernah hilang dari sana, hal itu yang membuat Lexy sangat jatuh cinta oleh seorang Daxon -Seksi Dalmore yang menawan- begitu julukan Lexy selama ini. Bukan prince charming or hot CEO yang selama ini mendekatinya dengan segala materi yang menjanjikan.
Daxon menjanjikan kebahagiaan, bukan dari materi melainkan dari petualangan mendebarkan yang tak pernah didapatkan Lexy pada pria yang hanya mengajaknya dinner romantis dengan bunga dan hadiah mewah lainnya. Bagi Lexy semua itu membosankan.
"Ya … berputar-putar dengan suhu dingin memang cepat membuat siapapun merasa lapar." Lexy tersenyum menjawab ucapan Daxon.
"Okay … sorry jika ini bukan kencan yang kau harapkan, like romantic dinner with candle or an expensive gift. Something else like that," ujar Daxon mengakui bahwa bukan itu keahliannya.
"Oh c'mon, Dalmore! Kau tak menilaiku begitu bukan?" Lexy meraih tangan Daxon diatas meja dan mengusapnya lembut, "jujur saja, aku sedikit bosan mendengar cerita teman-temanku tentang kencan mereka seperti yang kau ucapkan barusan."
Daxon berbalas meraih tangan Lexy dan mengecupnya sekilas. "Aku tahu kau berbeda, Nana."
"Ya, dan kau sudah mengajakku ke tempat yang tepat. Aku tak menginginkan sebuah kencan romantis. Aku ingin petualangan manis dan mengesankan untuk kita ceritakan lagi dan lagi, percayalah aku tak akan bosan membahasnya dibandingkan mendengar akhir dari kencan para temanku di atas ranjang besar yang berantakan," gurau Lexy.
Membuat Daxon tertawa, menebak pria yang membayar dimuka dengan dinner romantis untuk sebuah malam yang panas.
"Well … seperti yang kau sudah ketahui, aku seorang marinir. Aku bosan dengan semua hal yang biasa-biasa saja. Jadi aku cukup bersyukur jika kau menikmati caraku memperlakukanmu," ujar Daxon.
Lexy tersenyum dan seorang pelayan datang menyajikan makanan yang mereka pesan. Hingga sebuah berita di televisi memusatkan perhatian mereka.
"Oh, great!! Badai salju disaat yang tak tepat!" keluh Daxon.
"Atau maksudmu, badai salju disaat yang tepat untuk bermalam," celetuk Lexy.
Membuat Daxon tersenyum memahami maksud ucapan Lexy.
"Jadi kau tetap mempertahankan akhir dari kisah kencan teman-temanmu?" Daxon berbalik tanya. Meyakinkan bahwa dia tak berpikiran mesum sendirian.
Lexy hanya tersenyum menggoda dengan semburat merah tercetak di wajah putihnya.
"Oh, ya. I know your answer, Sexy lips! Let see … Who will make a mess of the bed," desis Daxon mendekati wajah Lexy sambil mengedipkan sebelah matanya dengan senyum smirk.
**
Daxon dan Lexy membuka pintu kamar penginapan mereka yang didominasi dengan kayu sebagai tema losmen di tempat yang cocok untuk menikmati musim dingin."Well, setelah dengan baik hatinya kau memberikan satu ruangan kosong untuk new family tadi. This is our room ... come in, Nana. Jangan mengeluh mendengar dengkuranku nanti," ujar Daxon bersandar di pintu dan mempersilahkan Lexy untuk masuk."Ya … mengingat masa kecilku tinggal di perancis bersama ibu dan bibiku. Aku rasa tak ada bocah kecil yang tak menyukai perm
Perjalanan pulang yang tak sehangat perjalanan pergi saat ini tengah terjadi. Pagi yang lebih baik dari semalam setelah badai salju, beruntung pagi tadi tim penyisiran salju di jalan, selesai dilakukan. Mereka kembali ke kota. Sepanjang jalan yang memberikan pemandangan putih itu membuat Lexy sanggup terdiam menatap pohon-pohon pinus yang berubah menjadi putih tertutupi salju. Lexy menyukainya dan Daxon menyukai tatapan kagum Lexy akan alam.Namun, Daxon menangkap sorot dari mata Lexy yang sesekali dilihatnya saat menoleh sekilas. Membuat pria itu memahami ada yang sangat dipikirkan oleh Lexy."Aku tahu kau takut, Nana. But, hei … aku yang harusnya takut." Daxon meraih tangan dingin Lexy dan mengecupnya, "kau layak diperjuangkan, Nana. Kau pantas mendapatkan itu. Dan aku tahu ayahmu tak akan semudah itu mengizinkanku mengencani putrinya. Mengingat sebera
Sepulangnya dari rumah Lexy, dengan cepat Daxon memasuki rumah dan buru-buru menuju kamarnya. Dia sedang menghindari kakaknya, Raven. Pintu pun sengaja ia kunci dari dalam. Antisipasi agar saudaranya itu tak asal sembarang masuk dan berakhir dengan dia diinterogasi.Daxon sama sekali belum siap. Ia takut salah ucap atau apapun yang berpotensi rahasianya dan Lexy terbongkar. Jujur saja, Daxon tidak pandai berbohong. Raven pun terlalu pintar untuk menilik itu semua. Kakaknya itu seperti pakar mikro ekspresi yang bisa membaca apapun hanya dengan melihat wajah.Keahlian yang sangat mengerikan menurut Daxon. Dia pikir dulu kakaknya cenayang saat masih bersekolah. Pemikiran bodoh macam apa itu?"Daxie! Kau mengunci pintumu?"Terdengar suara Raven yang mencoba membu
Part 08 • Indecision "Aku rasa, Nona D'Ryan cukup menarik. Bagaimana menurutmu, Daxie? Apa aku harus menerima tawaran paman Dereck?" Pertanyaan Raven terus berputar-putar semenjak hari dimana Daxon mengantar Lexy pulang dan malah mendengar perkataan Dereck yang menginginkan Raven bersama putrinya, yakni Nana-nya. Kini Daxon terpaksa memutar balik mobilnya. Setelah berusaha mengejar Lexy yang turun dari mobil dan menghentikan taksi, lalu melaju kembali ke rumah. Walau ia sangat menyesal telah membuat wanita itu kecewa. Namun, ia tetap ingin memastikan Lexy kembali dengan selamat. Setelah tiba di rumah dengan hati dan perasaan yang gundah, ia langsung menuju kamarnya. Jika saat bersama Lexy tadi, Daxon memikirkan ucapan
Tak ada yang lebih membuat hati Daxon panas saat ini selain melihat mobil SUV putih yang kini berada di depannya. Sambil berkendara, Daxon berulang kali merutuk dan mengumpat pada dirinya sendiri yang sangat bodoh. Bisa-bisanya ia mengabaikan seorang wanita seperti Lexy. Lantas kini si cantik dambaannya itu bersama sang kakak yang dengan niat baiknya ingin mengantarkan wanitanya pulang."Great! What a gentle, Rav. Kau tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik. Bukan seperti aku yang menjemput dan mengantarkannya saja tidak berani hingga ke depan gerbang. Satu lagi poin untukmu, brother."Daxon menatap miris ke arah kendaraan di depannya yang sudah melambat dan akhirnya berhenti d
Kediaman Rainer terdengar ricuh dengan kesibukan Angeline naik ke atas bahu Daxon dan mencoba memasangkan bagian terakhir yang terpenting dari pohon natal, yakni sebuah bintang yang diletakan di puncak tertinggi dari pohon pinus yang telah dihias lebih dulu.Tema kali ini berwarna putih dan perak, hiasan serba putih dan bola-bola bening yang didalamnya terdapat salju berwarna perak itu, terlihat menggantung dengan indah beriringan dengan lampu kecil berwarna senada.Termasuk sebuah bintang yang terbuat dari lapisan kaca tipis bening dengan kelap kelip di dalamnya, kini dengan susah payah Angeline hendak memasangnya. Namun, tangan mungilnya memanglah belum cukup untuk menggapai puncak pohon. Membuatnya sedikit kesulitan untuk menggapainya."Lebih tinggi lagi, Daxie!" seru Angeline.
Lexy menghampiri Daxon yang mengangkat hiasan bintang dan kembali berdecak kagum. "Wah, apa ini milikmu?" tanyanya."Ya. Raven dan aku memiliki bintang yang sama. Waktu kecil, ayahku mendapatkan bintang pertamanya dalam pangkat militer. Dan dia memesan dua benda ini ke pengrajin untuk kami." Daxon duduk di samping perapian elektronik dan menyalakannya agar ruangan terasa hangat.“This is beautiful,” gumam Lexy kagum saat menekan tombol dan membuat bintang tersebut menyala kelap kelip bergantian di setiap sisi."Kami berdebat menginginkan bintang siapa yang akan diletakan di pohon natal di rumah." Daxon menoleh dan terkekeh, melirik Lexy, "kurasa kau tahu jawabannya," imbuh Daxon.
Sesampainya Daxon dan Lexy ke kediaman Rainer. Keduanya bersiap turun dari si hitam klasik— sama-sama menatap dengan artian yang berbeda; Jika Daxon menatap Lexy dengan tatapan tajam penuh sarat, Lexy menatapnya dengan kerlingan menahan tawa."Kondisikan ekspresi wajahmu, Nana. Ayahmu sudah berdiri di depan pintu," desis Daxon setelah membukakan pintu untuk Lexy."Si malaikat kematian bagimu?" ejek Lexy berbisik."He's gonna kill me, Nana. Dia seperti Lucifer yang siap menyeretku ke neraka, jika tahu putrinya tergores sedikit saja!" umpatnya kembali mendesis geram.Lexy hampir kembali terbahak mendengar umpatan Daxon yang selalu mengundang tawa, dan sungguh hal terseb