Share

Menjadikanmu Ratuku, Bukan sebagai pemuas nafsu

SBY 07

Desahan yang lolos dari bibir Erie membuat Harry makin semangat. Akan tetapi, alarm otaknya memperingatkan untuk menjauh dan tidak melanjutkan aktivitas. Harry memutus keintiman dan mengusap sudut bibir Erie dengan ujung jari. Mengulaskan senyuman tipis untuk menenangkan perempuan itu yang kini tengah mengerjap-ngerjapkan mata.

"Ini baru permulaan, Rie. Masih banyak cara yang akan kulakukan untuk membuatmu jatuh cinta padaku," ucap Harry, kemudian dia menolak tubuh dan menarik tangan Erie agar bisa sama-sama duduk. "Dengar, aku tidak akan memperlakukanmu seperti halnya dia melakukan hal-hal di luar batas pacaran. Karena aku mencintaimu dan ingin menjadikanmu ratuku, bukan sebagai alat pemuas nafsu," sambungnya yang membuat Erie tertegun.

Sesaat suasana hening, kemudian Harry berdiri dan mengulurkan tangan yang dipandangi Erie sejenak, sebelum perempuan itu menyambutnya dan berpegangan untuk berdiri. Harry mengajak Erie jalan menuju pintu dan menyempatkan diri untuk menarik jaket jin biru dari gantungan, sebelum meneruskan langkah ke luar unit.

Beberapa menit kemudian kedua orang tersebut sudah berada di dalam mobil. Erie tidak berani menoleh ke kanan dan berpura-pura asyik menikmati pemandangan di luar kaca. Sementara Harry beberapa kali melirik perempuan itu seraya mengulum senyum karena tahu bila saat ini Erie tengah salah tingkah.

Lalu lintas yang masih cukup padat itu akhirnya terurai setelah kendaraan memasuki tol. Erie yang mengantuk akhirnya menyandarkan kepala ke kaca, tetapi Harry menarik tangannya dan menggeleng.

"Jangan tidur, bentar lagi nyampe," ungkap Harry.

"Ngantuk, Mas," sahut Erie, kemudian dia menguap sambil menutupi mulut dengan tangan kanan.

"Tahan dikit, kalau nggak, kali ini ayahmu akan menceramahiku yang menggendongmu lagi."

"Bangunin aja, nggak usah digendong."

"Udah, Rie. Tapi kamunya susah dibangunin." Harry melirik sekilas, kemudian bertanya, "Apa mau dibangunkan ala putri tidur?"

Erie spontan memukuli paha Harry yang terkekeh. Bibir tipis perempuan itu menggumamkan omelan tidak jelas. Bertambah panjang gerutuannya ketika Harry mengulurkan tangan kiri dan mengacak-acak rambutnya.

Kala mereka tiba di tempat tujuan, pintu pagar dalam kondisi terbuka. Begitu pula dengan pintu depan rumah. Erie membuka pintu kendaraan dan turun. Refleks merapikan gaunnya yang sedikit kusut, sebelum menoleh ke kiri dan menerima uluran tangan Harry.

Kedua orang tersebut jalan berdampingan menuju teras rumah. Hendra dan Wiryani yang telah menunggu sejak tadi langsung berdiri dan menyambut pasangan muda itu seraya mengulaskan senyuman.

"Maaf, Pak, Bu. Agak kemalaman nganterin Erie," ujar Harry, sesaat setelah mendudukkan diri di sofa biru tua.

"Nggak apa-apa, ini masih lebih awal dari batas waktu yang saya berikan tadi," jawab Hendra. "Ehm, sebenarnya awal malam tadi, ayahmu menelepon saya," sambungnya yang membuat tubuh Erie menegang.

"Oh, ayah bilang apa, Pak?" tanya Harry, benar-benar penasaran.

"Mas Farid nanya, kapan saya ada waktu. Karena beliau akan datang ke sini bersama ibumu."

Harry manggut-manggut. Dia tahu, ayahnya itu sulit untuk menunaikan janji, padahal tadi siang Harry sudah meminta Farid untuk bersabar dan menunggunya membicarakan hal ini pada Erie, baru kemudian mengadakan pertemuan para orang tua.

"Mengenai pembicaraan kita tadi pagi, bagaimana, Nak Harry?" tanya Hendra.

"Saya sudah membicarakannya dengan Erie, Pak," sahut Harry.

"Baik. Lalu, apakah kalian sudah mencapai kesepakatan?" Hendra memandangi Harry dan Erie secara bergantian.

"Saya sudah, kalau Erie, masih belum mau deal dengan saya."

Erie memelototi Harry yang kini mengulum senyum. Perempuan itu sedikit kesal karena Harry seolah-olah membiarkannya untuk menghadapi sang ayah sendirian.

"Erie, gimana?" tanya Hendra.

Perempuan berambut sebahu itu menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, lalu berkata, "Ayah, Ibu. Erie ... belum bisa memutuskan apa-apa saat ini. Erie butuh waktu untuk berpikir."

Raut wajah Hendra seketika berubah. Pria itu kecewa dengan jawaban sang putri. Niatnya untuk mengomeli Erie harus ditahan karena tangannya dipegangi Wiryani yang menatapnya sambil menggeleng perlahan.

Harry memilih untuk tidak ikut campur dalam pembicaraan itu, karena dia tahu bila Erie tidak bisa ditekan. Meskipun kecewa, tetapi Harry tetap berusaha untuk sabar. Mungkin saja nantinya Erie akan berubah keputusan.

Kehadiran Lisa yang membawa nampan berisi beberapa cangkir minuman berhasil meredam ketegangan di ruangan itu. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu ikut duduk di sebelah kanan ayahnya dan beradu pandang dengan Harry yang tengah tersenyum tipis.

"Lis, kalau kakakmu tidak mau nikah sama mas, kamu aja, ya, yang mas lamar," seloroh Harry yang membuat Lisa terperangah, sedetik kemudian dia menjulurkan lidah karena tahu bila Harry hanya bercanda.

"Apaan sih, Mas?" sungut Erie. "Katanya mau nungguin aku," sambungnya sambil melipat tangan di depan dada.

"Ya, kan kalau kamu nolak, Rie. Lebih baik aku melamar Lisa, daripada harus nikah dengan perempuan lain yang mungkin saja akan disodorkan Ibuku nanti," timpal Harry.

"Emangnya mbak Yunia punya calon buat Nak Harry?" Wiryani benar-benar tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Ibu pernah ngomong akan memperkenalkan saya dengan beberapa anak rekan kerja, tetapi saya nggak tahu apakah itu hanya bercanda atau serius," jelas Harry. "Tapi kalau ternyata Erie tetap menolak saya sampai akhir tahun ini, mungkin saya sendiri yang akan meminta ibu buat mencarikan jodoh. Karena saya yakin, pilihan ibu pastilah yang terbaik," sambungnya.

Ada sedikit rasa tidak nyaman dalam hati Erie mendengar penuturan pria di kursi seberang. Erie tahu bila Harry sangat menyayangi dan menghormati ibunya. Mungkin saja nantinya pria itu akan benar-benar meminta dicarikan jodoh oleh sang ibu.

"Maaf, Pak, Bu. Ini udah hampir jam sebelas. Saya mau pamit," tukas Harry.

"Diminum dulu tehnya, Nak." Wiryani mengarahkan jempol ke cangkir yang tadi disuguhkan oleh Lisa.

Harry mengangguk dan segera mengerjakan apa yang dipinta oleh perempuan paruh baya yang wajahnya memiliki kemiripan dengan Erie. Dalam hati Harry bergumam bahwa bila tua nanti mungkin wajah Erie akan seperti ibunya.

Beberapa menit berlalu, Harry sudah pergi, sementara Erie masih duduk berdampingan dengan Lisa. Kedua orang tuanya memintanya untuk bertahan di tempat karena ingin membicarakan tentang hal tadi.

"Ayah nggak mau basa-basi, Erie," ujar Hendra sambil memandangi putri sulungnya itu dengan lekat. "Kenapa kamu masih mengulur-ulur waktu? Ayah pikir, setahun lebih cukuplah untuk saling mengenal kepribadiannya. Apalagi, kalian itu sudah bersahabat sejak lama, bahkan ... sebelum kamu pacaran dengan pria pemilik restoran itu," ungkapnya sambil menyabar-nyabarkan diri.

"Sama, ibu pun nggak paham, Rie," timpal Wiryani. "Harry itu pria baik dari keluarga yang baik juga. Tampang oke, badan tinggi. Cerdas. Agamanya bagus, dan satu hal lagi, dia sangat santun. Beda banget sama pacarmu yang dulu itu," sambungnya dengan suara ketus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status