Share

Bab 4 Tarun

“Rain!” suara Amelia menghentak karena terkejut. Rain mendapati tubuhnya terjatuh dilantai, ditatapi mata teman temannya yang keheranan dan guru di depan berhenti bicara. Rain terbengong-bengong. Hanya persekian detik dia menutup matanya, kondisi sudah berubah. Kelas aneh tersebut sudah raib, berganti dengan suasana biasa di kelasnya. Teman temannya masih teman teman yang sama. Gadis berambut panjang bau gulali tersebut hilang, begitupun Azel yang dingin dan lembab.

“Maaf….” Kata Amelia sambil mengulurkan tangannya membantu Rain berdiri. “Padahal aku Cuma menyenggolmu sedikit, tapi kamu malah terjatuh begitu,” bisik Amelia merasa bersalah.

“Rain—kalau kamu mengantuk, cuci mukamu dulu di toilet.” Ucap guru di depan yang disambut riuh teman temannya. Rain merasakan wajahnya panas. Tapi dia menahannya dan kemudian memilih untuk berdiri pamit ke toilet.

**

Rain membilas wajahnya berkali kali. Dipandangi wajahnya di balik cermin. Tampak cekungan hitam di sekitar mata. Cekungan itu belakangan ada. Cekungan yang seolah lelah. Dia memperhatikan cermin lebih lama dari biasanya. Wajah basah yang lelah, mata yang cekung, pipi yang lebih tirus dari biasanya.

“Biasanya aku tidak akan kena marah kalau tertidur dikelas. Tapi, sekarang Bu guru sampai menarik kupingku dan menyuruhku cuci muka.” Sebuah suara sedikit berat berujar di belakang Rain.

Rain terkejut, langsung dia menoleh ke belakang. Tarun berdiri di di belakangnya, sedang mengelap kacamatanya dengan ujung seragamnya yang keluar tidak beraturan. Tarun memasukkan kacamatanya ke dalam saku baju, berjalan di samping Rain sambil membuka kran air. Menampung air dengan kedua tangannya dan membungkuk.

Rain merasa tidak nyaman berada satu ruangan dengan si tukang tidur Tarun. Namun ini pertama kalinya dia mendengar suara Tarun dengan jelas, mengingat betapa sedikitnya dia berinteraksi dengan Tarun.

Tarun selesai mencuci wajahnya, Rain sebenarnya ingin segera pergi, namun merasa tidak enak kalau dia meninggalkan lokasi tanpa berbasa basi.

“Maaf kalau kamu merasa gara-gara saya kamu ikut kena marah..” ucap Rain merasa sedikit jengkel. Karena ucapan Tarun tadi seolah mengatakan bahwa dia dan Tarun sama.

“Sebenarnya tidak masalah sih,” jawab Tarun santai, “Kamu pasti capek sekali.”

“Yah, hanya sedikit lelah.” Jawab Rain yang merasa agak aneh karena suara Tarun demikian perhatian. Kecurigaan yang semula dibangun Rain sesaat tadi perlahan berkurang. Benteng tinggi tinggi perasaan angkuhnya pun mulai runtuh dan memendek.

Keduanya hening. Rain merasa tidak nyaman. Kondisi akrab ini malah membuat dia merasa salah tingkah. Lalu, untuk menyudahi percakapan mereka, Rain berucap basa basi, “Ok deh, saya kekelas dulu.”

Rain memutar badannya hendak berlalu, namun langkahnya terhenti oleh ucapan Tarun berikutnya.

“Bukannya ingin ikut campur, tapi kalau kamu begini terus. Kamu bisa hancur lho.”

Rain mematung, keheranan dan kemudian berbalik lagi, dia melihat Tarun sedang menopang tangannya di sisi wastafel sambil membelakangi kaca wastafel.

“Hancur?” Tanya Rain keheranan.

“Itu, “ Tarun menunjuk wajah Rain, “Lingkaran matamu, hitam. Kamu kesulitan tidur. Kalau dilihat dari lingkarannya, sepertinya sudah lama terjadi, hmm…mungkin sekitar seminggu..bisa jadi lebih.”

“Lalu?”

“Makanya aku bilang, kamu bisa hancur kalau seperti ini terus.”

“Saya enggak ngerti?”

Tarun tersenyum, lalu mengambil kacamata dari sakunya. Memakainya kembali dan membetulkan letak kacamatanya dari dari ujung hidung. “Kalau kamu tidak mengendalikan kemampuanmu, energimu akan habis karena mereka tidak akan pernah habis habis. Melihat mereka tidak sama seperti kita melihat orang orang biasa lainnya. Melihat mereka menghabiskan energi kita. Mungkin melihat mereka setara dengan kamu berlari keliling lapangan.”

Jantung Rain memanas karena terkejut. Pembahasan yang selalu dia sembunyikan dari siapapun, namun seseorang yang tidak pernah terlintas dalam kepalanya sedang membahasnya seperti kawan lama dan begitu mengenal dirinya.

“Melihat mereka?” sergah Rain, ucapannya hati hati sekali.

“Ya, mereka.” Jawab Tarun santai. “Mungkin orang menyebutnya Setan, hantu, makhluk halus dan sejenisnya. Tapi aku menyebut mereka jin.”

“Kamu tahu saya bisa melihat mereka?” Suara Rain menyelidiki, dan tidak mampu menahan rasa tertarik yang luar biasa.

“Seterang matahari..” canda Tarun. Senyum pemuda berambut ikal tersebut melebar. Sesuatu yang jarang atau bahkan tidak pernah diperlihatkannya pada rekan sekelas.

“Kapan kamu tahu—tidak, maksud saya, kamu mematai-matai saya?”

“Tidak juga. Hei, jangan geer gitu dong. Tapi, “ suara Tarun terhenti, agak ragu. Wajah Rain masih mengamati tarun dengan minat yang terasa aneh. “..Yah, mungkin sedikit.” Ucap tarun menambahkan dengan suara yang perlahan dan wajahnya sedikit memerah.

“Sejak kapan?” Tanya Rain, “Sejak kapan kamu memperhatikan?” ulangnya.

Tarun terlihat gelisah. Pertanyaan Rain seolah adalah langkah yang tidak diduganya. Rain merasa tidak enak hati karena melontarkan pertanyaan aneh seperti itu.

“Tidak perlu aku jawab kan?” elak Tarun yang tambah salah tingkah. “Seolah olah kamu menuduhku mengamatimu.” Gumam Tarun terlihat jengah.

“Kalau kamu tidak mengamati saya, kok kamu tahu?”

“Oke…” Tarun terlihat jengkel, lalu membuang mukanya agar Rain tidak melihat mimic wajahnya. “aku mengamatimu….” Sahut Tarun cepat.

“Kapan?”

“Selalu…”

Jawaban Tarun membuat Rain salah tingkah. Mendadak dirinya merasa gelisah. Rasanya ketika seseorang mengakui dengan jujur sering mengamati, itu tidak membuat nyaman. Terutama oleh seseorang yang selalu dipandangnya sebelah mata.

“Maaf, saya mau kembali ke kelas dulu.” Rain memutar tubuhnya, lalu mempercepat langkahnya meninggalkan Tarun di wastafel. Sedikitpun Rain tidak ingin menoleh ke belakang. Jantungnya menjadi tidak karuan.

Rain ingin cepat cepat sampai ke kelas dan berkeinginan bersembunyi dengan Minimal tidak perlu melihat Tarun lagi. Tapi sialnya itu tidak mungkin, karena Tarun kan satu kelas dengannya.

Rain masuk kekelas, sekitar sepuluh menit kemudian Tarun menyusul. Tarun melewati barisan Rain duduk, dan mata Rain mengikuti Tarun, lalu merasa jengah sendiri. Bertanya Tanya dalam hati, ucapan tarun yang dilontarkannya di wastafel. 

Guru kembali menerangkan pelajaran, dan Rain sungguh sungguh tidak dapat focus pada pelajaran. Sesekali matanya melirik kearah bangku belakang, menemukan sosok Tarun dalam ujung matanya sedang menelungkup dan memainkan pulpen yang di ketuk ketukkan ke meja dengan pelan. Lalu, Rain menangkap Tarun pun sedang mengamatinya.

Rain mengalihkan pandangannya cepat-cepat. Memalingkan wajahnya ke arah depan, sambil mencoba berpikir keras. Saat itu kedua pandangan mereka bertemu. Rainlah yang lebih dulu menarik diri dari situasi tersebut. Semua membuatnya menjadi tidak bisa berpikir.

Rain tidak berani melihat kembali ke arah Tarun, atau mencoba diam diam mencuri lihat ke arah laki-laki tukang tidur tersebut. Tapi perasaannya mengatakan bahwa sorot mata Tarun sedang mengamatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status