Ucapan Saka yang begitu kejam membuat Renata menatapnya tak percaya. Ada apa lagi ini? Pikirnya. Mengapa Saka kembali seperti ini? Bukankah semuanya sudah baik-baik saa? “Revan,” desis Saka. “kamu kembali menemuinya hari ini kan?” “Revan?” sejenak, Renata berusaha mencerna apa yang Saka katakan hingga kemudian dia tersentak dan menggelengkan kepalanya. “jangan salah paham, aku dan Revan–” “Tutup mulut kamu! Jangan mengatakan apa pun lagi, Nata...” “Tapi, Saka, kamu harus tahu kalau aku– ah!” ucapan Renata terhenti mana kala kedua pipinya dicengkram kasar oleh Saka. Ada amarah yang terbakar di kedua mata Saka saat ini, tatapan penuh kebencian itu kembali lagi hingga membuat Renata gemetar ketakutan dengan linangan air mata di kedua matanya. “Saka...” isak Renata. Namun Saka tidak bergeming sedikitpun. Kalau saja Ghea tidak terpekik menangis tiba-tiba, maka Saka tidak akan melepaskan cengkraman me
Renata masih terjaga. Tadi malam, dia sama sekali tidak menyentuh obat tidurnya hingga akhirnya, tidak sekalipun matanya bisa terpejam. Renata hanya terus berbaring meringkuk di kamar tamu, ya, kamar tamu karena dia sama sekali tidak mau kembali menginjakan kakinya di kamarnya yang dulu. Ada begitu banyak kenangan Ghea di sana. Bahkan, harum tubuh putrinya selalu saja memenuhi ruangan itu, membuatnya semakin tersiksa jika berada di sana. Satu minggu sudah berlalu sejak kepergian Ghea. Renata tidak lagi pernah menangis sejak melihat tubuh putrinya terbaring di bawah timbunan tanah. Renata tidak lagi pernah menangis dan juga... bicara. Dia hanya diam, berbaring, makan ketika Bi Ambar membawakannya makanan. Hanya itu. Renata telah kehilangan hidupnya. Ghea adalah segalanya, Ghea adalah kehidupan baru yang dia miliki setelah semua kerumitan yang menderanya. Renata pikir, dia bisa kembali hidup setelah memiliki Ghea. Renata pikir, dia akan bahagia mes
Herman memeluk istrinya yang menangis tersedu. Dokter baru saja pergi setelah menjelaskan keadaan Renata. Bagai disambar petir di siang bolong, begitu lah perasaan Herman dan Ayu ketika Saka memberitahu mereka jika Renata sedang berada di rumah sakit dan Renata… baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Lagi. Ya, putri mereka itu… lagi-lagi melakukannya. “Rena…” isak Ayu tergugu. “Udah, jangan nangis terus… Renata akan baik-baik aja.” Bisik Herman pada istrinya. Saka masih diam di tempatnya, tatapannya tampak kosong. Dia terus mengulang-ulang kalimat Dokter mengenai satu hal. Untungnya Renata cepat mendapatkan pertolongan. Karena kalau terlambat, sedikit saja, entah apa yang terjadi pada Renata sekarang. Saka mengepalkan kedua tangannya. Perlahan, kakinya bergerak lambat, memasuki kamar di mana Renata dirawat. Saka menghampiri Renata, berdiri lama di sampingnya, memandangi wajah pucat Renata yang tampak damai.
Saka hanya duduk diam di atas sofa, memandangi Renata yang sejak tadi hanya terus berdiam diri, sekalipun Ayu sedang berusaha membujuknya untuk makan. Jangankan mau menerima suapan itu, sepatah kata pun tidak keluar dari bibirnya sejak tadi. Renata hanya diam, memandangi jendela dengan tatapan kosong. “Sedikit aja, Rena…” ujar Ayu dengan suara lirih. “kalau kamu nggak makan, gimana bisa sembuh?” Lalu entah mengapa, perlahan wajah Renata menoleh, menatap Mamanya. “Aku memang nggak mau sembuh, Ma…” suara serak itu dengar menyedihkan. Ayu menggigit bibirnya getir. “Nggak boleh ngomong gitu, Rena.” “Ghea… aku cuma mau ketemu sama Ghea.” “Rena…” “Aku mau Ghea, Ma…” Renata kembali menangis, dan itu membuat Ayu turut melakukannya sambil tertunduk dalam. Di tempatnya, Saka memijat dahinya putus asa. Selalu begini, pikirnya. Renata seolah bersikeras ingin tetap mati agar bisa bertemu dengan putri mereka. Sa
"Dokter bilang, besok kamu udah boleh pulang." Ujar Saka pada Renata saat dia baru saja kembali ke kamar Renata setelah tadi sempat bicara dengan Dokter yang merawat istrinya. Namun sayangnya, reaksi Renata tetap saja sama seperti sebelumnya. Dia hanya diam, dan tetap tak ingin menatap Saka. Tapi Saka tidak keberatan dengan itu. Tidak mengapa, dia pantas menerimanya. Lagi pula, melihat Renata masih hidup sudah lebih dari cukup baginya. "Aku telefon Mama dulu." Ujar Saka lagi. Ketika Saka menelefon Ayu dan Rosie bergantian, perlahan, wajah Renata menoleh padanya. Renata menatap suaminya itu dengan tatapan kosong yang hampa. Saka sedang menjelaskan keadaan Renata dan juga Renata yang besok sudah diperbolehkan pulang. Lihat lah lelaki ini, batin Renata. Dia masih tampak sama seperti biasanya. Tak tersentuh. Bahkan setelah apa yang terjadi pada Ghea, setelah apa yang terjadi pada dirinya, suaminya ini... tetap saja sama. "Besok Mama kamu ke sini, mau ikut anterin kamu pulang. Kalau Ma
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te