Share

Renata (2)

Renata sudah bangun, bahkan dia sudah mandi sejak satu jam yang lalu. Tapi, yang dia lakukan sejak tadi hanya lah duduk di tepi tempat tidur, berdiri tegak, jalan kesana kemari dengan wajah resah. Sungguh, Renata benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini.

            Semua itu cumannya dan Saka tadi malam.

            Ya, ciuman yang mereka lakukan hampir lima belas menit lamanya. Dan ciuman itu terhenti karena ponsel di saku Saka berdering. Tahu apa yang Saka lakukan setelahnya? Dia mengusap bibir basah Renata, menyuruhnya meminum susu yang telah dia buatkan, lalu beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Renata yang seketika di landa kebingungan.

            Bagaimana bisa?! Pekiknya di dalam hati.

            Bagaimana bisa dia dan Saka berciuman? Bahkan sebelumnya dia sedang menangis terisak di hadapan lelaki itu. Tapi setelah itu...

            “Ya ampun...” rutuk Renata sambil meremasi jemarinya. Dia melirik pada jam dinding, sudah hampir pukul setengah delapan. Mungkin Saka sudah pergi ke kantor dan Renata bisa keluar untuk melakukan sesuatu. Diam di dalam kamar terus menerus juga membuat Renata tidak enak hati. Posisinya saat ini adalah menumpang di rumah Saka, setidaknya, dia membantu Bi Ambar membersihkan rumah.

            Menarik napasnya panjang, Renata beranjak berdiri, kemudian dia membuka pintu kamarnya. Namun, wajahnya sontak terkejut saat menemukan Saka berdiri di sana dengan wajah berkerut tak suka. Renata melangkah mundur seketika.

            “Kamu sakit?” tanya Saka.

            “Ya?”

            “Aku tanya, kamu sakit?”

            Renata menggelengkan kepalanya cepat.

            “Kenapa dari tadi kamu nggak keluar dari kamar?”

            Kini Renata meneguk ludahnya berat. Dia harus menjawab apa sekarang? Tidak mungkin kan, Renata mengatakan kalau dia malu setengah mati harus bertatap muka dengan Saka setelah kejadian tadi malam. “Itu... aku...”

            Saka bergegas masuk ke dalam kamar Renata, membuat si pemilik kamar membulat kan kedua matanya dan bergegas mengikutinya.

            “Saka...” panggil Renata.

            Namun yang Saka lakukan adalah mengambil gelas yang tadi malam dia letakan. Gelas itu masih penuh oleh susu dan kini, Saka menatap Renata tajam. “Aku udah bilang kan, di minum susunya.” Suara Saka menyerupai geraman dan jujur saja, Renata mulai merasa takut. Saka selalu saja terlihat menakutkan setiap kali dia marah. “kenapa kamu susah banget di kasih tahu? Kamu lagi hamil, Nata, dan susu ini–”

            “Iya...” gumam Renata cepat, bahkan kini telapak tangannya sudah menyentuh lengan Saka, mengusapnya lembut, berharap amarah lelaki itu mereda. “maaf, aku... lupa. Tapi ini aku mau ke dapur kok, mau buat susu. Maaf, ya...”

            Suara lirih Renata yang merdu membuat Saka tertegun dan mengerjap cepat. Lagi, tubuhnya bereaksi aneh setiap kali diperlakukan seperti ini oleh Renata hingga tanpa sadar, Saka menarik lengannya menjauh.

            Saka memalingkan muka, sial, wajahnya terasa memanas saat ini. “Lain kali jangan begitu lagi.” Ujarnya setelah berdehem pelan. Dan setelah itu, Saka bergegas pergi tanpa mau menghiraukan Renata lagi.

            Sementara itu, Renata yang menatap kepergian Saka kini tersenyum tipis. Dia pikir Saka akan marah padanya, atau, Saka akan membahas mengenai tadi malam. Tapi nyatanya tidak.

            Renata memiringkan wajahnya, sudah lah, pikirnya. Tadi malam itu... hanya sebuah ciuman. Ya, hanya sebuah ciuman yang tidak berarti. Lagi pula, mereka adalah dua orang dewasa yang tidak harus bersikap kekanakan hanya karena sebuah ciuman.

            Ya, sebuah ciuman yang hingga detik ini masih bisa Renata rasakan sensasinya.

            “Duh...” Renata menggelengkan kepalanya kuat. “mikir apa sih!” rutuknya kesal. Lalu Renata memutuskan keluar dari kamar, menyapa Bi Ambar yang telah menyiapkan sarapan pagi untuknya. Bi Ambar menawarkan diri untuk membuatkan susu Renata, tapi Renata menolaknya. “nggak usah, Bi, biar saya aja.”

            “Non Nata, besok-besok kalau nggak enak badan panggil Bibi aja. Biar nanti Bibi anterin sarapan paginya ke kamar. Soalnya, Den Saka tadi uring-uringan banget karena Non Nata nggak keluar dari kamar. Takut Non Nata sakit katanya.” Ujar Bi Ambar sambil membereskan bekas makan Saka.

            Apa yang Bi Ambar katakan membuat Renata mengernyit bingung. Yang pertama, karena Bi Ambar juga memanggilnya Nata dan yang kedua, Bi Ambar tadi bilang apa? Saka uring-uringan karena mencemaskan Renata?

            “Beneran uring-uringan?” tanya Renata lagi memastikan.

            “Iya, Non. Den Saka itu ya begitu, kalau panik nggak bisa diam. Jalan kesana kemari, Bibi suruh samperin ke kamar Non Nata tapi ngeyel.” Celoteh Bi Ambar dengan ringannya seolah-olah dia tidak takut sedang bergosip mengenai bosnya. “terkadang saya nggak habis pikir sama Den Saka, mukanya aja yang kusut, ketus, suka marah-marah, tapi ya tetap aja kekanakan. Cuma Nyonya Rosie yang bisa buat Den ngatasin Den Saka kalau kekanakannya udah kelewat batas.

            “Sebelumnya maaf ya Non Nata, saya udah tahu kalau non Nata ini lagi hamil, walaupun Den Saka nggak bilang apa-apa, tapi waktu dengar Den Saka minta Bibi sering merhatiin Non Nata, ngurusin Non Nata, ya Bibi udah ngerti lah kalau pasti Den Saka pelakunya.”

            Pelaku? Gumam Renata di dalam hati. Entah kenapa, apa yang Bi Ambar katakan itu membuat bibir Renata tersenyum geli.

            “Saya nggak mau komentar apa-apa soal itu, Non, kalau udah kejadian ya udah, yang penting bayinya di jaga baik-baik. Den Saka itu, walaupun wataknya keras tapi sebenarnya dia baik kok. Bibi udah hampir lima tahun kerja di sini dan Den Saka itu–”

            “Kalau Bibi masih terus bergosip tentang Saka, saya bisa pastikan lima menit lagi Bibi nggak bekerja lagi di sini.”

            Suara yang menginterupsi itu membuat Renata dan Bi Ambar menoleh serentak dan menemukan Rosie berdiri dengan gaya elegannya yang angkuh. Renata sontak menegang seketika.

            “Eh, Nyonya...” Bi Ambar menyengir geli karena ketahuan bergosip oleh Rosie. “nggak ngegosip kok, Nya, cuma cerita-cerita soal Den Saka aja. Ya nggak apa-apa kan, Nya, Non Nata ini kan calon istrinya Den Saka, jadi–”

            “Bi Ambar,” Rosie tersenyum jengah. “tolong buatkan saya teh.”

            “Iya, Nya.” Jawab Bi Ambar yang bergegas kembali ke dapur.

            Kini hanya ada Renata dan Rosie yang tersisa di sana. saling bertatapan penuh arti hingga Renata memutuskan untuk menghampiri Rosie.

            “Apa kabar, tante?” sapa Renata.

            Rosie menghela napasnya, “Saya mau bicara dengan kamu.”

            Renata mengangguk lambat lalu mengikuti Rosie yang berjalan ke sebuah kamar tamu. Begitu berada di sana, mereka kembali berdiri berhadapan.

            “Saya tahu kamu hamil dan Saka ayah dari bayi itu.” cetus Rosie.

            “Tante...”

            “Jawab pertanyaan saya,” Rosie menatap Renata tajam. “bayi itu... kamu berniat merawatnya atau kamu mau menggugurkannya?”

            “Apa?” kedua mata Renata terbelalak tak percaya.

            “Jawab aja pertanyaan saya!”

            “Tante...”

            “Pilihan pertama, atau yang kedua?”

            “Nggak,” kepala Renata menggeleng tegas. “saya nggak akan pernah menggugurkannya.” Jawabnya tegas sambil memeluk perutnya sendiri. Renata benar-benar terkejut bukan main. Dia memang tidak pernah mengharapkan keberadaan bayinya. Tapi, tidak pernah sekalipun Renata ingin melenyapkan bayi itu.

            “Jadi, kamu memilih untuk merawatnya?” tanya Rosie lagi, Renata mengangguk tegas. “kenapa? Karena Ayah bayi itu adalah Saka? Lelaki yang memiliki segalanya?”

            Wajah Renata memerah marah, dia tersinggung mendengar tuduhan Rosie padanya. “Maaf, maksud tante... saya mau memanfaatkan Saka dengan kehamilan saya?”

            Rosie mengangguk santai, bibirnya tersenyum malas. “Apa lagi memangnya?”

            Tubuh Renata gemetar menahan marah saat ini, kedua tangannya saling terkepal satu sama lain. Dia telah menerima banyak celaan selama ini, bahkan, hinaan yang lebih parah dari ucapan Rosie pun pernah dia terima. Tapi kali ini Renata tidak bisa berpura-pura tuli dan menerimanya begitu saja.

            Rosie baru saja menyinggung bayinya, satu-satunya hal yang Renata miliki saat ini. Dan Renata benar-benar tidak bisa menerimanya.

            “Maaf kalau keberadaan saya di sini membuat Tante salah paham. Saya di sini karena Saka yang memintanya. Saya mau tinggal di sini karena kami telah sepakat untuk merawat bayi ini hingga dia lahir nanti. Tapi, kalau Tante mengira saya di sini karena ingin memanfaat Saka, Tante nggak perlu cemas, saya akan keluar dari rumah ini sekarang.”

            “Tunggu,” cegah Rosie sebelum Renata benar-benar keluar dari kamar itu. Rosie mendekatinya, menatapnya lekat. Kali ini tatapannya tidak setajam sebelumnya. Rosie bahkan seakan-akan menatap iba pada Renata. Rosie mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang tebal dari dalam tasnya, kemudian menyerahkannya pada Renata. “saya melakukan ini bukan untuk merendahkan kamu, justru sebaliknya. Kamu... terlihat tulus dan menyayangi bayi itu. Karena itu, saya mohon ambil ini dan pergi lah sejauh mungkin.”

            Renata mengernyit tidak mengerti. Rosie meletakan amplop itu ke atas telapak tangannya, Renata bergegas memeriksa isi amplop itu yang ternyata adalah uang, membuat kedua matanya terbelalak. “Ini...

            “Tinggalkan Saka...” ujar Rosie.

            Saat Renata kembali menatap Rosie, wanita itu menatapnya sungguh-sungguh hingga tanpa sadar, Renata menjatuhkan amplop itu dan melangkah mundur.

            Ada apa ini? Batinnya.

***

Saka turun dari mobil setelah supirnya membukakan pintu untuknya, dia melangkah malas memasuki rumah. Satu tangannya menyentuh leher belakangnya yang terasa pegal, satu tangan yang lain melonggarkan ikatan dasinya. Saka menghampiri sofa, dia melepaskan jasnya dan menyampirkannya di sana sebelum duduk.

            Kepalanya menyandar ke belakang, matanya terpejam. Ini memang sudah menjadi rutinitasnya. Bekerja hingga tak kenal waktu, kembali ke rumah, tidur, kemudian kembali bekerja. Yeah, rutinitas yang begitu monoton dan membuat Saka sesekali harus mengusir rasa penatnya dengan mencari wanita untuk dia tiduri.

            Saka membuka kedua matanya saat sadar jika semenjak dia tidur dengan Renata, hingga detik ini, Saka belum pernah tidur dengan wanita mana pun lagi. Saat dia menegakan kepalanya, Saka menyadari keberadaan seseorang di sampingnya, kepalanya menoleh ke samping dan wajahnya sedikit mengernyit ketika dia menemukan Renata di sana.

            “Kenapa?” tanya Saka dengan suara beratnya.

            “Bisa kita bicara sebentar?” tanya Renata, tatapannya terlihat tak tenang hingga Saka yang menyadari itu menegakkan tubuhnya dan menghadap pada Renata. “aku tahu kamu pasti capek setelah bekerja, tapi ini–”

            “Kenapa, Nata?” potong Saka. Dia melirik pada jemari Renata yang saling meremas, membuatnya berdecak kesal lalu menggenggamnya. “katakan.”

            “Sebenarnya, apa tujuan kamu mengajak aku tinggal di sini?”

            “Maksud kamu?”

            “Tadi... Mama kamu datang lagi. Dia menanyakan hal yang nggak aku mengerti lalu,” Renata mengulum bibirnya resah. “Mama kamu memberikan aku banyak uang dan meminta aku pergi meninggalkan kamu.”

            “Apa?” wajah Saka berubah marah seketika.

            “Saka...” Renatap menatap Saka memohon. “kamu tahu betapa rumitnya jalan hidupku. Aku udah mengatakan semuanya sama kamu, Saka. Semuanya. Dan kamu juga tahu kalau satu-satunya harapanku untuk melanjutkan hidup adalah bayi ini. Aku percaya kamu adalah orang baik, Saka, aku percaya... maka itu, tolong, jangan pernah kamu berpikir untuk mencelakai bayiku.”

            “Mama yang mengatakan itu sama kamu?” desis Saka tajam.

            Renata menggelengkan kepalanya. “Mama kamu hanya minta aku pergi dan meninggalkan kamu, tapi Mama kamu nggak mungkin mengatakan itu kalau aja–”

            Saka bergegas mengeluarkan ponselnya, wajahnya memerah sempurna menahan marah, rahangnya mengetat tajam hingga Renata yang mengamatinya bergidik ngeri.

            “Aku udah bilang, kan, jangan ikut campur...” desis Saka, Renata yakin, dia pasti sedang menelefon Mamanya. “bagian mana dari ucapanku yang nggak Mama pahami?!” bentak Saka. “apa aku harus terus menerus mengingatkan Mama kalau Mama sama sekali nggak berhak ikut campur dalam hidupku karena sebenarnya Mama hanyalah seorang Mama tiri yang menggantikan Mamaku demi harta kekayaan lelaki bajingan itu?!”

            Tidak cukup dengan wajahnya yang merah padam, bahkan urat-urat di leher Saka mulai terlihat setiap kali dia berteriak. Renata sampai meneguk ludahnya berat menemukan kemarahan Saka yang terlihat mengerikan. Belum lagi mendengar ucapan kasar Saka pada Mamanya.

            Rosie adalah Mama tiri Saka, Renata sudah pernah mendengarnya, dan sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik. Tapi apa Saka harus bicara sekasar itu? Mendengarnya saja Renata sudah meringis. Renata tidak pernah bicara sekasar itu pada orangtuanya, dia hidup di lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang. Maka itu, mendengar Saka bicara sekasar itu pada Mamanya, sekalipun hanya seorang Mama tiri, Renata merasa tak suka.

            Renata bergegas mengambil ponsel Saka kemudian mematikan sambungan telefon mereka.

            “Apa-apaan kamu?!” pekik Saka.

            “Itu Mama kamu, Saka, nggak seharusnya kamu bicara kaya tadi ke Mama kamu sendiri.” jawab Renata.

            “Kamu belain dia?!”

            “Aku nggak belain siapa-siapa, tapi–”

            “Kamu lupa, kalau tadi kamu baru aja nuduh aku yang nggak-nggak karena Mama? Dia yang udah cuci otak kamu sampai kamu mengira aku akan–”

            “Tapi bukan berarti aku mau kamu dan Mama kamu berantem kaya gini,” Renata mencoba meraih jemari Saka dan menggenggamnya lembut meski sejujurnya dia sedikit takut kalau Saka akan menepisnya. Namun nyatanya, Saka hanya diam dan itu membuat Renata sedikit lega. “Saka... aku memang cemas karena reaksi Mama kamu tadi pagi. Tapi yang aku butuhkan hanya jawaban kamu. Aku... percaya kalau kamu adalah orang baik. Karena itu, kamu nggak akan pernah berniat jahat ke aku atau bayi ini, kan?”

            Renata menatapnya penuh harap, membuat Saka termangu sejenak. Namun, setiap kali dia memikirkan rasa sakitnya di masa lalu, Saka seolah mendapatkan kebencian baru yang dia peruntukan pada Renata.

            Dan rasa benci itu kini membuat Saka tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepalanya, mengusap pipi Renata yang pucat. “Nggak, Nata. Aku nggak pernah berniat jahat ke kamu. Aku... hanya ingin memastikan kamu dan bayi itu tetap baik-baik aja.”

            Perlahan, senyuman Renata merekah. Hatinya merasa tenang setelah mendengar ucapan Saka. Renata menyentuh lengan Saka, meremasnya lembut. “Terima kasih.” Bisiknya.

            Saka mengangguk kecil.

            “Kalau gitu... aku ke kamar dulu.”

            Saka hanya memerhatikan kepergian Renata dengan tatapan tenangnya dan setelah itu, wajahnya kembali berubah gelap. Amarahnya masih belum mereda hingga kini dia mengepalkan kedua tangannya,

            Saka tahu dia butuh untuk melampiaskan semua itu. Maka itu dia bergegas kembali keluar dari rumah untuk mencari wanita yang bisa memuaskan hasratnya. Tidak sulit bagi Saka melakukan hal itu.

***

“Kamu masih di sini?”

            Gelas yang berada di tangan Renata hampir saja jatuh ketika dia mendengar suara Rosie. Renata baru saja keluar dari dapur setelah mengambil segelas air untuk menemaninya membaca buku di halaman belakang rumah Saka. Wajah Renata menegang seketika saat Rosie mendekatinya.

            “Tante...” gumam Renata dengan suara lirihnya.

            Rosie menggelengkan kepalanya lambat, “Saya nggak akan memaksa kamu lagi untuk pergi meninggalkan Saka. Tapi, apa pun yang terjadi pada kamu setelah ini, saya nggak akan peduli lagi. Kamu yang memutuskan untuk berada di sini.”

            “Kenapa?” balas Renata. “kenapa Tante bicara seperti ini? Solah-olah Saka akan melakukan sesuatu yang buruk pada saya. Bukannya Saka adalah anak tante? Gimana bisa Tante berpikiran seperti itu pada Saka?”

            “Karena saya adalah Mamanya, sekalipun bukan Mama kandungnya, saya tahu bagaimana Saka!” Rosie mencengkram kedua bahu Renata hingga Renata meringis pelan. “kamu... pasti pernah melakukan sesuatu pada Saka. Iya, kan?”

            “Maksud Tante apa... saya nggak ngerti.”

            “Nata!” Rosie memejamkan matanya. “jangan pernah bermain-main dengan kemarahan Saka, kamu nggak akan pernah bisa membayangkan apa yang terjadi pada diri kamu setelah ini.”

            Renata mengepalkan kedua tangannya, dia benar-benar tidak mengerti apa yang di maksud oleh Rosie. Lalu perlahan, Renata menepis cengkraman Rosie di bahunya. “Tante, maaf, saya memang belum lama mengenal Saka. Tapi, saya percaya, Saka adalah orang baik. Putra Tante adalah orang baik. Dia nggak akan mencelakai saya, apa lagi bayinya sendiri.”

            “Bayi itu...” Rosie menatap lirih pada perut Renata. “bayi itu hanya akan menjadi Saka yang selanjutnya jika kamu melahirkannya dan masih terus berada di samping Saka.”

            Renata mengernyit bingung. Ucapan Rosie semakin tidak dia mengerti.

            Rosie mendesah berat, kepalanya menunduk dalam, tangannya menyapu wajahnya gusar. Lalu dia tersenyum patah. “Tapi sepertinya, apa pun yang saya katakan sama sekali nggak akan pernah bisa mempengaruhi kamu. Jadi...” Rosie menggedikan bahunya pasrah. “sekarang, semuanya terserah kamu.” Ujar Rosie sebelum berbalik dan beranjak pergi.

            “Tante,” panggil Renata hingga Rosie berhenti melangkah. “boleh saya tahu, kenapa tadi... tante mengira saya telah melakukan sesuatu yang buruk pada Saka sebelumnya?”

            Rosie hanya diam, kemudian kepalanya menoleh sedikit kebelakang. “Saka memang kejam, tapi, dia hanya akan melakukannya pada orang-orang yang telah menyakiti dirinya.”

            “Saya nggak pernah melakukan apa pun pada Saka, bahkan kami baru saja saling mengenal beberapa bulan lalu.” Bantah Renata bersikeras.

            Rosie diam, dia tidak mengatakan apa pun lagi dan kembali melanjutkan langkahnya. Membuat Renata semakin dilanda kebingungan. Sebenarnya, ada apa ini? Kenapa Rosie terlihat sangat mencemaskannya dan Saka terlihat marah ketika Rosie mencoba meminta Renata pergi?

            Rosie bilang... Renata pasti pernah melukai Saka? Tapi bagaimana bisa? Renata bahkan tidak pernah mengenal Saka sebelumnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status