Share

First Meeting

Jakarta, 3 November 2002.

            Ibunya sedang menyiapkan sarapan sambil bersenandung ketika Raya keluar kamar pagi itu. Aroma kue panekuk kesukannya memeneuhi udara dan dengan sukarela, ia duduk di kursi meja makan – siap untuk mengisi perutnya yang sudah meronta padahal baru jam tujuh pagi.

            “Kau berpakaian rapi sekali,” tegur Ibunya seraya meletakkan panekuk di piring Raya, “mau pergi kemana?”

            “Kampus Freya, aku mau bertemu teman-temannya.”

            Ibunya tidak langsung menjawab, tapi Raya menyadari bahwa gerakannya sempat terhenti sesaat. “Oh, kalian sudah saling mengenal?”

            Raya menggeleng dan mulai menyantap sarapannya, “belum, tapi aku harus menemui mereka cepat atau lambat. Banyak sekali yang ingin kutanyakan tentang Freya.”

            “Kau bisa bertanya padaku, kau tahu.”

            “Baik, dimana Toro?”

            Ibunya mengernyit ketika duduk dan menuang susu ke dalam gelasnya, “ya Tuhan kucing malang itu, suatu hari ditemukan didepan ruko sudah tak bernyawa. Mulutnya berbusa, Freya yakin ada yang meracuninya.”

            “Kapan kejadiannya?”

            “Entahlah… Ibu tidak ingat.”

            “Beberapa bulan sebelum kematian Freya.”

            Ibunya nampak tertegun, wanita separuh baya itu tidak berkata apa-apa ketika melahap panekuknya. Tanpa basa-basi, Raya pun melanjutkan, “apa ibu tahu Freya diteror selama beberapa bulan sebelum ia dibunuh?”

            Kali ini Ibunya benar-benar berhenti dan menatapnya dengan pandangan tak percaya, “no, dia tidak pernah bercerita apapun dan tak ada hal aneh sebelum kejadian itu, Raya. Bagaimana kau bisa mengatakan itu?”

            Raya tidak langsung menjawab, melainkan menatap ibunya lekat-lekat. Wanita itu jelas terkejut namun entah bagaimana, melihatnya justru membuat emosi Raya meningkat lagi. “Bagaimana aku bisa bertanya padamu ketika kau bahkan tak tahu apa-apa tentang putrimu sendiri?” ujar Raya menutup pembicaraan. Gadis itu meneguk susunya sedikit lalu bangkit dan pergi tanpa bicara apa-apa lagi, meninggalkan sang Ibu yang masih terpaku ditempatnya.

                       

                                                                        ***

            Jarak universitas negri tempat Freya belajar tidak terlalu jauh dari ruko ibu – hanya sekitar 30 menit ditempuh dengan mobil. Ayahnya menetapi janji untuk mengantarnya kesana, lagipula ia tidak terlalu sibuk selama di Jakarta. Hanya sesekali mengirim e-mail ke perusahaan pusat di Jepang, dan selebihnya ia merasa seperti pengangguran. Setelah berterimakasih, Raya segera turun dari mobil. Namun belum juga ia sempat melangkah, sang ayah kembali memanggil namanya.

            “Kau yakin tidak ingin ayah temani?”

            Raya tersenyum pasti dan menggeleng, “aku akan baik-baik saja. Mereka mahasiswa seumuran denganku.”

            Segurat keraguan nampak di wajah ayahnya, “kau tahu, kau bisa langsung melaporkan ini ke po-“

            “Polisi, ya aku tahu.” Potong Raya cepat, “tapi aku datang sebagai teman, mereka mungkin akan bercerita lebih banyak dibanding kepada polisi, kan?”

            Ayahnya mengangguk perlahan, mau tidak mau setuju dengan putrinya, “baiklah. Ayah tunggu disini, ya. Hati-hati, Raya.”

            Tanpa banyak kata lagi, Raya berjalan menuju gedung setengah tua dibelakangnya. Fakultas Seni, gedung berlantai empat dengan atap coklat kemerahan. Udara hari itu tidak terlalu panas, jadi banyak mahasiswa yang nampak duduk-duduk santai di bangku taman maupun rerumputan rapi yang mengelilingi gedung itu. Mereka nampak bercengkrama seru, sesekali tertawa namun ketika Raya mendekat, mata mereka jatuh pada gadis itu dan seketika mulut mereka membisu.

            Ya… ya, tidak mungkin semua orang tahu kalau Freya memiliki saudara kembar, dan ketika Raya datang tiba-tiba, wajar jika mereka merasa terpana seperti melihat hantu yang nyata. Dulu mungkin Raya akan merasa cemas, karena ia tidak pernah percaya diri ketika mata semua orang tertuju padanya. Namun hari ini ia tidak peduli, ia hanya ingin bertemu dengan sahabat Freya. Karena itu ia mendatangi seorang mahasiswi – satu-satunya yang nampak tidak terkejut, malah justru tersenyum ramah ketika beradu pandang dengannya. Raya memperlihatkan foto Diandra dan Abian kepada mahasiswi itu.

            “Maaf, apa kau mengenal mereka?” tanya Raya cepat

            Gadis itu mengangguk, “ya, mereka berada di cafeteria.” Jawabnya seraya menunjuk ke bagian kiri gedung. Ia menginstrusikan arahnya kepada Raya dan setelah berterimakasih, Raya pun segera pergi.

            Cafeteria itu berbentuk bulat, dengan stall makanan disekeliling lingkaran tersebut dan meja makan dibagian tengah. Tidak terlalu banyak orang disana, sehingga Raya dengan sangat mudah menemui sosok familiar yang dicarinya. Diandra dan Abian nampak sedang bercengkrama – atau mungkin berdebat? dengan makanan dihadapan mereka, dan seorang lelaki lagi yang asing bagi Raya, duduk dibangku sebelah Diandra, sibuk dengan bukunya.

            Telinga Raya menangkap suara Diandra yang terdengar penuh emosi ketika ia bicara dengan Abian, “bukan begitu, bodoh! Kenapa sih kau tidak pernah mendengar kata-kataku?” yang dijawab dengan sama panasnya oleh si pemuda, “ya, coba kau bicara lebih keras lagi jadi bukan hanya aku dan Azriel yang mendengarnya tapi juga semua orang di kampus ini!” Diandra mungkin akan membalas lagi kalau saja matanya tidak menangkap sosok Raya yang berjalan mendekat. Gadis chubby berkuncir kuda itu seketika mematung dan matanya membelalak. Melihat temannya membeku, Abian yang duduk membelakangi Raya memutar tubuhnya, diikuti oleh Azriel  dan salah satu dari mereka jelas terkesiap keras dengan ekspresi yang sama – terkejut setengah mati.

            Untuk sesaat Raya terdiam, senyumnya kaku. Gadis itu berdehem dan mengangkat tangannya dan melambai dengan ragu, “ha-hai…? Maaf mengejutkan kalian, aku-“

            “Fre-“

            “Raya?” tukas Diandra cepat namun halus, nyaris hanya berupa bisikan. “Freya bilang suatu saat kau akan datang kesini…”

            Ada perasaan menohok di dada Raya sesaat setelah ia mendengar perkataan Diandra. Sedih, lega, semuanya jadi satu. Untuk sesaat keduanya hanya saling pandang sebelum akhirnya Diandra bangkit dan memeluk Raya dengan erat. Dan untuk pertama kalinya, Raya merasa ada orang lain yang berbagi kesedihan tulus yang sama dengannya – kenyataan bahwa Freya pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Untuk pertama kalinya, dirinya merasa berada dirumah, dipelukan orang yang tepat. Untuk pertama kalinya.

                                                                                    ***

Angin berhembus kencang, membawa bersamanya beberapa lembar daun yang terlalu lemah bertahan diranting pohon. Ia dapat merasakan percikan air di kulitnya – sebentar lagi akan hujan, dan ia harusnya pergi dari sini, namun kakinya seperti tertanam sementara matanya melekat pada dua orang yang tengah berpelukan di tengah cafeteria selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka duduk dan mulai bercengkrama.

            “Michelle, kita harus pergi. Kelas akan dimulai sebentar lagi.”

            Namun gadis berambut panjang berombak itu menghiraukan temannya. Ia masih menatap kearah yang sama dengan ekspresi yang tak dapat dijelaskan. “Gila, dia benar-benar mirip Freya.” gumamnya.

            “Bahkan suaranya ketika bertanya kepadaku pun sama,” ujar temannya tadi sebelum memutar bola mata, merasa konyol mendengar kata-katanya sendiri, “mereka kan saudara kembar.”     

            “Eris, kenapa dia datang kemari?”

            “Tebakan liarku mengatakan dia ingin tahu apa yang terjadi pada Freya.”

            “Kenapa baru sekarang?”

            Eris mengangkat bahu lagi, “mana kutahu, Michelle! Kau konyol sekali. Sudahlah, ayo cepat pergi dari sini sebelum kita terlambat kelas.”

            Namun Michelle bergeming, “menurutmu dia sudah bertemu Bumi?”

            Eris diam beberapa detik sebelum menghela napas dan menggeleng lagi, “entahlah. Kupikir kau akan tahu kalau mereka sudah bertemu. Lagipula, sudah berapa hari dia tidak datang ke kampus ya?”

            Michelle berkedip dan wajahnya berubah keras sebelum akhirnya menoleh ke sahabatnya, suaranya tegas dan penuh tekad ketika ia berkata, “mereka tak boleh bertemu. Apapun yang terjadi, mereka tidak boleh bertemu.”

                                                                        ***

            Sudah hampir 15 menit Raya duduk dan ketiga teman barunya itu hanya menatapnya lekat-lekat. Terkadang mereka bicara, lalu dengan cepatnya berhenti dengan tergagap. Jelas mereka masih merasa takjub dengan sosok Raya.

            “Aku tidak percaya akhirnya bisa bertemu denganmu.” Gumam Diandra.

            “Kata Diandra untuk ratusan kalinya.” Sambung Abian.

            “Kau sangat mirip dengan Freya, hanya saja rambutmu sedikit lebih panjang.”

            “Ya, duh, mereka kembar.”

            Azriel akhirnya menutup buku dengan keras dan berdehem. Lelaki itu membenarkan posisi kacamatanya sebelum kembali menatap Raya, “Raya, aku minta maaf. Bukannya bermaksud tidak sopan, tapi… kami benar-benar… masih…”

            “Ya, aku mengerti.” Raya mengangguk, “maaf sudah datang tiba-tiba. Aku hanya ingin… bertemu dengan sahabat Freya. Dia sering bercerita mengenai kalian.”

            “Kami benar-benar minta maaf atas apa yang telah terjadi…” kata Abian

            “Apa yang sebenarnya terjadi?” potong Raya cepat, “tidak ada yang bisa memberitahuku, bahkan kedua orangtuaku.”

            Tidak ada jawaban, namun mereka mengangguk pelan. Raya menceritakan soal buku harian rahasia Freya yang ia temukan beberapa waktu lalu, soal teror, Toro dan semuanya. Anehnya, tak ada satupun dari ketiga orang itu yang terlihat terkejut. Justru mereka terlihat makin sendu dan Abian menunduk, menolak menatap Raya.

            “Aku tidak yakin kapan mulainya,” Diandra mulai bicara, “bermula dari telepon-telepon asing yang masuk ke ponsel Freya dan ia selalu merasa diawasi. Kami awalnya hanya menganggap itu gurauan sampai akhirnya Toro mati.”

            “Kalian lapor polisi?”

            Abian menggeleng, “Freya tidak mau lapor polisi, apalagi setelah dia bilang dia tahu siapa pelakunya.”

            Huh? Freya mengetahui siapa yang menerornya?

            Ingatan Raya kembali ke buku harian Freya, ada tulisan dimana tersirat bahwa kakaknya mengetahui siapa yang melakukan ini padanya.

            “Sejujurnya, Freya selalu menolak untuk membicarakan ini pada siapapun termasuk kami.” Diandara bicara lagi, “rasanya dia juga tidak menceritakannya pada Bumi.”

            Azriel mendengus, “aku bisa membayangkan Bumi akan menciptakan masalah lain daripada menyelesaikannya. Lelaki itu benar-benar mudah marah.”

            Raya menatapnya ragu, “Bumi?”

            Azriel mengangguk, “ya, sering sekali mereka bertengkar karena hal-hal kecil. Lelaki itu benar-benar terobsesi dengan Freya, hubungan yang tidak sehat.”

            “Ya, dia benar-benar menakutkan.” Dukung Abian, “Freya bahkan tidak bisa pergi atau melakukan apapun tanpa izin Bumi. Sudah berulang kali kami menyuruhnya putus.”

            Dahi Raya mengernyit. Benarkah Bumi seburuk itu? Lalu mengapa Freya selalu memujanya ditiap surat yang ia kirimkan? Raya larut dengan pikirannya sendiri sementara ketiga temannya saling bicara satu sama lain – tentu saja membicarakan Bumi dan Freya. Otaknya sibuk bekerja, menerka-nerka dan menyimpulkan apa yang sebenernya terjadi dengan hubungan kakaknya. Namun konsentrasinya pecah ketika Diandra bersuara.

            “Apa kau sudah bertemu dengan Bumi, Raya?”

            Raya terkesiap, ia menggeleng.

            “Menurutku kau harus menemuinya, mengingat… dia satu-satunya yang berada disana ketika itu terjadi.”

            “Dimana aku bisa menemuinya?” tanya Raya

            Ketiga orang itu berpandangan, saling bertanya satu sama lain namun mereka nampak sama tidak tahunya dengan Raya.

            “Dia sudah tidak ke kampus semenjak dibebaskan polisi,” Azriel yang menjawab, “mungkin dia sudah permanen dirawat dirumah sakit jiwa.”

            “Dia dirawat di rumah sakit jiwa? Kenapa?”

            “Sudah jelas, kan.” Jawab Diandra, “dia tidak tampak normal secara emosional sejak dulu, ditambah dengan kejadian ini, kurasa mentalnya makin terguncang.”

            “Bahkan mungkin, dia sendiri pelakunya.” Gumam Abian.

            Hanya Diandra yang menentang perkataan sahabatnya itu, yang kemudian disambung dengan gelak tawa oleh Azriel. Mungkin itu hanya gurauan mereka, tapi Raya merasa ada tangan tak terlihat yang mencengkram jantungnya keras-keras ketika pikiran itu masuk ke otaknya. Bukan berarti dirinya tidak pernah berpikir demikian, namun sekuat tenaga ia mencoba menolaknya. Kalaupun benar, apa yang membuat Bumi tega membunuh kekasihnya sendiri?

                                                                        ***

            Jam tangan menunjukkan waktu pukul empat sore ketika Raya dan ayahnya meninggalkan area kampus. Seperti biasa, ia tidak banyak bicara dengan sang Ayah, pikirannya sibuk sendiri dengan berbagai macam teori dan kemungkinan. Ia butuh ketenangan, karena itulah ia memutuskan untuk tidak langsung kembali ke ruko ibunya melainkan meminta ayahnya membawanya ke tempat lain yang paling dihindarinya: makam Freya.

            Sekali lagi Ayahnya menunggunya di mobil sementara ia berjalan menemui kakaknya setelah sekian lama – seorang diri. Sama seperti ketika ia memasuki kamar Freya, ia merasakan saudarinya itu melangkah bersama dengannya diatas rumput yang basah karena gerimis. Freya dimakamkan ditempat paling bagus di Jakarta, yang jelas tidak sanggup dilakukan ibunya. Keluarga Bumi berbaik hati membiayai semuanya demi kenyamanan keluarga ketika berkunjung dan tentu saja, Freya pantas mendapatkan yang terbaik.

            Setelah beberapa saat berjalan, ia berhenti di makam pualam putih. Ia meletakkan setangkai lily putih diatasnya yang sempat dibelinya diperjalanan kemudian menekuk lutut untuk bersimpuh disamping makam.

            “Hai, Freya. Apa kau menungguku? Maaf aku baru datang sekarang.”

            Hening.

            “Seharusnya kau yang menemuiku di Jepang, kejutan ulang tahun, eh? Ya, aku menemukan tiket yang kau sembunyikan.” Bibir Raya tertarik keatas, “bisakah kau tetap menemuiku nanti?”

            Ia melengos, merasa bodoh mendengar permintaanya sendiri. Jelas Freya tidak akan bersamanya lagi, tidak bahkan saat ulang tahun mereka nanti. “Kau berjanji untuk tidak meninggalkanku sendiri… kenapa kau pergi?”

            Matanya terasa hangat dan sakit, pandangannya mulai kabur ketika air mata mulai tergenang dimatanya. Dadanya sesak, begitu banyak hal yang ingin ditanyakan, dan begitu banyak hal yang ia sesali. Mengapa ia tidak datang lebih cepat ketika mimpi-mimpi buruk mulai menghantuinya, dan mengapa ia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri sampai tidak sadar bahwa kakaknya menyimpan rahasia yang begitu ia takuti.

            “Aku tidak takut pada apapun, aku bisa melindungimu.”

            Itu perkataan Freya suatu saat dulu. Jika saja ia bisa sedikit lebih kuat, mungkin Freya tidak perlu sibuk melindunginya sampai mengabaikan dirinya sendiri, sampai menyembunyikan fakta bahwa dirinya pun ingin dilindungi.

            “I’m so sorry, Freya…” isak Raya tak terbendung lagi. Air matanya jatuh diiringi dengan gerimis yang perlahan membasahi tiap jengkal tanah, termasuk dirinya. Namun ia tak peduli. Raya membiarkan dirinya menangis, mengeluarkan seluruh emosinya – bingung, marah, dan kesepian. Kalau Freya masih hidup, kakaknya itu mungkin akan membentaknya karena menangis, atau mungkin mengejeknya habis-habisan. Namun ia akan memeluknya dengan hangat pada akhirnya. Tapi sekarang Freya sudah tidak ada… hanya dirinya dan kenangan yang makin lama makin kabur.

            Entah berapa lama ia menangis, hingga ia lupa waktu. Namun isaknya perlahan mereda ketika ia merasa ada bayangan gelap diatasnya, yang mencegah air hujan untuk membasahinya. Raya mendongak dan melihat payung hitam bertengger diatas kepalanya, melindunginya dari hujan. Payung yang dipegang oleh seorang lelaki yang berdiri tepat dibelakangnya. Raya bangkit dan memutar badan.

            Meski masih berlinang air mata, ia dapat melihat lelaki yang berdiri menjulang dihadapannya. Lelaki bermantel hitam itu mempunyai paras tajam, setajam mata yang memandangnya lekat-lekat. Ia mengenal lelaki ini, meski ekspresi yang ditunjukkan saat itu berbeda. Pemuda itu tesenyum di foto bersama Freya, namun sosok nyatanya menatapnya dengan ekspresi tak terbaca yang entah mengapa membuat Raya tidak nyaman. Mata gelapnya tertuju padanya nyaris tak berkedip, bibirnya menipis dan ia bahkan bisa melihat rahang lelaki itu mengeras.

            Bumi.

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status