Saka sedang berada di mobilnya, duduk nyaman di bangkunya sambil menatap ke arah jalanan. Supirnya sedang membawanya kembali ke rumah untuk menjemput Renata. Hari ini, sesuai rencana mereka, Saka akan menemani Renata memeriksakan kandungannya. Ini akan menjadi kali pertama Saka melakukan hal ini. Padahal sebelumnya, Saka sama sekali tidak memiliki minat untuk melakukan hal itu.
Tapi entah mengapa. Semakin hari, dia semakin sering mendengar Renata bercerita mengenai perkembangan kandungannya. Bahkan bulan lalu, setelah pulang dari memeriksakan kandungannya, Renata bercerita dengan wajah riang mengenai betapa baiknya kondisi bayi mereka.
Berat bayi mereka sudah semakin membaik dibandingkan dengan ketika Renata pertama kali memeriksakan kandungannya. Renata bilang, itu semua berkat Saka yang membantunya merawat bayi mereka. Semenjak Renata
Renata baru saja selesai membeli beberapa keperluannya di sebuah pusat perbelanjaan. Namun, ketika dia melewati sebuah toko perlengkapan bayi, langkahnya terhenti, dia menatap tempat itu lama. Menunduk untuk menatap perutnya, Renata tersenyum kecil kemudian memutuskan untuk masuk kesana. Renata menyusuri tempat itu, menatap sekelilingnya. Lalu. Tatapannya jatuh pada koleksi pakaian bayi. Kedua kakinya melangkah pasti kesana, dia mengambil sebuah pakaian bayi, jemarinya mengusap pakaian itu dengan gerakan lembut. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh Renata ketika dia melakukannya. Membayangkan bayinya nanti akan memakai pakaian menggemaskan itu membuat senyuman Renata mengembang sempurna dan kedua matanya berbinar penuh harap. Semakin hari Renata semakin bersyukur a
TIGA TAHUN KEMUDIAN.Saka membuka pintu rumahnya, dia baru saja kembali setelah melakukan perjalanan Bisnis ke Hongkong. Wajahnya tampak lelah, namun, ketika dia menemukan putrinya yang berlari ke arahnya, senyuman Saka mengembang begitu saja. “Pa...” teriak putrinya, Gheana Adhiyaksa. “Hai, Ghea.” Balas Saka, dia hampir saja menggendong Ghea kalau saja suara Renata tidak mengintrupsi. “Papa mandi dulu, baru boleh peluk Ghea.” Saka melirik Renata, mencebik samar kemudian menghela napas malas. Begini lah kalau Mama dari anaknya adalah seorang Dokter anak, semuanya harus steril demi menjaga kesehatan putri mereka. “
Renata resah bukan main. Besok, Mamanya bersikeras untuk datang ke rumah Saka dan menemuinya beserta Ghea. Padahal Renata masih ingin mengulur waktu, tapi Mama dan Papanya seolah tidak peduli dan tidak bisa lagi bersabar. Dan kini, Renata benar-benar kebingungan. Dia takut Saka akan marah jika tahu mereka datang ke sini tanpa seizinnya. “Apa aku izin dulu ke Saka, ya...” gumamnya dengan wajah cemas. “iya, aku harus izin dulu ke Saka. Kalau di bicarakan baik-baik, Saka pasti mau mengerti.” Renata menoleh ke atas tempat tidurnya, Ghea masih tertidur pulas sejak pukul lima sore tadi. Setelah memastikan Ghea, Renata keluar dari kamarnya menuju kamar Saka. Dia mengetuk pintu kamar Saka beberapa kali hingga Saka membukakan pintu untuknya. “Apa?” tanya Saka. &n
Renata mengernyit saat mendengar dering ponselnya. Matanya perlahan-lahan terbuka, lalu kemudian tubuhnya menggeliat pelan. Hal pertama yang dia tatap adalah langit-langit kamarnya. Lampunya masih menyala, membuatnya mengernyit karena merasa aneh. Renata tidak terbiasa tidur dengan lampu utama yang menyala. Dia terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Hanya setelah Ghea lahir saja dia mau menyalakan lampu di atas nakas. Ponsel Renata lagi-lagi berdering, membuatnya segera duduk lalu mencari di mana keberadaan ponselnya. Namun, ketika dia menyadari ketidak beradaan Ghea di sampingnya, kedua mata Renata melebar. Dan detik itu juga, dia kembali mengingat kejadian tadi malam. Dia dan Saka bertengkar, kemudian Saka datang ke kamarnya, memberinya segelas jus sebagai bentuk penyesalannya karena sudah mengatakan hal yang tidak-tidak pada Renata. Lalu... Kedua mata Renata terbelalak ngeri. Kini dia menyadari semuanya. Matany
Mobil Saka berhenti di depan rumah keluarga Renata. Kepala Renata bergerak lambat menatap rumah yang sudah lama sekali tidak pernah dia lihat. Rumah itu masih sama seperti dulu, membuat hatinya di landa rasa rindu yang membuncah. Di pangkuannya, Ghea berusaha berdiri. Kedua tangannya menyentuh jendela mobil, ikut menatap ke arah rumah itu. “Ana, Ma?” tanya Ghea. Renata tersenyum menatap Ghea. “Ini rumahnya Mama, rumah Kakek sama Neneknya Ghea.” “Nek?” ulang Ghea. “Nek Ocie?” “Bukan...” Renata tertawa pelan. “Nenek Ayu sama Kakek Herman.” Kepala Ghea
Saka menyuruh Renata menyusulnya ke sebuah Mal karena dia sedang melakukan pertemuan bisnis di sana dengan seseorang. Karena akhir-akhir ini dia lumayan sibuk dan jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan putrinya, Saka merasa harus pintar mencuri waktu agar dia tetap bisa menghabiskan banyak waktu dengan Ghea. Renata sudah mengiriminya pesan jika dirinya dan Ghea sudah berada di sana, Renata menyuruh Saka menghampiri mereka. Kini Saka berjalan ringan, sesekali menatap jam tangannya. Masih ada waktu sekitar setengah jam untuknya makan siang bersama Renata dan juga Ghea. Ya, hanya makan siang bersama dan itu sudah lebih dari cukup. Saka tersenyum tipis saat menemukan Renata sedang berjalan santai sambil mendorong Stroller milik Ghea. Hal itu membuat Saka bergegas menghampiri mereka. Namun ketika dia melihat Renata berbalik dan tampak bicara dengan seorang lelaki, langkah Saka terhenti. Kedua mata Saka
Setelah dinyatakan sah sebagai istri Saka, tidak sekalipun ada rasa bahagia yang Renata rasakan. Hatinya hanya merasakan kehampaan dan kegelisahan. Bahkan seperti saat ini, dia dan Saka berdiri berdampingan menyalami beberapa tamu yang menghampiri mereka. Renata hanya berusaha memasang senyuman terbaiknya. Sesekali dia menatap Saka, lelaki itu tampak terlihat begitu tenang. Bahkan sejak dia hampir saja memperkosa Renata, Saka benar0benar terlihat tenang seolah kejadian menyakitkan itu tidak pernah terjadi. Jujur saja, Renata masih tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah menjadi istri Saka. Dia... tidak mencintai Saka. Tidak sekalipun ada Saka di dalam rencana hidupnya selain lelaki itu hanyalah seorang Ayah bagi putrinya. Kebersamaan mereka selama tiga tahun ini memang terbilang cukup baik untuk Ghea, namun tidak untuk mereka berdua. Yang mereka lakukan selama ini hanyalah demi Ghea, slaing berkompromi demi Ghea, berusaha
Tidak terasa, pernikahan itu sudah berada di bulan kedelapan. Pernikahan yang terasa benar-benar hambar, tanpa rasa, tanpa cinta bahkan tanpa kenyamanan. Saka semakin jauh dari jangkauan Renata. Sekeras apa Renata berusaha menggapainya, berusaha meraihnya mendekat agar setidaknya mereka bisa menikmati pernikaha itu dengan perasaan nyaman dan tenang. Namun, setiap kali Renata mendekat, maka Saka akan pergi menjauh. Tidak ada obrolan ringan seperti biasanya, tidak ada lagi kebersamaan antara Saka, Renata dan Ghea. Tidak ada lagi tawa ketika mereka melihat tingkah lucu putri mereka. Saka akan membawa Ghea ke kamarnya jika dia ingin bermain dengan putrinya. Ketika Ghea ada bersama Renata, maka dia akan segera menyingkir. Entah lah, Renata bahkan tiak tahu mengapa Saka harus menikahinya jika yang dia inginkan adalah saling berdiam diri seperti ini. Dan yang lebih parah lagi, akhir-akhir ini Saka ce