Pagi sialan yang sangat canggung.
Sebenarnya, Jessie ingin sekali pergi dari meninggalkan kamar Steve saat lelaki itu masih tidur pulas. Tapi nyatanya, lelaki itu seakan tak membiarkan dirinya pergi karena ketika Jessie bergerak, Steve seakan mengeratkan pelukannya pada tubuh telanjang Jessie.
Kini, Jessie merasa terjebak dalam suasana sialan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa sangat canggung saat berhadapan dengan Steve. Bayang-bayang panas kejadian semalam membuatnya tak dapat berkutik. Tapi kenapa Steve seakan tak canggung sedikitpun?
Saat ini, Steve sedang sibuk membuat sesuatu di dapurnya. Lelaki itu bahkan tak malu bertelanjang dada di hadapannya.
Malu? Ayolah Jess, bukankah kau tahu bahwa temanmu itu memang tak punya malu? Kau saja yang terlalu terbawa suasana.
Jessie sempat berpamitan pulang tadi, tapi Steve memaksa dirinya untuk sarapan bersama sebelum pergi. Karena Steve begitu santai, maka Jessie tak bisa menolak dan bersikap sesantai mungkin meski sebenarnya dalam dirinya terjadi bergulatan batin tentang apa yang ia rasakan saat ini terhadap sosok Steve.
Saat Jessie sibuk dengan pikirannya sendiri, saat itulah Steve datang menghampirinya dan menyuguhkan dua potong roti isi bacon panggang, keju dan juga selada.
“Aku hanya memiliki itu di dalam lemari pendingin.” Ucap Steve yang saat ini sudah duduk tepat di hadapan Jessie. “Kuharap kau mau memakannya.”
“Oh Steve, kau tak perlu repot-repot. Aku bisa makan di tempat kerjaku nanti.”
“Tidak segampang itu, Jess. Ada banyak hal yang harus kita bahas.”
Jessie menghela napas panjang. “Apa lagi?”
Steve sedikit tersenyum. “Kau, tampak tak nyaman, Jess. Kenapa? Karena aku sudah ‘membaptismu’ semalam?”
“Ayolah! Berhenti menggodaku. Sekarang katakan, apa yang ingin kau bahas denganku.” Jessie memberengut kesal.
Dengan santai, Steve menyantap roti miliknya. “Yang pertama, kau sungguh luar biasa. Kau tak perlu merasa tak percaya diri lagi saat akan melakukannya dengan Henry nanti. Oke?”
Dan setelah aku tidur denganmu, aku bahkan melupakan tentang Henry. Pikir Jessie dalam hati.
“Tubuhmu, payudaramu, semuanya…”
“Cukup!” Jessie memotong kalimat Steve. “Kau mau memancingku, ya? Jangan bahas apapun tentang bagian tubuhku!” sungguh, Jessie merasa kesal dengan Steve saat temannya itu secara terang-terangan menyebutkan bagian tubuhnya. Jika Steve menceritakan tentang bagian tubuh teman kencannya, Jessie tak akan peduli. Masalahnya, yang dibahas Steve saat ini adalah payudaranya. Hal itu membuat Jessie malu, sangat malu.
Steve mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke. Aku hanya ingin mengatakan kalau semuanya asli. Dan pria manapun akan mengagumimu.”
“Memangnya kau pikir aku perempuan yang gemar mengkoleksi implan di tubuhku? Yang benar saja.” Jessie memutar bola matanya jengah. Ia meraih kopinya kemudian meminumnya sedikit.
Steve tak dapat menahan tawanya. “Tapi ada hal serius lagi yang harus kita bahas, Jess.”
“Apa lagi? Kau tidak berharap aku akan melakukan hubungan itu denganmu lagi, bukan?”
Steve tersenyum. “Sejujurnya, aku masih ingin. Kau tahu sendiri bukan, bagaimana gilanya kita semalam. Meski sudah berkali-kali, tapi aku masih ingin.”
“Jangan bermimpi! Aku tidak akan tidur denganmu lagi.” Jessie menjawab dengan ketus.
Steve tertawa lebar. “Ingat, kau yang mengajakku.”
“Sepertinya lebih baik aku pulang.” Jessie sudah berdiri tapi Steve segera menghentikan pergerakan Jessie dengan menyambar pergelangan tangan temannya itu.
“Oke, aku akan bersikap baik dan membahas hal ini dengan serius.”
“Ya. Dan cepat.” Lanjut Jessie. “Demi Tuhan! Aku harus segera kerja, Steve.”
Steve menganggukkan kepalanya. Ia meminum kopinya sebelum mulai membuka suaranya kembali. “Kuharap, kau sudah memasang sesuatu di dalam tubuhmu, atau mungkin meminum pil.” Ucapnya dengan serius.
“Apa maksudmu?” tanya Jessie tak mengerti.
“Well, karena terbawa suasana, dan terlalu menikmati, aku tidak menggunakan pengaman.”
“Kau apa?” Jessie terperanjat dengan ucapan Steve.
“Dan, berkali-kali.” Lanjut Steve dengan cengiran sialannya.
Jessie berdiri seketika. “Kau gila? Kau adalah playboy cap kakap, Steve! Bagaimana mungkin kau melupakan hal seserius itu?” tentu saja Jessie terkejut. Semalam ia tak memikirkan apapun saat Steve meledak di dalam dirinya. Karena ia terlalu menikmati rasa yang baru saja ia rasakan.
“Aku terlalu menikmatinya, Jess. Dan kupikir kau sudah menyiapkan diri. Mengingat kau akan melakukannya dengan kekasih Gaymu itu.”
“Aku tak mempersiapkan apapun, oke?!” seru Jessie dengan marah sembari mengusap wajahnya dengan frustasi.
Steve ikut berdiri. “Maksudmu, kau membiarkan dirimu tidur dengannya tanpa pengaman dan berharap jika kau akan memiliki bayi bersamanya.”
“Kau terlalu jauh, Steve. Lagi pula, aku tidak tidur dengannya, tapi denganmu!”
“Tapi kau berharap tidur dengannya tadi malam, Jess!” entah kenapa Steve merasa sangat marah. Kenyataan bahwa Jessie tidak mengamankan dirinya sendiri saat sudah merencanakan akan tidur dengan seseorang membuat Steve sangat marah.
Jessie menatap Steve penuh tanya. “Jadi ini adalah salahku?”
“Ya. Kau yang salah karena kau tidak meminum pil-pil sialan itu saat kau sudah merencanakan untuk tidur dengan kekasihmu!” Steve tak bisa menahan emosinya.
Jessie menatap Steve dengan tatapan tak percayanya. Sungguh, ia tak menyangka jika Steve akan seberengsek ini padanya. Tanpa banyak bicara lagi, Jessie memilih membalikkan tubuhnya kemudian meninggalkan Steve begitu saja.
Yang bisa dilakukan Steve hanya berdiri ternganga. Ia bahkan tak mengejar Jessie. Rasa frustasi menyergapnya begitu saja. Dengan spontan, Steve menendang salah satu kursinya karena emosi. Berengsek! Apa yang sudah kau lakukan? Steve mengumpati dirinya sendiri dalam hati.
-TBC-
Siang itu, Jessie menyibukkan diri di dalam butiknya. Hari itu akan ada seorang pelanggan yang memang dijadwalkan mencoba gaun pengantin rancangannya. Miranda, asisten peribadinya juga sibuk membantu Jessie, ketika tiba-tiba telepon di meja Jessie berdering.“Kau tidak mengangkatnya?” tanya Miranda pada Jessie yang sibuk memberi tanda pada gaun yang sedang ia benarkan.Jessie hanya menggelengkan kepalanya.Sudah dua hari berlalu, dan Miranda tak pernah melihat Jessie seperti saat ini. Atasannya itu tak berhenti bekerja jika tidak sedang waktunya makan siang atau pulang. Miranda tahu jika butik Jessie memang ramai pengunjung, tapi biasanya, Jessie hanya akan fokus pada rancangan-rancangannya, bukan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa dikerjakan oleh bawahannya seperti saat ini.“Kau ada masalah, Jess?” tanya Miranda secara terang-terangan.Jessie memang meminta Miranda dan bawahannya yang lain untuk menganggapnya sebaga
Jessie bersedekap dan bertanya “Untuk apa? Karena kau sudah ‘membaptisku’ malam itu? Atau karena kau tidak menggunakan kondom?” Jessie bahkan ikut menggunakan istilah itu untuk menyebutkan kejadian panas yang sudah mereka lakukan malam itu.“Untuk semuanya.” Ucap Steve dengan penuh sesal.“Kau bukan satu-satunya yang salah, Steve. Ingat, aku menggodamu.”“Tapi aku yang meluncurkan ide gila itu.”“Dan aku yang menyetujuinya.”“Tapi aku tak mengingatkanmu kembali tentang resikonya.”“Aku yang datang padamu, Steve! Astaga, apa bisa kita lupakan saja malam itu?!” Jessie berteriak frustasi. “Aku tidak suka melihat penyesalan dan rasa bersalahmu.”Steve berjalan satu langkah ke arah Jessie. “Aku tidak pernah menyesal.” Ucapnya penuh penekanan.Jessie menatap tepat pada mata Steve, dan lelaki itu benar. Tak
Jessie belum pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hal itu membuat Miranda menunda kepulangannya hingga sang bossnya itu pulang. Saat Jessie keluar dari dalam ruang kerjanya, ia melihat lampu butiknya masih menyala dan tampak Miranda sedang merapikan sebuah lemari yang penuh dengan renda-renda.Jessie mengerutkan keningnya dan berjalan menuju ke arah bawahannya tersebut. “Miranda? Kau belum pulang?” tanya Jessie sembari mendekat.“Ya. Kupikir kau butuh teman.” Miranda menjawab. Selama ini, mereka memang sudah seperti teman baik.“Tidak, aku baik-baik saja. Seharusnya kau sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu.”“Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri, Jess. Tidak setelah apa yang kulihat.”“Kau, melihatnya?” Tanya Jessie dengan sedikit malu. Jika yang dimaksud Miranda adalah pertengkarannya dengan Steve, maka Jessie benar-benar tak dapat menahan rasa malunya.&l
Steve yang melihatnya dari belakang hanya bisa ternganga. Tubuh Jessie sangat indah jika dilihat dari belakang. Lekukannya menggoda, dan permukaan kulitnya tampak halus dan kencang. Dengan spontan, kaki Steve berjalan mendekati Jessie. Lengannya terulur begitu saja melingkari perut Jessie. Steve memeluk tubuh Jessie dari belakang, menyandarkan dagunya pada pundak Jessie, hingga mau tak mau membuat Jessie menghentikan pergerakannya seketika.“Kau sangat indah, Jess.” Steve berbisik dengan serak. Bahkan dengan berani, jemarinya sudah menggapai sebelah payudara Jessie. Jessie tak meronta, wanita itu bahkan tampak menahan kenikmatan, memejamkan matanya karena sentuhan Steve.Jessie melemparkan kepalanya ke belakang, hingga Steve dengan leluasa bisa menikmati leher jenjang wanita tersebut. “Ohh Steve…” dengan spontan Jessie mengerang, menyebutkan nama Steve dengan begitu merdu.Steve kemba
Waktu berlalu cukup cepat. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Jessie. Sepertinya baru beberapa jam yang lalu ia melihat Steve memotreti para modelnya dengan gaya yang tak biasa, tapi lelaki itu tentu selalu mempesona ketika bekerja. Ya, setidaknya itulah pendapat Jessie selama ini.Steve tampak sangat menarik saat lelaki itu konsentrasi pada objek tangkapan lensa kamerannya. Ketika lelaki itu memutar fokus lensanya, saat lelaki itu mengerutkan keningnya, saat lelaki itu tampak begitu serius mengambil gambar di hadapannya, Jessie menyukai saat melihat Steve yang seperti itu. Baginya, Steve tampak bertanggung jawab dengan pekerjaannya, tampak dewasa dengan ekspresi seriusnya. Tentu sangat berbeda dengan Steve yang selama ini ia kenal.Jessie tak memungkiri jika beberpa kali jantungnya berdebar tak menentu saat melihat Steve melakukan pekerjaannya dulu sebelum malam sialan itu terjadi. Meski begitu, Jessie tak akan pernah mengakui bahwa ia terpana ketika melihat Steve
Kencan berakhir begitu saja setelah Steve mengantarkan Donna hingga sampai apartmen wanita itu. Donna mengundangnya masuk, tapi Steve menolak. Ia tidak sedang ingin meniduri wanita itu, jadi ia berpikir bahwa lebih baik ia pergi saja.Lagi pula, tujuannya menjalin hubungan dengan Donna adalah untuk menjalin sebuah pertemanan yang sangat dekat, bukan hanya dalam hal asmara. Ia ingin Donna mampu menggantikan sosok Jessie, ketika wanita itu nanti benar-benar pergi menghindar selama-lamanya, maka Steve tak perlu khawatir.Tapi sepertinya, semuanya gagal total. Donna tak pantas untuk menggantikan tempat Jessie, bahkan keduanya tak memiliki kemiripan sama sekali. Donna lebih asik dengan dunianya sendiri, lebih suka menceritakan tentang dirinya sendiri. sangat berbeda dengan Jessie yang tak akan membuka suara jika tidak ditanya apa yang sedang terjadi dengan wanita itu.Steve mengemudikan mobilnya cepat hingga sampailah ia pada gedung apartmennya. Ia mendapati Cody dud
Jessie mengambilkan beberapa gelas untuk sampanye yang dibawakan oleh Frank, kakaknya. Sesekali matanya melirik ke arah ruang tamunya. Disana, Frank duduk dengan santai bersama Steve di sebelahnya, sedangkan Henry memilih duduk di sofa yang lainnya.Frank memang kurang akrab dengan Henry, karena Henry memang jarang bisa diajak kumpul bersama. Tentu saja karena pekerjaan lelaki itu yang tak bisa ditinggal begitu saja.Saat Jessie menuju ke arah ruang tengah dengan empat gelas dan juga seember es batu, saat bersamaan panggilan kerja Henry berbunyi. Sebuah benda kecil yang akan berbunyi jika ada pasien yang membutuhkan pertolongannya.Henry menatap Jessie dengan penuh penyesalan. Ia ingin menghabiskan waktunya dengan Jessie dan juga Frank tentunya, tapi apa daya, pekerjaan telah memanggilnya.“Kau akan pergi?” tanya Jessie kemudian.Henry berdiri dan menuju ke arah Jessie. “Maaf, sebenarnya aku ingin lebih lama lagi. Kau tentu tahu.&
“Bisakah kau berhenti menangis? Jika tidak, maka aku akan ke apartmenmu sekarang juga.” Frank berkata penuh penekanan ketika mendengar suara isakan dari Jessie.Ini sudah jam sebelas malam. Tadi, saat Frank asyik memeriksa beberapa naskah yang akan diterbitkan oleh Summer Media, ia mendapati telepon rumahnya berbunyi dan Jessie sudah menangis. Adiknya itu mengatakan bahwa ia dan Henry, kekasihnya, sudah putus. Lalu, berceritalah Jessie tentang kehamilannya. Sungguh, Frank tak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini.“Maaf, aku memang sering menangis akhir-akhir ini.”“Oke. Lalu, apa rencanamu selanjutnya?”“Kupikir, aku akan pindah dari apartmen ini.” ucap Jessie.Ya, tak lama lagi, perutnya akan terlihat. Ia tidak ingin Steve mengetahuinya. Hubungan mereka sudah hancur, ia tidak mau menjadikan kehamilan sebagai alat untuk menarik lelaki itu kembali. Lagi pula, Jessie berpi