Share

You Are Not THE Murderer

Raya ingat tulisan Freya pada suratnya:

“Kau tahu kan, aku tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan baik hanya melalui tulisan, dan kau pasti akan menertawakanku disana, aku yakin. Tapi Bumi benar-benar tipe lelaki yang seperti melompat keluar dari novel Pride and Prejudice, Mr. Darcy! Selera humornya memang tidak sebaik Jiro dan dia lebih suka menyendiri, belum lagi hobinya yang aneh. Dia suka bermain layangan, benar-benar seperti anak kecil, kan? Dia juga suka berdebat, bukan untuk membuktikan siapa yang benar atau salah, dia hanya suka membuatku jengkel. Tapi aku yakin kau akan menyukainya, Raya. Kalau dipikir-pikir, kalian memiliki banyak kesamaan. Salah satunya… kalian sama-sama membosankan!Tapi dia orang yang baik, sangat baik, kau akan tahu begitu bertemu dengannya.”

Dan kini lelaki yang dimaksud berdiri menjulang tepat dihadapannya, namun Raya tidak melihat sosok baik hati yang dijabarkan kakaknya. Wajahnya begitu datar tanpa ekspresi dan sinar matanya begitu kuat dan dingin, siapapun bisa berpikir bahwa Bumi tidak menyukai Raya. Alih-alih merasa senang bertemu dengan Bumi, ia justru merasa… takut?

            “Kau atau aku yang pergi?” suara dalam Bumi akhirnya memecah keheningan yang dingin. Singkat, dan tajam.

            Raya berkedip, “ma-maksudmu?”

            “Kau, atau aku yang pergi?” Bumi mengulang perkataannya perlahan seakan Raya adalah anak kecil yang tidak mengerti bahasa, “terlalu ramai kalau kita berdua berada disini.”

            Huh?

            “Kau.” Potong Bumi cepat tanpa memberi kesempatan Raya untuk menjawab. Tubuhnya menubruk bahu Raya pelan ketika ia melangkah melewati gadis itu, namun ia nampak tidak peduli. Lelaki itu bersimpuh disisi makam Freya dan menghiraukan Raya seakan gadis itu tidak berada disana.

            Raya masih terpaku selama beberapa detik – mencoba mencerna apa yang baru terjadi. Matanya masih melekat pada Bumim hingga hembusan angin dingin ditambah tetesan gerimis yang makin deras pun tidak mampu menyadarkannya.

            “Kau mau kebasahan?” tanya Bumi ketus.

            Saat itulah Raya bereaksi, ia mendengus dan tanpa berpamitan, berlari ke mobil Ayahnya lalu menutup pintu dengan kencang.

            “Wow-“ ayahnya menurunkan koran yang tengah dibacanya dan menatap anak gadisnya yang nampak terengeah dan menelan ludah, “kau baik-baik saja? Apa yang terjadi, kenapa kau terlihat panik?”

            Raya mengangguk cepat, “Baik-baik saja- aku akan menceritakan semuanya dirumah.”     

            Ayahnya segera menyalakan mesin mobil dan membawa mereka pergi dari sana. Sebelum mobilnya meninggalkan area makam, sekali lagi Raya menoleh ke arah makam Freya hanya untuk mendapatkan Bumi yang kini sudah berdiri. Dibawah bayangan hitam payung hitamnya, Raya dapat melihat bahwa lelaki itu menatap lekat kearah mobil mereka – masih dengan ekspresi datar yang tidak dapat terbaca. Raya terus memandangnya sampai akhirnya mobil berbelok dan menghilangkan Bumi dari pandangan.

            Sepanjang perjalanan pulang kerumah, ia nyaris tidak mendengarkan Ayahnya bicara. Otaknya selalu kembali ke sosok Bumi yang ia yakin tak akan pernah dilupakannya, dan entah mengapa, Raya yakin bahwa hidupnya akan berubah setelah ini.

                                                             ***

            Raya terbangun keesokan harinya dengan sakit kepala karema mimpi buruk – tidak, bukan tentang Freya kali ini, tapi Jiro. Ya, kekasihnya. Ia mengeram kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Jiro begitu saja! Bodoh.

            Percakapan dengan Ayah dan Ibunya semalam sepertinya mengisi kepalanya dengan banyak teori hingga ia tak bisa memikirkan hal lain. Mendesah, ia mengenakan pakaian bersihnya dan berencana akan membeli nomor Indonesia untuk menghubungi Jiro. Oh, mungkin beberapa pakaian baru untuk ganti selama ia tinggal disini.

            BRAK!

            Pintu kamar Raya terbuka tiba-tiba dan ketiga wajah yang familiar muncul: Diandra, Abian dan Azriel. Ketiganya memberikan ekspresi yang berbeda. Azriel terlihat tersenyum canggung, sedangkan Abian dan Diandra tersenyum lebar. “Surpriseeeee!” seru keduanya bersamaan dengan kencang yang tentu saja mengagetkan Raya.

            “Lihat, lihat, dia kaget!” kata Diandra heboh, ia nampak senang sendiri. “Kau pasti tidak menyangka kami akan datang kan, Raya?”

            “Diandra memaksa kami melakukan ini.” Sambung Abian.

            “Karena kau tidak bisa dihubungi!”

            “Aku tebak, kau belum mempunyai nomor ponsel Indonesia?” Abian menaikkan sebelah alisnya dan dijawab dengan anggukan oleh Raya. “Jadi kami pikir, kau pasti membutuhkan ini.”

            Mata Raya membesar melihat kartu segiempat yang terselip diantara jari Abian – berwarna kuning dengan motif bunga-bunga. Pria itu tertawa ketika Raya tersenyum sumringah, “no way, kau membeli nomor baru untukku?” tanpa menunggu jawaban Abian, Raya sudah meraih kartu tersebut dan membukanya.

            “Benar kan, dia belum beli.” Diandra yang menjawab.

            Ketiga temannya sibuk masing-masing sementara Raya mengaktifkan ponselnya – Abian dan Azriel menemukan beberapa buku dan mulai membahasnya dengan penuh semangat. Diandra, seperti yang selalu diceritakan Freya, sibuk merapikan kasur Raya yang nyaris tertutup dengan tumpukkan baju - sesekali berkomentar betapa berantakan kamarnya itu.

            “Hey, kalian tidak mungkin datang kemari hanya untuk memberikan ini dan merapikan kamarku, kan? Kalau iya, aku sangat berterima kasih.” Canda Raya.

            “Tentu tidak,” jawab Azriel, ia memindahkan buku ditangannya ke tangan lain dan mengeluarkan empat buah kertas yang nampaknya seperti karcis, berwarna merah dan kuning yang terlihat sangat berantakan, “wah maaf, terlalu banyak barang dikantongku.”

            Diandra memutar mata jengkel, “Hari ini ada pertandingan basket di kampus, kau harus ikut nonton bersama kami, Raya.”

            Abian mengangguk setuju, “melawan beberapa kampus raksasa lain di Jakarta, selalu seru, kujamin!”

            “Walaupun terkadang kampus kami kalah.”

            Raya memandang ketiga teman barunya itu bergantian dengan pandangan meminta maaf. Sejujurnya ia ingin sekali pergi bersama mereka, tapi ini bukan waktu yang tepat. Ia masih harus memecahkan kasus Freya, dan menjalankan rencana untuk hari ini. “Guys, aku sangat senang kalian mengajakku, tapi-“

            “Bumi akan menjadi pemain inti.” Potong Diandra cepat, senyum dan ekspresi wajahnya seakan ia menawarkan sesuatu yang sangat berharga namun terlarang pada Raya, “kau mungkin punya kesempatan untuk bertemu dan bicara padanya.”

            Raya tertegun. Tentu saja ia belum menceritakan perihal pertemuannya dengan Bumi - yang sangat tidak menyenangkan - beberapa waktu lalu kepada teman-temannya, dan meskipun ia merasa perutnya diputar tiap kali mengingat Bumi, ia tidak bisa menyangkal perasaan aneh bahwa ia ingin sekali lagi bertemu dengannya. Mungkin dengan sedikit keberuntungan, Bumi mau bicara padanya. Perlu dicoba, kan?

            Abian berdehem lalu melirik arlojinya yang kebesaran, “kita akan terlambat kalau tidak berangkat sekarang.”

            Raya mengangkat kedua tangannya, “baik, aku ikut. Tapi kalian harus menemaniku membeli baju setelahnya.”

            Senyum Diandra mengembang lebar dan ia menggandeng Raya dengan segera, membawanya keluar dari kamar. “Oh, kami sangat suka belanja, iya kan, teman-teman?”

            Abian memandang Azriel dengan penuh arti, bibirnya menyeringai “of course.”

             Kali ini Azriel yang memutar mata jengkel dan ia mengeluarkan selembar uang dari sakunya dan memberikannya pada Abian. Ia menggeram ketika Abian merangkul lehernya, “told ya, bro. dia pasti akan ikut kita!”

                                                              ***

            Suara sorak sorai menggema di stadium. Masing-masing supporter dari universitas yang bertanding menyanyikan yel-yel mereka dengan keras. Raya duduk diantara Diandra dan Abian, sementara Azriel berada disisi lain Abian. Raya yang berada dikerumunan itu mau tidak mau ikut serta – berdiri berangkulan dan bernyanyi dengan keras. Ada saat dimana suara Azriel melengking terlalu keras dan terdengar sumbang, membuat orang sekitar yang mendengarnya tertawa. Jujur, Raya merasa sudah lama tidak merasa sebahagia ini. Untuk sementara Freya berada jauh dibelakang kepalanya. Hari ini ia hanya ingin bersenang-senang!

            Abian dan Azriel bersama beberapa orang lain sepertinya bertaruh tim mana yang akan menjadi pemenang, sementara Diandra sibuk menganggumi tim lawan yang terlihat tampan dan kekar – “benar-benar tipeku, lelaki sejati!” serunya, “lihat-lihat yang pakai seragam hijau itu- lihat Raya! Ya Tuhaaaaan… aku tak keberatan timnya menang, dia terlihat tampan tersenyum begitu.”

            Raya tertawa melihat tingkah mereka. Dalam hati ia mengagungkan Jiro – kekasihnya yang sempat terlupakan – lelaki itu jelas mengungguli mereka semua, apalagi dia juga pandai bermain basket.

            Tiba-tiba saja sorakan dari kerumunan Raya makin keras, dan para pemandu sorak mulai melantukan yel-yel sambil menunjukkan gerakkan mereka. Abian dan Azriel bertepuk tangan ketika tim kampus memasuki stadium. Mengenakan seragam merah kuning, mereka jelas menarik perhatian. Para pemain melambaikan tangan bahkan ada yang ikut bersorak, tapi mata Raya tertuju pada sosok terakhir yang masuk – Bumi. Ia terlihat tidak banyak bereaksi seperti teman-temannya, malah seperti tidak ingin berada disana. Ia meletakkan tasnya di bangku dan mulai melakukan pemanasan. Raut wajahnya persis seperti ketika mereka bertemu di makam kemarin.

            Beberapa orang mahasiswi dibelakangnya jelas menyukai pemandangan itu. Mereka nampak heboh sendiri, memuji sosok Bumi – yang patut disetujui Raya – terlihat sangat menakjubkan. Seragam itu terlihat cocok dikulitnya yang berwarna kecoklatan, dan rambut sebahunya dikuncir setengah. Ia hanya melakukan hal sepele, tapi Raya merasa tidak bisa memalingkan wajahnya dari sosok pria itu. Dan lagi-lagi, ia merasakan perasaan aneh – jantungnya berdegup lebih kencang dan ada segurat ketertarikan dalam dirinya untuk segera menghampiri Bumi. Tapi tentu saja ia tidak bisa melakukan itu. Belum.

            Wasit beranjak ke tengah lapangan, diikuti ketua dari masing-masing tim – salah satunya Bumi. Peluit berbunyi dan wasit melempar bola keatas, tim lawan mendorong bola tersebut dan pertandingan resmi dimulai. Suara riuh stadium sedikit mereda selama pertandingan berlangsung, hanya beberapa yang masih bersorak menyemangati tiap kali komentator berbicara. Tidak terkecuali ketiga temannya yang nampak menegang. Diandara menggenggam tangan Raya dengan erat dan badannya sedikit terlonjak ketika tim Bumi nyaris mencetak skor yang sayangnya gagal. Terlihat Bumi menepuk bahu pemain tersebut seperti memberikan dukungan.

            “Kalau tadi Bumi yang memegang bola pasti sudah masuk.” Kata seorang gadis berkuncir kuda - yang ternyata salah seorang pemanduk sorak - duduk tepat didepan Raya. Dia baru menyadari bahwa para gadis pemandu sorak duduk tepat didepannya. “Rai sudah cukup bagus tapi dia selalu berbuat kesalahan, kenapa sih.”

            Temannya menyiku pelan si gadis berkuncir kuda itu, “jangan sembarangan bicara, kalau bukan karena Rai, Bumi tidak mungkin masuk dalam tim kali ini.”

            “Benar juga, apalagi setelah pertengkarannya dengan Darren beberapa hari lalu. Kurasa mental Bumi makin jelek semenjak-“

            “Kalian bisa diam tidak?” potong seseorang dengan nada cukup keras, yang membuat bukan hanya kedua gadis itu, tapi juga Raya, menoleh ke sumber suara. Seorang gadis berseragam pemandu sorak menatap mereka dengan tajam. Tidak seperti temannya, rambut panjang gadis ini dibiarkan tergerai dan hanya dihias dengan pita berwarna kuning. “Kalau terus berisik, lebih baik kalian keluar.”

            “Maaf, Michelle.” Ujar kedua gadis itu berbarengan. Sepertinya Michelle ini mempunyai kuasa karena keduanya terlihat takut sampai akhirnya diam. Saat itulah pandangan Michelle bertemu dengan Raya. Sepertinya gadis itu terlihat terkejut karena matanya sedikit membesar dan bibirnya yang teroles lipstick merah muda nampak sedikit menegang. Raya mencoba tersenyum, tapi Michelle buru-buru membuang muka.

            Huh? Ada apa dengan sikapnya?

            Namun Raya tidak sempat berpikir karena sekali lagi sorakan dari penonton pecah, dan Diandra meremas tangannya cukup keras sementara ia berteriak penuh antusias.

            “YEAAAY! 3-0!”

            Pemandu sorak langsung berdiri dan meneriakkan yel-yel mereka dengan singkat dan skor menunjukkan 3-0 dan jelas bahwa tim Bumi baru saja mencetak angka. Bumi tersenyum lebar bersama timnya dan itu pertama kalinya Raya melihat wajah pemuda itu tampak begitu hidup dan bersemangat, seperti yang di foto waktu itu. Tanpa sadar senyumnya sendiri ikut terbentuk, sekarang ia mengerti mengapa gadis-gadis termasuk Freya menyukainya. Bumi tampak begitu indah ketika tersenyum.

            “Kau lihat tidak, Bumi melakukan slam dunk!” seru Abian, “dia membuatnya terlihat mudah sekali.”

            “Dia seperti melayang ketika melompat tadi…” gumam Azriel penuh kekaguman.

            “Ah… aku melewatkannya.” Keluh Raya pelan, matanya kini terus mengikuti Bumi selama pertandingan, tak peduli apapun yang pemuda itu lakukan. Ia bertekad untuk tidak ketinggalan momen dimana Bumi akan mencetak skor lain. Tapi alih-alih menonton pertandingan, Raya hanya mengamati gerak-gerik Bumi. Wajahnya ketika tersenyum memang menawan tapi ekspresinya ketika serius saat bermain seperti ini tidak kalah menariknya. Ia seperti terhipnotis akan lelaki itu. Suara berisik disekitarnya seakan menghilang, meninggalkan dirinya hanya berdua dengan Bumi diruangan besar itu.

            “Raya, awas!!”

            Suara teriakan – entah siapa, menyentak Raya. Matanya tidak lagi terpaku pada Bumi, melainkan bola yang terlempar kearahnya. Ia belum sempat bereaksi ketika bola itu akhirnya mengenai sisi wajahnya dengan keras. Seketika ia merasa pusing dan dunianya gelap, suara berisik tadi kembali memenuhi ruangan – atau kepalanya? Ia tidak bisa memutuskan karena saat itulah ia merasa tubuhnya terjatuh dan seketika semuanya menjadi gelap dan hening.

                                                            ***

            Raya terbangun dengan perasaan sama yang ia rasakan pagi ini – pusing dan nyeri, terutama di pelipisnya. Ia mengerjap, berusaha memblokir cahaya terang yang pertama kali menyambutnya ketika ia membuka mata. Ia mendapati dirinya berada di ruangan yang seperti rumah sakit. Hanya ada dua kasur berseprai putih bersih, salah satunya ia tempati sekarang, dan dua buah lemari ramping berisi obat-obatan di sudut ruangan. Aroma kamar itu seperti obat – aroma yang sangat ia tidak sukai.

            Menggunakan sikunya, ia berusaha bangkit dari kasur. Namun rasa pening luar biasa langsung menyerangnya. Ia menggeram dan menyentuh pelipisnya perlahan.

            “Kalau jadi kau, aku tidak akan bangun.”

            Raya menoleh secepat yang ia bisa ke sumber suara dan mendapati sosok yang tak asing baginya – Bumi. Lelaki itu duduk dengan santai di meja yang nampaknya tempat kerja pengurus ruang kesehatan ini. Ia masih mengenakan seragam basketnya.

            “Sedang apa kau disini?” tanya Raya. Diluar kemauannya, ia terdengar ketus. Damn, kepalanya sakit sekali.

            “Harusnya aku yang bertanya.” Bumi berdiri dan berjalan pelan kearah kasur Raya, matanya tidak pernah lepas dari gadis itu. Ia berhenti tepat diujung kasur, “mau apa kau kesini, Raya? disini bukan tempatmu.”

            “Kau tahu dengan jelas kenapa aku disini.”

            “Kalau begitu, kau harus berhenti. Apapun yang kau pikir kau lakukan, you need to stop.”

            “Sehingga kau bisa bebas setelah membunuh Freya?”

            Bumi bergeming, namun Raya bersumpah dapat melihat bibir lelaki itu menyeringai dingin. Entah mengapa, ia terlihat kejam.

            “Tidak seperti para polisi itu, aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja, Bumi.”

            “Kalau begitu kau hanya membuang waktu.” Tegas Bumi seraya melangkah mendekat, “kau tidak akan mendapatkan apapun disini, tidak dariku atau siapapun. Kau harus pergi.”

            “Dan kalau aku tidak mau?”

            Bumi tidak langsung menjawab, dia menatap Raya yang dibalas sama tajamnya oleh gadis itu. Untuk sesaat keduanya hanya saling menatap sebelum Bumi mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan melemparnya ke kasur – ponsel Raya.

            “Kau mungkin akan bernasib sama seperti kakakmu.” Jelas Bumi singkat, “dan sama sepertinya, tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu.”

            Kalimat itu diucapkan dengan ringan, nyaris berupa bisikan, namun cukup membuat bulu kuduk Raya mengerang. Raut wajah Bumi terlihat keras dan tidak main-main ketika mengatakannya dan entah bagaimana Raya merasa bahwa ini bukan sekedar omongan kosong.

            “Oh ya, aku minta maaf, Rai melempar bola terlalu kencang,” Tanpa menunggu Raya mengatakan sesuatu, Bumi berbalik dan berjalan menuju pintu. Raya memperhatikan punggungnya yang makin menjauh, namun ketika lelaki itu memutar pegangan pintu, saat itulah ia membuka mulutnya.

            “Bukan kau yang membunuhnya.”

            Kata-kata itu sukses membuat Bumi berhenti. Raya dapat melihat punggung lelaki itu menegang, namun ia tidak berbalik untuk memandangnya. “aku tidak tahu apa alasannya, tapi aku yakin kau tidak mungkin membunuh Freya. Yang kuyakini adalah, kau tahu lebih banyak dari apa yang kau katakan pada polisi. Freya tidak mungkin mencintai orang yang salah, dan aku percaya itu. Kau harus membantuku… demi Freya.”

            Tak ada jawaban dari Bumi.

            Raya baru akan bicara lagi ketika pintu menjeblak terbuka dengan tiba-tiba, membuat Bumi dengan gesit menghindar dari pintu ketika Diandra muncul.

            “Raya, kau sudah ba- eh…” Diandra berhenti ketika melihat Bumi, “hai, Bumi. Bukankah harusnya kau berada di lapangan?”

            Tanpa jawaban, Bumi melenggang pergi dan Diandra terus mengawasinya sampai sosok lelaki itu menghilang. Pandangannya ketika melihat Raya penuh tanda tanya, “aku cuma ke kamar mandi sebentar dan dia sudah disini. Kalian mengobrol? Apa yang dia katakan? Ah tapi, bagaimana kepalamu! Gila, Rai benar-benar terlihat panik tadi, dia mau minta maaf langsung tapi tentu saja pelatih tidak membiarkannya meninggalkan pertandingan. Kau baik-baik saja?”

            Raya memejamkan matanya lagi, entah mengapa ia merasa lelah tiba-tiba. Ia menjawab dengan singkat dan Diandra terdengar sibuk mencari obat dan mengabari kedua temannya yang lain. Saat itulah ponsel Raya berdering – untuk pertama kalinya sejak ia tiba di Jakarta.

            Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Isinya singkat:

               Aku akan menemuimu, tunggu saja dan jangan menghubungi nomor ini.

                                                             Bumi

                                                              ***

            “Apa ini sudah semua?”

            Raya dan ibunya menoleh, Ayahnya meletakkan satu kardus berisi bahan-bahan untuk membuat kue diatas tumpukkan kardus lain. Jam menunjukkan pukul empat pagi dan ketiganya sudah sibuk didapur – ibunya memutuskan untuk membuka kembali toko rotinya yang sempat tutup selama beberapa saat setelah peristiwa Freya, yah, siapa yang mau datang ke tempat kejadian pembunuhan terjadi? Namun Ayahnya berpikir bahwa mereka harus melanjutkan hidup, dan membuka kembali toko ini adalah langkah pertama. Biar bagaimanapun, ini satu-satunya cara agar sang Ibu bisa memiliki hal lain untuk dilakukan selain keluar rumah untuk bolak-balik ke kantor polisi dan mendistraksi pikiran. Dan Raya juga Ayahnya lebih dari bahagia untuk membantunya.

            “Ya, kurasa sudah lengkap semua.” Jawab Ibunya yang tengah mengaduk adonan, “oh, bisa kau ambilkan nampan besar di gudang? Kurasa kita membuat lebih banyak dari perkiraan.”

            Ayahnya bergegas pergi dan Raya mengeluarkan satu nampan croissant dari pemanggang yang – dengna bangganya – ia buat sendiri. Mulutnya membentuk O besar dan matanya membesar ketika melihat hasil karyanya dan wangi yang mampu mengundang air liur.

            “Wow, harum sekali!” ibunya berseru senang, “kurasa itu akan menjadi favorit nanti.”      

            “Kau mau mencobanya, bu?” Raya memotong ujung salah satu croissant dan dengan hati-hati menyuapi ibunya. “Bagaimana? Cukup enak?”

            Ibunya mengangguk setelah beberapa saat, “ya, ya. Untuk percobaan pertama ini cukup enak, tapi akan lebih enak kalau pakai butter.”

            “Oh, aku lihat tadi di pantry! Let me take it.”

            Raya bersenandung ketika berjalan menuju pantry. Mood-nya hari ini begitu baik disbanding beberapa hari lalu. Sangat baik sampai ia perlahan melupakan rasa amarah pada Ibunya dan kecewa karena Bumi belum juga menghubunginya setelah hari itu, padahal sudah lewat beberapa hari dan Raya hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu. Tapi entah karena aroma roti yang manis atau komunikasinya dengan Jiro yang akhirnya lancar, membuat perasaannya sedikit lebih baik.

            Kekasihnya itu sempat sedikit marah karena dirinya menghilang tanpa kabar – yeah, itu memang mutlak salahnya. Namun perasaannya membaik ketika ia menceritakan segalanya pada Jiro. Sejak dulu Jiro selalu dapat membuatnya terhibur, tak peduli seberapa kacau perasaannya. Mungkin itulah yang membuat tidur Raya menjadi lebih nyenyak dan emosinya berangsur membaik. Untuk sementara ia ingin melupakan Freya dan menjalani kehidupan normalnya – hanya hari ini.

            “Ah, ini dia.” Ia meraih sekotak butter yang bertengger diatas meja. Ia baru akan berbalik ketika telinganya menangkap suara samar dering ponsel. Raya berhenti dan jantungnya berdegup cepat ketika memeriksa sakunya, berharap ponselnya yang berdering menandakan pesan masuk dari Bumi, namun ia harus menahan kecewa karena dering itu bukan berasal dari ponselnya.

            Tapi.. siapa yang menyimpan ponsel di pantry?

            Mengesampingkan kebingungannya, gadis itu menajamkan pendengaran dan menemukan sumber suara – laci lemari piring paling bawah. Tanpa membuang waktu, ia membuka dan menemukan sebuah ponsel hitam yang langsung berhenti berdering ketika Raya meraihnya.

                                                      1 missed call

                                                    Unknown Number

           

            Raya menelengkan kepala, wajahnya penuh tanda tanya. Ia mecoba mengakses ponsel tersebut namun terkunci. Raya tertegun beberapa saat, kepalanya penuh dengan berbagai macam pertanyaa. Milik siapa ponsel ini? Apakah ibunya? Tapi ibunya sudah memiliki ponsel dan kalaupun benar, mengapa seperti disembunyikan?

            “Raya, sedang apa kau disitu?”

            Raya tersentak mendengar suara sang Ayah dan buru-buru ia memasukkan ponsel itu ke saku. Ayahnya menatap dengan bingung dengan beberapa nampan besar ditangannya. “Kau mencari sesuatu?”

            “Ya, butter.” Ia menggoyangkan sekotak butter ditangannya sembari menyengir, “ayo, Ayah. Kita harus buka toko tepat waktu!”

            Ayahnya terkekeh dan mengikutinya kembali ke dapur. Dalam hati, Raya sudah membuat keputusan untuk tidak memberitahu siapapun mengenai ponsel ini – terutama kedua orangtuanya, tidak sampai ia tahu apa yang harus dilakukannya dengan ponsel tersebut. Dan sementara itu, Raya akan menjadi anak baik dan menunggu Bumi, seperti biasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status