Share

Bab 4 - Dimabuk Gairah

“Kau hanya perlu bilang jika kau butuh minum, maka aku akan mengajakmu berpesta dengan wanita-wanita tadi.” Ucap Steve saat ia sudah mempersilahkan Jessie duduk di bar kecilnya dan menuangkan minuman beralkohol untuk Jessie.

“Kau gila? Aku tidak akan mau berpesta dengan kalian. Apalagi sampai melihat kalian telanjang satu sama lain.”

“Itu keterlaluan, Jess. Aku tidak mungkin telanjang di hadapanmu.”

“Tapi kau melakukannya kemarin.” Jessie menjawab cepat sembari menenggak minuman yang dituangkan Steve hingga tandas.

“Wow, wow, wow, Hei, apa yang terjadi denganmu, gadis biara? Kau tak pernah minum sampai seperti ini.”

“Aku benar-benar butuh minum, Steve.” Ucap Jessie lagi kali ini yang sudah menuangkan minuman kembali pada gelasnya. Secepat kilat, Steve menghalangi Jessie hingga mata Jessie menatap ke arah lelaki itu.

“Apa kau sudah gila? Apa yang terjadi denganmu?” tanya Steve dengan raut wajah seriusnya. Ia tak pernah melihat Jessie minum seperti ini. Mungkin mereka sering minum bir bersama tapi tidak dengan cara bar-bar seperti saat ini.

“Aku mengacaukan semuanya.” Jessie mendesah panjang.

“Apa maksudmu?” tanya Steve kemudian.

“Henry. Dia pergi setelah aku menolaknya. Astaga, kami bahkan sudah merencanakan malam ini.”

Steve kesal jika membahasnya, tentu saja. Tapi dia juga senang saat memikirkan bahwa Jessie dan laki-laki bajingan itu tidak jadi melakukan rencana mereka.

“Oke, aku tahu.” Steve mendekatkan kursinya pada Jessie, memutar kursi Jessie hingga wanita itu menghadap ke arahnya. “Sekarang katakan padaku, apa yang membuatmu menolaknya padahal kau sudah merencanakannya?”

“Aku tidak tahu.”

“Jess, masalah tidak akan selesai saat kau sendiri tidak tahu apa yang kau inginkan.”

Jessie kembali mendesah panjang. “Masalahnya, aku merasa belum siap. Dan astaga, aku takut mengecewakannya.”

Steve mendengus sebal. “Kan aku sudah pernah bilang padamu, kalau aku bisa membantumu.”

“Aku tidak sedang bercanda, Steve.” Mata Jessie menatap tajam ke arah Steve.

“Kau pikir aku sedang bercanda? Jika masalahnya adalah kepercayaan dirimu, maka kau bisa meminta bantuan padaku. Kau meragukan pengalamanku?”

Jessie berdiri seketika. “Sepertinya aku salah datang kemari.”

“Jess, Jess.” Steve meminta Jessie duduk kembali. “Oke, aku tidak akan mengatakan apapun tentang ide gila itu lagi.” Steve mengangkat kedua tangannya. “Maaf.” Ucapnya kemudian.

Jessie memutar bola matanya, ia kembali meminum minuman di hadapannya, sedangkan Steve, ia hanya mengamati temannya itu dari tempatnya duduk.

Jessie tampak kacau, tapi sialnya, hal itu tak mengurangi daya tarik dari wanita itu. Jika boleh jujur, bagi Steve, Jessie adalah wanita tercantik yang pernah ia lihat. Sebagai designer, pakaian Jessie tentu selalu fashionable, tapi saat santai di rumah, wanita itu selalu tampak sederhana. Make up yang dikenakan Jessie pun tergolong wajar. Tak seperti kebanyakan teman kencannya yang tampak terlalu tebal. Dan Steve juga berani jamin jika semua yang ada pada diri Jessie adalah asli. Tak mungkin ada silikon di hidung mancung wanita itu, dan tak mungkin juga payudara Jessie yang tampak padat menggoda itu berisi dengan implan-implan sialan seperti milik teman-teman kencannya.

Sial! Kenapa juga ia berpikir tentang implan?

“Kau, benar-benar menyukainya?” tanya Steve kemudian.

“Henry? Jika tidak, aku tak mungkin menerima lamarannya.”

Steve menganggukkan kepalanya. Sedangkan Jessie masih meminum minumannya lagi dan lagi. Steve kembali menatap ke arah Jessie, wanita itu sedang sibuk menatap ke arah minumannya hingga tak sadar jika saat ini Steve sedang mengamati setiap inchi dari wajahnya.

“Kau tahu, Steve. Kadang aku merasa iri denganmu.” Ucap Jessie yang saat ini sudah menolehkan kepalanya ke arah Steve. Ia sempat terkejut saat mendapati Steve yang ternyata sedang mengamati wajahnya. Secepat kilat Jessie memalingkan wajahnya. Ia tak pernah melihat Steve menatapnya seperti itu.

“Apa yang membuatmu iri?” tanya Steve kemudian.

Entah perasaan Jessie saja atau memang ia mendengar suara Steve yang sudah terdengar parau di telingannya. “Kau, bisa melakukan apapun sesuka hatimu. Meniduri banyak wanita tanpa beban. Dan aku…”

“Semua itu pilihan, Jess. Lagi pula aku pria. Kau wanita. Aku tidak mau membayangkan jika kau sama bejatnya denganku.”

“Tentu saja aku tidak akan memilih jalan itu. Maksudku, kenapa kau bisa melakukan hal itu? Apa kau tidak merasa berdosa sedikitpun?”

“Tidak. Toh aku tidak tidur dengan perempuan baik-baik.”

Ya, Jessie tahu kenyataan itu. Pacar Steve biasanya bukan wanita baik-baik. Mungkin karena itulah Jessie bisa memaklumi keberengsekan temannya ini.

Jessie kembali meminum minumannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia masih sedih karena rencananya dengan Henry batal. Tapi disisi lain, ia merasa lega karena ada Steve yang menemaninya.

Kemudian Jessie melihat Steve berdiri, lelaki itu tiba-tiba saja membuka pakaiannya sendiri hingga bertelanjang dada. Jessie menelan ludah dengan susah payah. Ia memang sering melihat tubuh telanjang Steve, tapi entah kenapa malam ini ia merasa tubuh itu tampak indah dan menggairahkan.

Steve berjalan menjauhinya, menuju ke arah lemari pendingin. Membungkukkan tubuhnya entah mengambil sesuatu dari sana. Demi Tuhan! Baru kali ini Jessie melihat Steve tampak begitu berbeda.

Jessie merasakan pusat dirinya berkedut seketika. Apa ini ada hubungannya dengan minuman yang baru saja ia minum? Jessie megamati minumannya, berharap bahwa pemikiran kotor yang baru saja melintasi kepalanya segera hilang.

Tapi sialnya, itu hanya harapan Jessie saja. Saat Steve melangkah ke arahnya, pada saat itulah Jessie merasa jantungnya berdebar tak menentu. Ia tidak pernah melihat tubuh Steve setegap itu. Pikir Jessie, dada lelaki itu tidak sebidang saat ini. Jessie juga tak pernah melihat bahwa Steve memiliki otot-otot perut yang tampak menggoda, bahkan lengan lelaki itu, Oh, Jessie tiba-tiba berpikir bagaimana lengan kekar itu melingkari tubuh mungilnya.

Jessie kembali menelan ludah dengan susah payah. Ia tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Kenapa reaksinya saat melihat Steve seperti itu membuat Jessie kalang kabut. Ini bukan pertama kalinya Steve bertelanjang di hadapannya, tapi kenapa Jessie merasakan perasaan seperti ini untuk yang pertama kalinya?

Segera Jessie memalingkan wajahnya yang sudah memerah karena kepanasan ke arah minumannya. Ia kembali menenggak minumannya, dan hal tersebut membuat Steve mengangkat sebelah alisnya.

“Kau, baik-baik saja, kan?” tanya Steve sembari mendaratkan telapak tangannya pada pundak Jessie.

Pada detik itu, Jessie merasakan aliran listrik bersumber dari telapak tangan Steve. Ia menolehkan kepalanya menatap ke arah telapak tangan temannya itu. Jessie lalu menatap Steve dengan tatapan anehnya.

“Kenapa kau menyentuhku?” tanya Jessie dengan spontan.

“Menyentuh?” tanya Steve tak mengerti. Steve menatap tangannya pada pundak Jessie, lalu mengangkatnya dengan spontan. “Aku tak mengerti apa maksudmu.” Ucap Steve bingung.

Steve melihat wajah Jessie sudah merah merona, seperti sedang kepanasan. Memangnya apa yang sedang terjadi? Steve kembali bangkit mencari remote AC untuk mendinginkan ruangan tengah apartmennya. Tapi saat Steve akan pergi, Jessie dengan spontan menggapai lengan Steve hingga membuat lelaki itu menatap ke arahnya penuh tanya.

Jessie tersenyum malu. “Kau tahu, Steve. Untuk sesaat, aku memikirkan tentang ide gilamu itu.”

“Maksudmu?” dengan spontan Steve bertanya.

Jessie mengangkat kedua bahunya. “Well, tidur bersama. Astaga, apa sih yang sedang kupikirkan?” Jessie akhirnya memalingkan wajahnya ke arah lain karena malu. Tapi secepat kilat Steve menangkup kedua pipi Jessie, memaksa wanita itu menghadap ke arahnya, kemudian tanpa banyak bicara lagi, Steve menyambar bibir ranum Jessie.

Oh, Steve tak pernah merasakan bibir selembut itu bahkan di dalam fantasinya. Ia merasakan Jessie membalas cumbuannya, wanita itu bahkan sudah ikut berdiri dan mengalungkan lengannya pada leher Steve.

“Ohh Jess,” Steve mengerang ketika gairahnya mulai terbangun dengan sendirinya.

“Steve… Steven…” Jessie pun ikut mengerang saat ia merasakan gairah yang sama dengan apa yang dirasakan Steve. Keduanya dimabuk oleh gairah, dibutakan oleh rasa primitif yang menghilangkan akal sehat mereka.

-TBC-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status