“Rain!” suara Amelia menghentak karena terkejut. Rain mendapati tubuhnya terjatuh dilantai, ditatapi mata teman temannya yang keheranan dan guru di depan berhenti bicara. Rain terbengong-bengong. Hanya persekian detik dia menutup matanya, kondisi sudah berubah. Kelas aneh tersebut sudah raib, berganti dengan suasana biasa di kelasnya. Teman temannya masih teman teman yang sama. Gadis berambut panjang bau gulali tersebut hilang, begitupun Azel yang dingin dan lembab.
“Maaf….” Kata Amelia sambil mengulurkan tangannya membantu Rain berdiri. “Padahal aku Cuma menyenggolmu sedikit, tapi kamu malah terjatuh begitu,” bisik Amelia merasa bersalah.
“Rain—kalau kamu mengantuk, cuci mukamu dulu di toilet.” Ucap guru di depan yang disambut riuh teman temannya. Rain merasakan wajahnya panas. Tapi dia menahannya dan kemudian memilih untuk berdiri pamit ke toilet.
**
Rain membilas wajahnya berkali kali. Dipandangi wajahnya di balik cermin. Tampak cekungan hitam di sekitar mata. Cekungan itu belakangan ada. Cekungan yang seolah lelah. Dia memperhatikan cermin lebih lama dari biasanya. Wajah basah yang lelah, mata yang cekung, pipi yang lebih tirus dari biasanya.
“Biasanya aku tidak akan kena marah kalau tertidur dikelas. Tapi, sekarang Bu guru sampai menarik kupingku dan menyuruhku cuci muka.” Sebuah suara sedikit berat berujar di belakang Rain.
Rain terkejut, langsung dia menoleh ke belakang. Tarun berdiri di di belakangnya, sedang mengelap kacamatanya dengan ujung seragamnya yang keluar tidak beraturan. Tarun memasukkan kacamatanya ke dalam saku baju, berjalan di samping Rain sambil membuka kran air. Menampung air dengan kedua tangannya dan membungkuk.
Rain merasa tidak nyaman berada satu ruangan dengan si tukang tidur Tarun. Namun ini pertama kalinya dia mendengar suara Tarun dengan jelas, mengingat betapa sedikitnya dia berinteraksi dengan Tarun.
Tarun selesai mencuci wajahnya, Rain sebenarnya ingin segera pergi, namun merasa tidak enak kalau dia meninggalkan lokasi tanpa berbasa basi.
“Maaf kalau kamu merasa gara-gara saya kamu ikut kena marah..” ucap Rain merasa sedikit jengkel. Karena ucapan Tarun tadi seolah mengatakan bahwa dia dan Tarun sama.
“Sebenarnya tidak masalah sih,” jawab Tarun santai, “Kamu pasti capek sekali.”
“Yah, hanya sedikit lelah.” Jawab Rain yang merasa agak aneh karena suara Tarun demikian perhatian. Kecurigaan yang semula dibangun Rain sesaat tadi perlahan berkurang. Benteng tinggi tinggi perasaan angkuhnya pun mulai runtuh dan memendek.
Keduanya hening. Rain merasa tidak nyaman. Kondisi akrab ini malah membuat dia merasa salah tingkah. Lalu, untuk menyudahi percakapan mereka, Rain berucap basa basi, “Ok deh, saya kekelas dulu.”
Rain memutar badannya hendak berlalu, namun langkahnya terhenti oleh ucapan Tarun berikutnya.
“Bukannya ingin ikut campur, tapi kalau kamu begini terus. Kamu bisa hancur lho.”
Rain mematung, keheranan dan kemudian berbalik lagi, dia melihat Tarun sedang menopang tangannya di sisi wastafel sambil membelakangi kaca wastafel.
“Hancur?” Tanya Rain keheranan.
“Itu, “ Tarun menunjuk wajah Rain, “Lingkaran matamu, hitam. Kamu kesulitan tidur. Kalau dilihat dari lingkarannya, sepertinya sudah lama terjadi, hmm…mungkin sekitar seminggu..bisa jadi lebih.”
“Lalu?”
“Makanya aku bilang, kamu bisa hancur kalau seperti ini terus.”
“Saya enggak ngerti?”
Tarun tersenyum, lalu mengambil kacamata dari sakunya. Memakainya kembali dan membetulkan letak kacamatanya dari dari ujung hidung. “Kalau kamu tidak mengendalikan kemampuanmu, energimu akan habis karena mereka tidak akan pernah habis habis. Melihat mereka tidak sama seperti kita melihat orang orang biasa lainnya. Melihat mereka menghabiskan energi kita. Mungkin melihat mereka setara dengan kamu berlari keliling lapangan.”
Jantung Rain memanas karena terkejut. Pembahasan yang selalu dia sembunyikan dari siapapun, namun seseorang yang tidak pernah terlintas dalam kepalanya sedang membahasnya seperti kawan lama dan begitu mengenal dirinya.
“Melihat mereka?” sergah Rain, ucapannya hati hati sekali.
“Ya, mereka.” Jawab Tarun santai. “Mungkin orang menyebutnya Setan, hantu, makhluk halus dan sejenisnya. Tapi aku menyebut mereka jin.”
“Kamu tahu saya bisa melihat mereka?” Suara Rain menyelidiki, dan tidak mampu menahan rasa tertarik yang luar biasa.
“Seterang matahari..” canda Tarun. Senyum pemuda berambut ikal tersebut melebar. Sesuatu yang jarang atau bahkan tidak pernah diperlihatkannya pada rekan sekelas.
“Kapan kamu tahu—tidak, maksud saya, kamu mematai-matai saya?”
“Tidak juga. Hei, jangan geer gitu dong. Tapi, “ suara Tarun terhenti, agak ragu. Wajah Rain masih mengamati tarun dengan minat yang terasa aneh. “..Yah, mungkin sedikit.” Ucap tarun menambahkan dengan suara yang perlahan dan wajahnya sedikit memerah.
“Sejak kapan?” Tanya Rain, “Sejak kapan kamu memperhatikan?” ulangnya.
Tarun terlihat gelisah. Pertanyaan Rain seolah adalah langkah yang tidak diduganya. Rain merasa tidak enak hati karena melontarkan pertanyaan aneh seperti itu.
“Tidak perlu aku jawab kan?” elak Tarun yang tambah salah tingkah. “Seolah olah kamu menuduhku mengamatimu.” Gumam Tarun terlihat jengah.
“Kalau kamu tidak mengamati saya, kok kamu tahu?”
“Oke…” Tarun terlihat jengkel, lalu membuang mukanya agar Rain tidak melihat mimic wajahnya. “aku mengamatimu….” Sahut Tarun cepat.
“Kapan?”
“Selalu…”
Jawaban Tarun membuat Rain salah tingkah. Mendadak dirinya merasa gelisah. Rasanya ketika seseorang mengakui dengan jujur sering mengamati, itu tidak membuat nyaman. Terutama oleh seseorang yang selalu dipandangnya sebelah mata.
“Maaf, saya mau kembali ke kelas dulu.” Rain memutar tubuhnya, lalu mempercepat langkahnya meninggalkan Tarun di wastafel. Sedikitpun Rain tidak ingin menoleh ke belakang. Jantungnya menjadi tidak karuan.
Rain ingin cepat cepat sampai ke kelas dan berkeinginan bersembunyi dengan Minimal tidak perlu melihat Tarun lagi. Tapi sialnya itu tidak mungkin, karena Tarun kan satu kelas dengannya.
Rain masuk kekelas, sekitar sepuluh menit kemudian Tarun menyusul. Tarun melewati barisan Rain duduk, dan mata Rain mengikuti Tarun, lalu merasa jengah sendiri. Bertanya Tanya dalam hati, ucapan tarun yang dilontarkannya di wastafel.
Guru kembali menerangkan pelajaran, dan Rain sungguh sungguh tidak dapat focus pada pelajaran. Sesekali matanya melirik kearah bangku belakang, menemukan sosok Tarun dalam ujung matanya sedang menelungkup dan memainkan pulpen yang di ketuk ketukkan ke meja dengan pelan. Lalu, Rain menangkap Tarun pun sedang mengamatinya.
Rain mengalihkan pandangannya cepat-cepat. Memalingkan wajahnya ke arah depan, sambil mencoba berpikir keras. Saat itu kedua pandangan mereka bertemu. Rainlah yang lebih dulu menarik diri dari situasi tersebut. Semua membuatnya menjadi tidak bisa berpikir.
Rain tidak berani melihat kembali ke arah Tarun, atau mencoba diam diam mencuri lihat ke arah laki-laki tukang tidur tersebut. Tapi perasaannya mengatakan bahwa sorot mata Tarun sedang mengamatinya.
“Apa saya harus menagih pada si tukang tidur itu lagi?” tanya Rain pada Amelia.“Ya, kamu kan bendahara kelas ini.” Jawab Amelia tersenyum. Dia selalu merasa geli kalau mendengar omongan Rain yang terlihat paling enggan berhadapan dengan si tukang tidur, Tarun.“Kamu saja deh Mel.” Ucap Rain enggan.“Apaan sih, bulan lalu kamu kan nagih sendiri, malah kelihatannya setelah itu kalian jadi dekat.”“Saya? Dekat sama tukang tidur itu?….ooow, please deh.”“Oh, jadi salah ya? Padahal bulan lalu ada yang ngasih bocoran kamu jalan pulang sekolah bareng Tarun dan tampak akrab. Sering juga aku lihat dia curi curi pandang ke arahmu lho.”“Kapan?! Jangan ngarang ya Mel. Udah, deh daripada dengerin halukamu, mending saya ke sana, nagih tukang tidur itu.” Rain segera beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah meja Tarun. Gadis itu menolak untuk m
Langit membuka tangannya, sinar berwarna merah menyala dan kemudian melesat ke arah jin ifrit, jin tersebut langsung menghilang dan berpindah pada sisi lainnya. Tangan jin tersebut yang melar ditariknya kembali dan digunakan untuk menyerang Langit dengan cara meliuk dan berubah menjadi tajam dalam sekejap. Laki-laki tersebut langsung membuat tameng dimensi untuk menangkis lengan runcing tersebut. Terdengar suara benda beradu yang dasyat.Aji segera mengambil posisi berdiri, dan kemudian berlari. Diikuti Tarun dari belakang. Jin ifrit melihat keduanya berlari, tampak tidak senang, lalu mengulurkan satu tangannya lain yang bebas. Tangan tersebut menyentak, kemudian melar dan bergerak sangat cepat mengejar punggung Tarun.Langit segera membuka tangannya dengan cepat. Sebuah benda merah terlontar dari ujung telapak tangan Langit dan menyelubungi Tarun, Aji dan Rain tepat sebelum tangan runcing tersebut menyentuh punggung Tarun. Ketiganya terkurung dalam membran merah milik
“Apa tuan menginginkan kedua orang ini dibunuh?” tanya Razel sambil mendekat ke arah jin tersebut.“Apakah kau menginginkan mereka mati?” mahkluk tersebut bertanya kembali pada Razel.“Buatku, mereka sudah tidak berguna.”“Begitukah? Kalau begitu kau pun sama Nak.” Mendadak makhluk tersebut menusuk perut Razel. Razel mendelik, antara tidak percaya, dan rasa sakit. Tangannya mendekap perutnya yang ditusuk oleh makhluk tersebut. “Bagiku, kau pun sudah tidak diperlukan lagi.”Razel terjatuh sambil mengerang, wujudnya berubah perlahan. Dari atas kepalanya muncul tanduk yang panjang seperti tanduk rusa. Cuping hidungnya membesar. Lalu, kedua kakinya berubah menjadi seperti kaki kuda. Dalam keadaan kesakitan, razel tidak bisa mempertahankan bentuk penyamarannya dan memperlihatkan bentuk aslinya.“Sudah aku katakan Nak, hidup selama ribuan tahun akan membuatmu lebih bijaksana. Tidak mungkin
“Ah, ternyata diantara kalian bertiga masih ada yang tetap jernih.” Jin raksasa tersebut menyahuti.“Bocah, jangan pengaruhi Rain. dia harus menyelesaikan ini sesuai rencana!” Razel menghardik Tarun dengan kesal.Rain memandang ke arah Tarun, Tarun menggeleng. Lalu, dipandangnya Razel yang memberi isyarat untuk segera melakukan sesuai yang dikatakan jin raksasa tersebut. Hati gadis tersebut ditimpa keraguan.“Saya pikir ucapan Tarun ada benarnya,” ujar Rain perlahan. “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi bila mahkluk sebesar itu dilepaskan ke permukaan. Pasti ada alasan tersendiri mengapa mahkluk tersebut dikurung di sini, bukan?”“Rain. kita sudah sejauh ini, tidak ada jalan mundur kembali!”“Selalu ada!” sentak Tarun, “Pilihan untuk mundur selalu ada, dan Rain berhak memutuskan untuk itu!”Razel mengeram marah, lalu kemudian dia melompat dan memukul Tarun.
“Tapi penjelasanmu tidak menjawab pertanyaanku?”“Sedikit banyak sudah terjawab wahai gadis manusia. Namun, memang kenyataan bahwa aku terkurung disini bukan karena kehendakku pribadi. Nah, cukup penjelasannya dari pertanyaanmu, sekarang kau jelaskan yang kau sebut smartphone itu.”“Baiklah,” ucap Rain mengalah. Dia memandang ke arah Tarun dan berbisik. “Ru, pinjamkah saya Hp.”Tarun membalas bisikannya, “Bukannya kamu punya?”“Ketinggalan di rumah.”Tarun kemudian mengeluarkan hanphone dari tas ranselnya dan menyerahkannya pada Rain. Rain mengambil handphone tersebut dan menaikkan tangannya sambil memperlihatkan handphone tersebut.”Kau lihat ini,” tunjuk Rain sambil mengacungkan hanphone milik Tarun. Dari balik jeruji, satu tangan jin tersebut menjulur, dengan kuku jarinya yang besar makhluk tersebut mengambil handphone yang disodorkan oleh Rain.&ld
Tarun dan Rain memandang dengan terperangah. Sekitar jarak lima meter, Razel memunggungi mereka. Dihadapan razel, dan juga mereka terdapat sebuah jeruji besi raksasa. Tinggi jeruji itu hampir sebesar gerbang yang mereka masuki.“Itu apa? Jeruji besi?”“Seperti itulah.” Sahut Razel ketika dia mendengar suara Rain dari belakang.“Sebesar itu?” Tarun tidak bisa menahan diri untuk bertanya.“Ya. Bayangkan, jeruji sebesar ini, kira kira apa yang dikurung di dalamnya?” ucap Razel masih dalam kondisi memunggungi kedua remaja tersebut.“Apa ini yang kita cari? Bom yang kalian bilang itu?”“Aku bahkan tidak bisa membayangkan bahwa ini yang akan kita temukan.” Komentar Rain.“Benar, kita tidak bisa membayangkannya. Tapi apapun itu, itulah warisan ribuan tahun yang sedang kita cari.” Jawab Razel.Mendadak sebuah tangan besar bergerak menyentuh jeruji besi